Habib Muda Seunagan
Habib Muda Seunagan atau Abu Peuleukung adalah seorang ulama dan pejuang yang berasal dari daerah Seunagan, Nagan Raya, Aceh. Nama lengkapnya adalah As-Sayyid Muhammad Muhyiddin bin Sayid Muhammad Yasin bin Qutbul Wujud Sayyid Abdurrahim bin Sayyid Abdul Qadir bin Sayyid Athaf bin Sayyid Abdussalam bin Sayyid Ali.[1] Ia hidup pada masa penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan Indonesia. Selain di ladang politik, ia juga seorang ulama lintas generasi yang berperan di Aceh Barat, Gayo Lues, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan bagian Aceh lainnya. Ia adalah seorang mursyid utama Tarekat Syattariah di Seunagan yang masih berkembang hingga kini. Salah satu peninggalannya yang sampai saat ini dinikmati masyarakat Nagan Raya yaitu saluran irigasi untuk sawah petani diberi nama "Lhung Abu" sepanjang 25 kilometer.[2]
Habib Muda Seunagan | |
---|---|
[[Mursyid Tarekat Syattariyah Seunagan]] ke-33 | |
Anggota DPRD Kabupaten Aceh Barat | |
Masa jabatan 1971–1075 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Peuleukung, Indonesia | 31 Desember 1937
Meninggal | 14 Juli 2020 | (umur 82)
Kebangsaan | Indonesia |
Anak | 7 |
Orang tua | Sayid Muhammad Yasin (Ayah) |
Profesi | Ulama Tokoh masyarakat |
Sunting kotak info • L • B |
Kelahiran dan Nasabnya
Tidak ada yang mengetahui secara pasti mengenai kapan Abu Habib Muda Seunagan lahir. Walaupun ada beberapa penulis yang memperkirakan beliau lahir pada tahun 1860 tapi penjelasan mengenai alasan pemilihan tahun tersebut tidak pernah disebutkan. Bahkan keluarga juga tidak mengetahui tahun pasti kelahirannya. Lokasi kelahirannya adalah di Desa Krueng Kulu, Kemukiman Blang Ara, Kecamatan Seunagan Timur. Nama lengkap dan nasab keturunannya adalah Sayyid Muhammad Muhyiddin (Sayyid Muda Seunagan) bin Sayyid Muhammad Yasin bin Qutbul Wujud Sayyid Abdurrahim bin Sayyid Abdul Qadir bin bin Sayyid Athaf bin Sayyid Abdussalam bin Sayyid Ali[3]
Masyarakat di Nagan Raya meyakini ketika Abu Habib Muda Seunagan meninggal, ia berumur seratus tahun. Jika perkiraan ini benar maka berarti beliau lahir sekitar tahun 1870-an atau tiga tahun sebelum Belanda memulai agresinya ke Aceh. Salah satu penulis Belanda, Zentgraaff, mengatakan pada tahun 1917 meletus perang antara pasukan Belanda dengan pejuang di Aceh Barat yang dipimpin oleh Teungku Puteh yang tak lain adalah Habib Muda Seunagan.[3]
Istri dan anak Keturunannya
Semasa hidupnya Habib Muda Seunagan memiliki tiga orang istri yaitu: Mak Bulkis, Mak Balee, dan Mak Blang Araa.[butuh rujukan] Tidak ada yang tahu nama asli mereka karena pada masa itu banyak orang dikenal dengan nama tempat lahir atau tempat tinggalnya. Berikut ini adalah nama istri dan anak keturunannya:
- Mak Bulkis
- Aja Bulkis (meninggal waktu kecil).
- Siti Hawa (Mak Balee)
- Sayed Tuha (meninggal waktu balita) dimakamkan di Meugat Meh.
- Habib Quraish, dikenal juga dengan nama Abu Habib Bustamam dan meneruskan posisi sebagai mursyid. Ia wafat tahun 1995, beliau menikah dengan Wan Makdon binti Habib Hasyim tanpa meninggalkan keturunan.
- Aja Nih Kalimah. Menikah dengan Teuku habeb Tjut Banta dan melahirkan dua orang anak yaitu Teungku Syahminan Basny dan Teungku Mustafa Kamal. Aja Nih Kalimah wafat beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.
- Sayyid Syadzili menikah dengan Cutwan Keumalawati bin Habib Usman, Ia memiliki dua orang anak Aja Budi dan Sayyid Jamalul Ade. Ia dan anak-anaknya wafat pada usia muda.
- Aja Aji Bernun atau sering dipanggil dengan Mak Aji. Ia memiliki tiga orang anak yaitu: H. Teungku Kamaruzzaman Yus, H. Teungku Marsyul Alam, dan Teungku Masyumi.
- Habib Puteh atau sering dipanggil dengan Abu Padang. Ia memiliki empat orang anak yaitu: Sayyid Jailani, Hj. Wan Ajani, Sayyid Mahdi, dan Sayyid Kamalul Yakin.
