Wanamina

Revisi sejak 31 Juli 2024 08.03 oleh FelixJL111 (bicara | kontrib) (Menghapus Kategori:Hutan bakau; Menambah Kategori:Hutan mangrove menggunakan HotCat)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Wanamina atau Silvofishery adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman bakau, yang diikuti konsep pengenalan sistem pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi dampak terhadap lingkungan.[2]

Delta Mahakam, salah satu daerah di Indonesia yang telah menerapkan budidaya perikanan dengan sistem wanamina.[1]

Latar belakang

sunting

Di Asia Tenggara, penerapan sistem wanamina semakin giat untuk digalakkan, hal ini disebabkan oleh deforestasi atau pengawahutanan ekosistem bakau yang pesat. Studi terbaru mengungkapkan bahwa hutan bakau ekosistem telah terdegradasi secara signifikan karena Perubahan Penggunaan Lahan dan Penutupan (LUCC) belakangan ini. Bahkan antara tahun 2000-2012, tutupan hutan bakau global telah berkurang 164.600 ha (1,97%) dengan perkiraan tingkat kerugian global 13.700 ha atau 0,16% per tahun. Aktivitas antropogenik yang sering menjadi penyebabnya deforestasi adalah konversi penggunaan lahan menjadi pertanian dan akuakultur (yang paling umum adalah tambak udang dan bandeng). Sejak tahun 2000 hingga 2012, akuakultur adalah pendorong utama perubahan ekosistem bakau.[3][1]

Maka dari itu terciptalah ide budidaya perikanan dengan sistem wanamina dimana penerapannya mengurangi dampak terhadap lingkungan dengan usaha pembudidayaan bakau yang berkesinambungan dengan pembudidayaan perikanan.

Potensi budidaya

sunting

Hasil perikanan yang dapat dibudidayakan antara lain berbagai udang (udang lumpur, udang windu, udang galah, udang kaki putih), krustasea selain udang seperti lobster dan kepiting bakau, ikan tambakan sepert ikan kembung, kerapu, bandeng, patin , kakap dan moluska air (tidak umum dibudidayakan) seperti kerang, teripang dan landak laut serta rumput laut.

Konsep

sunting

Konsep lama

sunting

Konsep lama disebut Low External Input Sustainable Aquaculture (LEISA) yang menghasikan potensi rendah baik ekonomi maupun ekologi. Pada konsep lama, bakau dibiarkan tumbuh di pematang tambak sehingga menghambat pertumbuhan budidaya tambak dikarenakan tajuk tajuknya akan menghalangi cahaya masuk ke dasar air yang membuat asupan O2 ke dalamnya sedikit, sehingga kemampuan bakau dalam menyerap karbon menjadi lemah.[4]

Akibat oksigen minim, serasah bakau yang jatuh ke dasar tambak tidak terurai dengan sempurna sehingga berpotensi menjadi racun bagi mahluk hidup air karena mengandung tanin. Selain itu dalam konsep lama, bakau tak ditata (ditanam secara tidak beraturan) sehingga mempersempit ruang gerak satwa di bawahnya, bahkan menyulitkan pergantian air.[4]

Konsep baru

sunting

Konsep baru disebut sistem Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) yang mengandalkan polikultur (budidaya beragam) sehingga jasa ekosistemnya lebih tinggi. Dengan jasa ekosistem wanamina polikultur, budidaya tambak juga akan menghasilkan ragam ikan sehingga potensi ekonominya juga meningkat. Dalam konsep baru, bakau diatur tempat tumbuhnya sehingga ada ruang bagi proses fotosintesis yang cukup. Bakau dibuat seperti tanaman pagar yang dapat mencegah daerah pesisir dari abrasi. Dengan car aini juga tersedia ruang untuk sedimentasi sehingga ekosistem bakau terjaga kesuburannya.[4]

Metode

sunting

Empang parit

sunting

Sistem empang parit mampu mereforestasi lahan hingga 80 persen dari luas tambak. Bakau ditanam dengan jarak 1 x 1 meter antarpohon. Lebar kanal pemeliharaan adalah 3-5 meter dengan kedalaman sekitar 40-80 sentimeter dari muka pelataran. Dengan desain dasar tersebut, berbagai jenis ikan seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, baronang, hingga kepiting bakau, dapat dipelihara secara itensif di dalam kanal.[1]

Pola ini lahan bakau dan empang berada dalam satu hamparan dan pengelolaan air diatur dengan satu buah pintu air. Keuntungan dari penerapan pola ini adalah bentuknya yang sederhana, sehingga biaya rekonstruksinya relatif lebih murah. Kelemahannya, karena letak hutan dan empang berada dalam satu hamparan, kemungkinan hama pengganggu ikan cukup tinggi, serasah dan dedaunan yang jatuh ke empang dalam jumlah berlebihan dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan ikan.

