Suku Dayak Ketungau Tesaek
Suku Dayak Ketungau Tesaek adalah sebuah kelompok etnis Dayak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Dayak Ketungau Tesaek adalah bagian dari rumpun Iban yang mendiami Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sanggau.[1] Suku ini sering salah diistilahkan sebagai "Ketungau Sesat", yang tidak memiliki makna apapun dalam bahasa mereka. Kelompok suku ini lebih tepat disebut Tesaek, yang bermakna tersesat, atau salah arah jalan.[2]
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sekadau dan Sanggau, Kalimantan Barat | |
Bahasa | |
Ketungau Tesaek | |
Agama | |
Katolik, Protestan | |
Kelompok etnik terkait | |
Iban |
Sebagaimana orang Dayak pada umumnya, pemukiman Dayak Ketungau Tesaek tersebar di daerah hulu atau pedalaman sungai. Kampung-kampung di sebelah kiri hulu Sungai Kapuas antara lain wilayah kampung Empetai, Tapang Mudai, Sumpit, Menanik, Selimus, dan sebagian lagi di Tigur Jaya. Adapun di sebelah kanan hulu Sungai Kapuas warga tersebar di sekitar kota Sekadau, yakni di sepanjang jalan menuju Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, dan Rawak (Kecamatan Sekadau Hulu).[3] Sebagian warga Dayak Ketungau Tesaek di Sekadau dan Sanggau bekerja di sektor pertanian. Sedangkan warga yang tinggal di perkotaan, utamanya di Kota Pontianak sebagai perantau, bekerja sebagai guru, dosen, karyawan swasta, hingga politikus.[2]
Asal-usul
Kelompok
Sebuah rombongan yang dipimpin oleh seorang perempuan yang disapa "Ndai Abang" (secara harfiah artinya ibu dari seorang anak laki-laki) melakukan migrasi dari Labai Lawai (atau Suka Lanting, kini daerah Kubu Raya) ke hulu Sungai Kapuas dalam upaya mencari penghidupan yang lebih baik dengan mencari tanah yang luas dan subur untuk berladang. Setelah menempuh perjalanan melalui sungai makin ke hulu Sungai Kapuas dengan perahu dan rakit, rombongan menemukan sebuah muara anak sungai Kapuas, jauh di hulu muara Sekayam, di wilayah Sekadau yang banyak tumbuh pohon adau. Rombongan ini menemukan di tepian sungai tersebut banyak tumbuh pula perupuk (sejenis pandan liar yang besar). Mereka menduga bahwa itulah Sungai Ketungau yang menjadi tujuan migrasi, padahal Sungai Ketungau masih jauh ke hulu Sungai Kapuas lagi. Mereka semakin yakin setelah rombongan menemukan dan melihat bahwa di situ ada cuar[a] sebagai tanda yang menunjuk arah hulu Sungai Kapuas. Setelah sekian lama berdayung, mereka menemukan riam-riam. Mendapati riam-riam tersebut, anggota rombongan berseru bahwa riam tersebut bukan Sungai Ketungau yang dimaksudkan menjadi tujuan dan anggota lain berseru agar perahu berbalik lagi ke muara sungai untuk meneruskan perjalanan menuju ke hilir.[4]
