Puti adalah nama kecil, panggilan atau gelar yang kadang bisa ditemukan pada perempuan yang masih berdarah bangsawan Minangkabau baik darah raja maupun darah datuk yang ada pada mereka, murni ataupun campuran. Namun ini lebih sebagai panggilan ataupun gelar ciri khas adat Minangkabau, dan belum terdapat adanya keterangan jelas bahwa "puti" adalah gelar perempuan bangsawan. Hal itu dikarenakan bahwa panggilan "puti" juga digunakan untuk ditujukan pada anak perempuan yang masih dalam didikan orangtuanya. Seperti halnya "sutan" yang sebenarnya bukanlah gelar laki-laki bangsawan yang sering disalahpahami oleh kalangan orang Minang itu sendiri dengan menganggap sama istilahnya dengan sultan, "puti" tidak juga bisa dikatakan sebagai gelar perempuan yang diterapkan secara sistem bangsawan karena tidak ada rujukan valid yang menyebutkan demikian.

Etimologi

Istilah "puti" merujuk pada istilah "putri" (princess) dalam budaya Melayu walaupun tidak ada kejelasan mengenai itu. Kadang-kadang digabungkan dengan kata reno dan tuan sehingga menjadi Puti Reno (dianggap sebagai sebutan "Putri Ratna" atau "Putri Rekna") dan Tuan Puti (panggilan ini juga tidak terdengar dalam budaya Minangkabau). Dalam Kerajaan Pagaruyung, perempuan bangsawan bergelar "puti" tersebut juga merupakan tokoh yang menjalani adat Minangkabau yang berciri khas Lareh Koto Piliang dengan prinsip "bajanjang naiak, batanggo turun" dan berada pada kalangan pemegang pucuk kepemimpinan yang membawahi masyarakat Minangkabau, sehingga secara spontan dianggap bahwa panggilan atau gelar "puti" merupakan gelar perempuan bangsawan di Minangkabau.

Terkenal dalam pepatah petitih Minangkabau: adat raja turun-temurun, adat puti sundut bersudut yang artinya apabila seorang raja mangkat maka ia digantikan oleh anak atau kemenakannya sedangkan seorang puti bila mempunyai anak perempuan maka anak perempuannya otomatis juga seorang puti. Namun jika ditelaah, hal tersebut lebih bermaksud pada unsur adat, bukan unsur bangsawan. Sebagaimana pepatah Minang mengatakan, "Baadaik ka Pariangan, barajo ka Pagaruyuang", jadi panggilan atau gelar tersebut diberikan atau dikukuhkan secara adat.

Dan jika membahas soal pepatah petitih Minangkabau sebelumnya, adat raja tersebut secara sistemnya hanya diturunkan kepada kemenakan, karena yang dimaksud ini adalah adat. Sebagaimana dalam petitih struktur adat Minangkabau: “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo, bana manuruik alua jo patuik, manuruik patuik jo mungkin.”, dan itu juga berdasarkan adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, sehingga prosesi adat juga tidak ada diturunkan dari ayah ke anak laki-lakinya, melainkan dari mamak (saudara laki-laki ibu) ke kamanakan (kemenakan/keponakan)-nya.

Sejarah

Perempuan-perempuan keturunan Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Inderapura, dan Kerajaan Siguntur masih menyandang nama puti pada nama kecilnya. Namun panggilan atau gelar tersebut tidak hanya digunakan pada perempuan bangsawan. Di masa dahulu, panggilan ini juga ditujukan pada seorang anak perempuan yang masih dalam didikan orangtua, di samping juga panggilan "sutan" ditujukan pada anak laki-lakinya.

Lihat Pula

Pranala luar