- Cut Wan Zainab atau sering dipanggil dengan Mak Rumoh Rayeuk karena ia tinggal bersama ayahnya. Ia memiliki 11 orang anak yaitu Teuku Zulkarnaini, Cut Kemala Iman, Hj. Cut Meurahwan, Hj. Cut Merdom, Hj. Cut Intan Mala, Ir. Cut Intan Sawadeh, T. Jamalul Alamuddin, T. Mizan Sya'rani, T. Pelita Alam (meninggal ketika masih kecil), Teuku Raja Keumangan, dan Cut Syarifah Aja Burhani.
- Sayed Ataf (meninggal pada usia kanak-kanak) di makamkan di Puloe Ie Rambong Cut.
- Habib Qudrat atau Abu Qudrat. Sejak tahun 1995 menjadi pemegang amanah keluarga Habib Muda Seunagan dan sekaligus menjadi mursyid. Ia menikah dengan Syarifah Rasyidah binti Sayyid Muhammad Assegaf, memiliki tujuh orang anak yaitu: Syarifah Jannatun, Hj. Syarifah Nurmala, Sayyid Zainal Abidin, Sayyid Kamaruddin, Syarifah Fauziana, Sayyid Irfan Mihrab, dan Syarifah Meliza.
- Mak Blang Araa (Wan Seumot binti Habib Muhammad Amin bin Habib Abdurrahim)
- Cutwan Peunawa atau sering dipanggil dengan Mak Nih. Ia memiliki tujuh orang anak yaitu: Teungku Mustafa, Teungku Amirin Mukminin, Hj. Teungku Cut Wan, Tgk. Hasbi Daud, Teungku Jamalul Hakim, Teungku Saiful, dan Hj. Teungku Aini
Silsilah Tarekat Syattariah Habib Seunagan
- Rasulullah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam
- Sayyidina Ali
- Imam Ali Zainal Abidin
- Imam Muhammad Al-Baqir
- Imam Ja'far Ash-Shadiq
- Syaikh Muhammad Maghribi
- Syaikh Abu Yazid Al-Busthami
- Syaikh Abu Muzafar
- Syaikh Abu Hasan
- Syaikh Khadafi
- Syaikh Muhammad Asyiq
- Syaikh Muhammad Arif
- Syaikh Abdullah Syatari
- Syaikh Qadhi
- Syaikh Hidayatullah
- Syaikh Hadhuwar
- Syaikh Muhammad Qusya
- Syaikh Wajidin
- Syaikh Shifatullah
- Syaikh Ahmad Tsanawi
- Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi
- Syaikh Muhammad Thamiri
- Syaikh Ibrahim
- Syaikh Muhammad Sa’id
- Syaikh Muhammad Su'ud
- Syaikh Muhammad Ali
- Syaikh Muhammad Langien
- Qutbul Wujud Sayyid Abdurrahim
- Syaikhuna Sayyid Sayid Muhammad Yasin
- Abu Habib Muda Seunagan
- Sayyid Quraish
- Sayyid Qudrat (Mursyid saat ini).[1]
Perjuangan
Masa Penjajahan Belanda
Pada masa remaja, ia mengikuti orang tuanya untuk mengungsi ke wilayah Tadu Atas tempat mereka tinggal sekaligus mengatur strategi untuk menyerang Belanda. Salah satu pertempuran yang diikuti olehnya adalah pertempuran Tuwi Pomat Tudu Atas. Pertempuran-pertempuran tersebut tentu saja memakan banyak korban jiwa, harta sehingga Abu Habib Muda Seunagan melakukan perundingan di Mukim Bungong Taloe, Beutong dengan Letnan Schmidt yang menjadi pimpinan pasukan Belanda ketika itu. Perjanjian yang disepakati adalah kaum muslimin dapat melaksanakan ibadah mereka dan pasukan Belanda tidak akan mengganggu penduduk dan melakukan intervensi.[3]
Masa Penjajahan Jepang
Ketika Jepang mendarat di Aceh pada tahun 1942, Abu Habib Muda Seunagan adalah salah seorang ulama yang tidak mau bekerja sama dengan mereka. Ia bersama dengan Abuya Muda Wali dan Teungku Hasan Krueng Kalee memiliki pandangan berbeda dengan kebanyakan ulama PUSA yang bekerja sama dengan Jepang ketika itu. Akibat sikapnya tersebut, ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.