Di antara rombongan, ada beberapa yang tidak ingin mengikuti Ndai Abang berbalik arah. Mereka memilih untuk menetap di wilayah itu yang kini dikenal sebagai Kabupaten Sekadau. Karena tersesat jalannya, maka disebutlah kelompok yang tidak hendak mengikuti Ndai Abang kembali ke Kapuas untuk berdayung ke hulu itu sebagai "tersesat arah jalan menuju", bukan sesat dalam makna ajaran dan moral. Akan tetapi, Ndai Abang bersama anggota rombongannya yang setia, terus mudik ke hulu Kapuas, lalu masuk sungai Ketungau. Mereka inilah yang dianggap sebagai suku Ketungau yang asli.[5]
Agama
Sebelum misi Gereja Katolik masuk wilayah Sekadau, yang mula-mula diperkenalkan Ordo Kapusin jauh sebelum Indonesia merdeka, Dayak Ketungau Tesaek menganut kepercayaan leluhur. Penginjilan semakin intensif dengan datangnya para misionaris Kongregasi Pasionis dari Belanda atas restu pemimpin Gereja di Pontianak pada 1 Oktober 1946. Pada 1954, Dayak Ketungau dilayani para pater Kongregasi Pasionis, kemudian diteruskan oleh para misonaris dari Italia pada 1961 yang secara intens mengajarkan nilai-nilai Katolik kepada warga suku Dayak Ketungau Tesaek dengan mendirikan asrama, persekolahan, kapel-kapel, dan stasi di Tanah Ketungau Tesaek saat ini.[6]
Sosial dan ekonomi
Sebagai suatu kelompok besar, Dayak Ketungau Tesaek memiliki organisasi sosial yang dinamakan “Ayoung Tao Ketungau”. Organisasi ini adalah paguyuban tingkat nasional yang menghimpun semua warga dalam sebuah wadah organisasi-sosial modern yang ketua dan pengurusnya dipilih di antara anggotanya dan bekerja selama 5 tahun.[2]
Dari sisi ekonomi, warganya menunjukkan tingkat penghidupan yang semakin baik. Mereka dapat bekerja dan bersaing di segala sektor, antara lain berprofesi sebagai politikus, pengusaha, karyawan, buruh pabrik, pegawai negeri, bidan, perawat, guru, dan dosen.[2]
Bahasa
Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Ketungau Tesaek, yang mirip dengan bahasa induknya, Iban. Bahasa Ketungau Tesaek dibagi menjadi beberapa dialek yang diklasifikasikan menurut pembelahan Sungai Kapuas, yakni di sisi kiri dan di sisi kanan sungai. Dialek yang dituturkan oleh Dayak Ketungau Tesaek di sisi kiri Sungai Kapuas disebut "Ketungau Matahari Padam". Sedangkan Dialek yang dituturkan oleh Dayak Ketungau Tesaek di sisi kanan Sungai Kapuas disebut "Ketungau Matahari Tumueh".[3]
Adat dan budaya
Tarian
Tarian adat Ketungau ada beberapa macam, sesuai dengan filosofi dan tujuannya, antara lain:
- Tarian Ngayau
Tarian ini dahulu kala dipakai untuk menyambut kepala manusia musuh hasil kayauan. Tapi sekarang tarian ini dapat diartikan sebagai tarian kemenangan. Gerakannya gesit dan cukup garang. Penari hanya memakai cawat atau celana dalam tanpa baju. Kepala diikat dengan kain berwarna merah dan ditusuk dengan daun sabang merah. Gerakan terdiri dari hentakan kaki, gelengan kepala, dan disertai dengan teriakan yang histeris. Pada pinggang penari terselip sebilah pedang atau mandau. Sebelum menari, para penari diberi minuman tuak serta perlengkapan lainnya. Karena begitu konsentrasinya penari, kadang-kadang penari bisa kesurupan. Oleh sebab itu, perlu pendamping (pebayu). Kalau penari itu kesurupan, pebayu itu yang membangunkannya kembali.
