Nagasasra dan Sabukinten

Revisi sejak 21 Juli 2024 05.52 oleh Gayuh (bicara | kontrib) (menambahkan bagian "Cetakan" berisi informasi lebih rinci tentang cetakan 1966, 1982, 1991 dan 2005)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Nagasasra dan Sabuk Inten adalah buku ceritera silat klasik karangan S.H. Mintardja.[1] Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Badan Penerbit ”Kedaulatan Rakyat” Yogyakarta pada tahun 1966. Sebelumnya kisah ini muncul sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Kedaulatan Rakyat (KR) semenjak 13 Agustus 1964.[2] Isinya bercerita tentang Mahesa Jenar yang pergi mengembara mencari keris pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten yang hilang dari perbendaharaan Istana Demak. Roman ini memadukan kisah sejarah dengan mitos-mitos yang beredar di masyarakat Jawa.[2]

Nagasasra dan Sabukinten
PengarangSinggih Hadi Mintardja
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
GenreRoman
PenerbitBadan Penerbit ”Kedaulatan Rakyat(Yogyakarta)
Tanggal terbit
1966
Halaman16 jilid (32 jilid edisi 1991)

Tokoh-tokohnya

sunting

Sebagaimana wiracarita pada umumnya, cerita silat ini juga berkisah tentang peperangan antara yang baik melawan yang buruk. Tokoh-tokoh yang baik (protagonis) di antaranya:

  1. Mahesa Jenar, dikenal juga sebagai Rangga Tohjaya, adalah seorang prajurit dari kesatuan Nara Manggala, pasukan pengawal raja Kesultanan Demak, yang menjadi tokoh utama dalam buku ini. Ia merupakan murid Pangeran Handayaningrat alias Ki Ageng Pengging Sepuh.
  2. Arya Salaka, murid Mahesa Jenar, putera Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru.
  3. Rara Wilis, kekasih Mahesa Jenar, cucu Ki Ageng Pandan Alas dari Gunung Kidul.
  4. Ki Kebo Kanigara, paman guru Mahesa Jenar, putera Pangeran Handayaningrat. Namanya yang lain adalah Putut Karang Jati.
  5. Panembahan Ismaya alias Pangeran Buntara, alias Pasingsingan Sepuh. Salah seorang adik Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri.

Selain itu terdapat pula tokoh-tokoh jahat (antagonis) seperti:

  1. Lawa Ijo, murid Pasingsingan, musuh utama Mahesa Jenar yang mengepalai gerombolan begal di Alas Mentaok.
  2. Pasingsingan (Umbaran), murid Pasingsingan Sepuh yang terjerumus ke jalan sesat.
  3. Sima Rodra Muda, kepala gerombolan penjahat dari Gunung Tidar, yang sebetulnya adalah Ki Panutan, ayah Rara Wilis.
  4. Jaka Soka, kepala gerombolan bajak laut dari Nusa Kambangan, yang selalu mengejar-ngejar Rara Wilis.
  5. Ki Ageng Lembu Sora, Kepala Daerah Perdikan Pamingit, paman Arya Salaka.
  6. Uling Putih dan Uling Kuning, kepala-kepala gerombolan perampok dari Rawa Pening.

Ringkasan cerita

sunting

Mahesa Jenar pergi mengembara meninggalkan Istana Demak karena perselisihan soal keyakinan agama (Mahesa Jenar adalah murid Syekh Siti Jenar, seperti juga Ki Kebo Kenanga alias Ki Ageng Pengging) dan karena hilangnya pusaka-pusaka Kesultanan Demak, di antaranya keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabukinten. Keris-keris itu ternyata tengah menjadi rebutan tokoh-tokoh golongan hitam, karena dianggap bisa menjadi sipat kandel (Jawa: modal spiritual) bagi penguasa Tanah Jawa.

Sementara itu dalam perjalanannya menemukan kembali keris Nagasasra dan Sabukinten, Mahesa Jenar menemukan beberapa persoalan lain yang saling kait mengait. Menghilangnya ayah Rara Wilis, yang kemudian menjadi kepala gerombolan di Gunung Tidar. Sementara itu sahabatnya, Ki Ageng Gajah Sora yang menjadi Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru, difitnah oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, yang tamak ingin menguasai wilayah Banyu Biru, dan pada akhirnya harus ditangkap dan ditahan di Demak. Dalam pada itu, semua gerombolan dari golongan hitam itu berdatangan menyerbu ke Banyu Biru, karena adanya isu keberadaan keris Nagasasra dan Sabukinten di daerah tersebut. Mahesa Jenar, dengan dibantu sahabat-sahabatnya, berupaya keras menyelamatkan Banyu Biru dari bencana, sambil mendidik Arya Salaka sebagai pewaris wilayah Banyu Biru pada masa depan. Sedangkan keris-keris Nagasasra dan Sabukinten diselamatkan oleh seorang sakti yang selalu diliputi oleh rahasia, namun sangat dihormati oleh Baginda Sultan Trenggana dari Demak.

Cetakan

sunting

Buku seri Nagasasra dan Sabuk Inten diterbitkan pertama kali pada tahun 1966 (cetakan pertama) terdiri dari 29 jilid, masih menggunakan ejaan lama yang berlaku pada masa itu. Kemudian pada tahun 1982 (cetakan kedua) terdiri dari 16 jilid, sudah menggunakan ejaan baru / Ejaan Yang Disempurnakan. Cetakan ketiga diterbitkan pada tahun 1991, terdiri dari 32 jilid. Dan pada tahun 2005 diterbitkan cetakan keempat berupa edisi lux, terdiri dari 3 jilid.

Daftar pustaka

sunting
  1. ^ Supratikno Rahardjo. S.H. Mintardja dan Sejarah Mataram Diarsipkan 2014-05-06 di Wayback Machine.. Makalah BWCF (2013)
  2. ^ a b Teguh Supriyanto. Mitos: Antara mediasi dan tegangan dalam Nagasasra dan Sabukinten serta Api Di Bukit Menoreh karya SH Mintardja Diarsipkan 2014-05-06 di Wayback Machine.. Makalah BWCF (2013)

Pranala luar

sunting