Para tahanan kemudian diperiksa di markas militer Jepang di Mata Ie, Aceh Besar dan oleh para tahanan yang ada, Abu Habib Muda Seunagan dipercaya untuk menjadi wakil mereka. Ketika pemeriksaan berlangsung, ada pertanyaan dari pemeriksa mengenai siapa yang dijadikan pemimpin oleh Abu Habib Muda Seunagan dan kemudian dijawab bahwa pimpinannya adalah Tenno Heika atau Kaisar Jepang. Mendengar jawaban tersebut maka pemeriksaan langsung dihentikan dan tahanan yang menjadikan Abu Habib Muda Seunagan sebagai perwakilan mereka dibebaskan. Pengakuan tersebut dilakukan dengan alasan untuk menyelamatkan para tahanan yang telah menjadikannya perwakilan mereka.[3]
Pascakemerdekaan
Mengibarkan Bendera Merah Putih Pertama
Ketika proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, berita tersebut tiba di Seunagan beberapa hari kemudian. Pada saat itu, Wedana Aceh Barat, Abdullah Dariya,[3] yang pernah dipenjarakan bersama dengan Bung Karno diberitahukan agar mengibarkan bendera merah putih di daerahnya. Karena keberadaan pasukan Jepang yang masih menjaga daerahnya, ia meminta bantuan Habib Muda Seunagan agar dapat mengibarkan bendera merah putih di kawasan Seunagan dan Sayyid Muda Seunagan menyanggupinya dengan mengibarkan bendera tersebut di daerah Jeuram. Adapun tokoh-tokoh yang hadir ketika pengibaran bendera tersebut diantaranya adalah: Sayyid Muda Seunagan, Zakariya Yunus, Toke Nyaklah Hamzah, Guru Muhammad Jamin, Teungku Idris Padang, Haji Nyak Dolah Ilahm dan Mahyuddin Asyik dari kalangan pemuda. Adapun pengibaran bendera ini adalah pengibaran bendera merah putih pertama kali di seluruh Aceh.[1]
Mengatasi Pemberontakan DI/TII
Ketika pada tahun 1953 diproklamasikan berdirinya Darul Islam oleh Teungku Daud Beureueh, Sayyid Muda Seunagan bersama dengan Abuya Muda Wali dan Teungku Hasan Krueng Kalee mengeluarkan pernyataan tidak setuju dengan gerakan tersebut. Pernyataan tersebut dilandasi pada hukum Islam yang memandang pemberontakan kepada pemerintah yang sah adalah haram. Apalagi Teungku Daud Beureueh pernah menerima keberadaan Indonesia dan pernah bekerja untuk pemerintah Indonesia.
Bersama dengan masyarakat Peuleukung dan sekitarnya, Abu Habib Muda Seunagan kemudian membentuk Organisasi Pagar Desa (OPD) untuk menghadapi pasukan DI/TII yang mengganggu rakyat. Organisasi ini dipimpin oleh Ceh Nanggroe, salah seorang murid Abu Habib Muda Seunagan.
Untuk mengatasi DI/TII, pemerintah mengirimkan tentara untuk menumpas mereka. Masalah baru kemudian muncul karena tentara tidak mengenal pengikut DI/TII sehingga banyak masyarakat menjadi korban. Untuk mengatasi hal tersebut maka Abu Habib Muda Seunagan mengeluarkan sebuah Kartu Identitas yang menyatakan bahwa nama yang tertera pada kartu tersebut adalah murid Abu Habib Muda Seunagan dan tidak terlibat dalam DI/TII. Karena jasa-jasanya tersebut maka pada tahun 1958 Abu Habib Muda Seunagan diundang ke Istana Negara oleh Presiden Sukarno serta dibiayai untuk berkunjung ke beberapa tempat seperti Mesjid Demak dan kemudian diberikan sebuah mobil Land Rover untuk transportasi di Peuleukung.[1]
Mengatasi Pemberontakan PKI
Ketika PKI memberontak pada tahun 1965, Abu Habib Muda Seunagan mengajukan permintaan kepada Kasdam Iskandar Muda, Kolonel A. Kohar Imam Khormen agar tentara hanya menangkap gembongnya saja karena rakyat sebenarnya banyak yang terjebak, hanya karena menerima bantuan peralatan pertanian sudah dituduh sebagai anggota PKI.[1]
Wafat
Abu Habib Muda Seunagan wafat pada 14 Juni 1972 dan dimakamkan di Mesjid Peuleukung yang dibangunnya sendiri. Ia berpesan sebelum wafatnya agar makamnya dibuka sepanjang tahun dan membolehkan siapapun untuk berziarah tanpa memandang agama dan suku bangsa mereka. Karena jasa-jasa Abu Habib Muda Seunagan maka Pemerintah RI menganugerahi Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Abu Habib Muda Seunagan sebagai seorang pejuang kemerdekaan.[1]
Referensi
- ^ a b c d e f Shadiqin, Sehat Ihsan (1 April 2017). "DI BAWAH PAYUNG HABIB: SEJARAH, RITUAL, DAN POLITIK TAREKAT SYATTARIYAH DI PANTAI BARAT ACEH". Substantia. 19 (1). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-12. Diakses tanggal 21 September 2018.
- ^ Wahid, Salahuddin (2015-11-10). "Kiprah Abu Habib Muda Seunangan Merebut Kemerdekaan". ANTARA News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-10. Diakses tanggal 2018-09-21.
- ^ a b c d e 1979-, Shadiqin, Sehat Ihsan,; Ardiansyah,; Fakhrurradzie,, Gade,. Abu Sayyid Muda Seunagan, republiken dari Aceh : hidup, ajaran, dan perjuangan (edisi ke-Cetakan pertama). Banda Aceh. ISBN 9786021632505. OCLC 953413631.