Fungsi hutan sebagai penyedia pakan alami tak terpenuhi dengan baik karena pertumbuhan ganggang dan plankton kurang, akibat sinar matahari tak dapat mencapai permukaan empang. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan dilakukan penjarangan atau pengaturan jarak tanam yang lebih lebar.

Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman bakau dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu bakau (Bengen 2000 dalam Miasto,2010). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997 dalam Miasto,2010), kepadatan bakau yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohon/m².[5]

Empang parit yang disempurnakan

sunting

Pola ini merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional, perbedaannya terletak pada jumlah pintu air yaitu 2 buah untuk pemasukan dan 1 buah untuk pengeluaran, serta terdapatnya saluran air tersendiri untuk hutan. Pada pola ini biaya rekonstruksi khususnya untuk pembuatan pematang cukup besar, untuk itu pengerjaannya dapat dilakukan secara bertahap. Produktivitas empang lebih optimal, karena permasalahan seperti pola tradisional dapat dieliminasi. Hambatannya, lahan pemeliharaan ikan kurang terintegrasi dan luasnya terbatas.

Komplangan

sunting

Desain tambak dibuat berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang ditanami bakau. Lahan dibuat terpisah dalam dua hamparan yang diatur saluran air dengan dua pintu. Luas arealnya rata-rata 2-4 hektare. Model ini merupakan metode budi daya air payau dengan input rendah. Metode ini mampu mereduksi dampak negatif terhadap ekosistem bakau.[1]

Pada pola komplangan, areal pemeliharaan ikan dengan lahan hutan bakau terpisah oleh pematang dan dilengkapi dengan 2 buah pintu air masing-masing untuk pemasukan dan pengeluaran air. Pada lahan hutan terdapat pintu air pasang surut bebas.

Keuntungan dari pola ini adalah bentuknya yang lebih terintegrasi, cukup memperoleh sinar matahari sehingga dapat digunakan untuk budidaya semi intensif.

Model tambak ini sebenarnya sama seperti model empang parit, tapi ukuran tambaknya dibuat lebih besar, yaitu sekitar 3-5 meter dan kedalaman hingga 80 cm.[6]

Tanggul

sunting

Hutan bakau hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak wanamina jenis ini yang berkembang di kelurahan Gresik dan Kariangau Kota Balikpapan.

Keunggulan

sunting
  1. Bakau yang subur membawa dampak positif bagi biota air yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem di atasnya.
  2. Adanya penanaman/pemeliharaan bakau dapat meningkatkan daya dukung (carrying capacity) tambak, sehingga mampu menjaga kualitas air.
  3. Sementara racun yang mengancam mahluk hidup akan terserap oleh akar bakau yang rakus pada logam berat lalu merilisnya menjadi zat dan gas yang bermanfaat bagi renik di sekitarnya.
  4. Bakau merupakan tanaman dengan kemampuan menyerap dan menyimpan karbon yang kuat dan banyak
  5. Tidak perlu memberi pakan ikan secara teratur, karena bakau telah menyuplai pakan alami.
  6. Bakau berperan baik sebagai tempat asuhan ikan.
  7. Tanaman bakau yang ada dalam tambak wanamina berfungsi sebagai biofilter bagi buangan tambak. Hal ini bertujuan agar buangan tambak tidak melampaui kemampuan asimilasi lingkungan.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Gading, Samuel. "Mengenal Silvofishery, Metode Menyelamatkan Delta Mahakam yang Hampir Lenyap karena Tambak Udang". Kaltim Kece (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-26. 
  2. ^ Paruntu, Carolus P.; Windarto, Agung B.; Mamesah, Movrie (2016). "Mangrove Dan Pengembangan Silvofishery Di Wilayah Pesisir Desa Arakan Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan Sebagai Iptek Bagi Masrakat". Jurnal LPPMBidang Sains dan Teknologi. 3 (2): 1–25. doi:10.35801/jlppmsains.3.2.2016.15212. ISSN 2808-7070. 
  3. ^ Irawan, Bambang (2019-10-30). "Penyebab Deforestasi Hutan Bakau di Asia Tenggara". Unair News. Diakses tanggal 2023-06-26. 
  4. ^ a b c Maulana, Rama (25 Desember 2021). "Konsep Baru Wanamina". Forest Digest. Diakses tanggal 2023-06-27. 
  5. ^ Ardhana, Adnan. "Silvofishery Sebagai Pilihan strategi Rehabilitasi Mangrove – Oleh Adnan Ardhana – BPSILHK Banjarbaru". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-24. Diakses tanggal 2023-06-28. 
  6. ^ Farah, Nadia (2021-11-05). "Mengenal Wanamina: Pengintegrasian Budidaya Perikanan dan Pelestarian Mangrove". EcoNusa. Diakses tanggal 2023-06-27.