- Tarian Sedayung Panjang
Tarian ini juga disebut tarian untuk pengantin baru. Tarian ini dipakai untuk perarakan pengantin baru dan untuk menyambut para tamu agung yang datang, yang masa kini misalnya tokoh adat atau pejabat daerah. Tarian ini juga merupakan tarian kehormatan bagi para tamu.[3]
Perkawinan
Acara adat perkawinan Suku Dayak Ketungau Tesaek disebut "Nyadung". Nyadung adalah suatu acara dalam perkawinan di mana kedua mempelai melayani para tamu di dalam ruangan perjamuan kawin. Ruangan yang dipakai biasanya balai desa atau suatu tempat yang telah disiapkan. Acara ini dilaksanakan selama dua malam berturut-turut. Pada hari yang ketiga, para tamu mempelai kembali ke tempatnya masing-masing. Sehari sebelum mereka pulang, yaitu hari siang kedua, dilaksanakan acara minum massal yang disebut Beginil atau Begindel. Semua yang hadir harus ikut minum tuak pesta adat. Tradisi minum ini memakai aturan dan takaran tertentu sesuai dengan kesepakatan. Misalnya, satu kaleng susu sekali isap, selesai. Bagi warga yang mampu minum sekaligus sekaleng susu, maka ia dapat nomor satu, yang ditulis dengan kapur sirih di dahinya. Kalau tidak mampu, maka ia kena denda, yaitu minumannya ditambah lagi, tapi tak usah diminum sekaligus. Begitulah sampai semua kebagian minuman tuak pesta.[2]
Hari besar
Menurut adat kebiasaan orang Ketungau Tesaek, hari raya atau upacara pertanian dibagi atas:
- Nyapat isau beliung/nyapat isau taun
Ritual mendoakan peralatan untuk berladang atau berkebun yang dilakukan dengan tujuan agar kegiatan pembersihan ladang dapat berjalan lancar.
- Mudas
Ritual berdoa di ladang yang dilaksanakan sebelum merumput atau menyiangi padi.
- Matah
Acara ini berupa makan pagi dengan beras baru secara perorangan.
- Nyemaru
Acara ini berupa makan pagi dengan beras baru secara beramai-ramai dan pelaksanaannya bersama-sama oleh warga satu kampung.
- Bisik Gawai (Gawai)
Bisik Gawai dilaksanakan sesudah panen padi dan dilaksanakan warga sekampung bersama-sama. Dalam pesta ini, tamu ataupun keluarga dan kerabat diundang. Perayaan ini adalah perayaan yang terbesar dalam perayaan adat menurut adat suku Dayak Ketungau Tesaek. Perayaan ini mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil yang telah para petani peroleh. Hidangan khas Ketungau Tesaek yang biasa disajikan di antaranya adalah Ajan dan Jugin. Ajan adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang dimasak di dalam buluh bambu bersama santan dan diberi alas daun pisang muda untuk kemudian dipanggang. Sedangkan Jugin adalah daging babi yang dimasak di dalam bambu dan cara memasaknya sama seperti cara memasak Ajan.[2]
Catatan
- ^ Cuar terbuat dari sepotong kayu atau bambu yang ditancapkan ke dalam tanah sebagai penanda arah. Dalam kasus migrasi yang dipimpin Ndai Abang, cuar yang ditancapkan kelompok migrasi pertama ternyata berbalik arah, tidak menghadap ke hulu muara sungai Sekadau, melainkan ke sungai yang salah, sehingga rombongan mengira itulah arah yang harus dituju.
Referensi
- Catatan kaki
- ^ Lontaan 1975.
- ^ a b c d e f Sareb 2020.
- ^ a b c Pinson, Kunjan 2005.
- ^ Lontaan 1975, hlm. 170.
- ^ Lontaan 1975, hlm. 171.
- ^ Passionis 1996.
- Daftar pustaka
- Lontaan, J.U. (1975). Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Daerah Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
- Buku Kenangan 50 Tahun Kongregasi Passionis di Indonesia 1946-1996. Malang. 1996.
- Kunjan, Blasius; Pinson, F.X. (2005). Sejarah, Adat Istiadat dan Hukum Adat Dayak Ketungau Tesaek. Pontianak: Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK).
- Sareb Putra, R. Masri (2020). Ketungau Tesaek: Sejarah, Migrasi, Adat Budaya, Masa Depan. Tangerang: Lembaga Literasi Dayak (LLD). ISBN 9786237069348.