Lingkungan hidup

Revisi sejak 24 Agustus 2024 00.57 oleh Turmadan (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan berhubungan timbal balik. Lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang antara makhluk hidup dan komponen abiotik lainnya.[1] Interaksi antar lingkungan alamiah dan sekitarnya membentuk sistem ekologi (ekosistem).[2] Lingkungan memegang peranan sebagai habitat bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi.[3]

Banyak perhatian dicurahkan untuk mempertahankan lingkungan alami Air Terjun Hopetoun, Australia, sembari mengizinkan pengunjung untuk menikmatinya.

Komponen-komponen lingkungan hidup terdiri dari dua jenis, yaitu:[2]

  • Komponen biotik, makhluk hidup yang meliputi hewan, tumbuhan, dan manusia.
  • Komponen abiotik adalah benda-benda tak hidup, antara lain air, tanah, batu, udara, dan cahaya matahari.

Semua komponen yang berada di dalam lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk sistem kehidupan yang disebut ekosistem.[2] Ekosistem yang merupakan bagian utama dari lingkungan hidup, adalah lingkungan yang sangat dinamis, karena banyaknya komponen yang terlibat di dalamnya. Jika salah satu komponen tersebut berubah maka sistem adaptasi dari organisme yang ada untuk menjaga keseimbangan akan mengalami perubahan. Karena ekosistem merupakan pusat segala aktivitas yang menyediakan sumber makanan dan kebutuhan lain bagi makhluk hidup maka keseimbangan komponen di dalamnya harus dijaga dengan baik.[4]

Keseimbangan lingkungan secara alami dapat berlangsung karena beberapa hal, yaitu komponen-komponen yang terlibat dalam aksi-reaksi dan berperan sesuai kondisi keseimbangan, pemindahan energi (arus energi), dan siklus biogeokimia dapat berlangsung. Keseimbangan lingkungan dapat terganggu jika terjadi perubahan berupa pengurangan fungsi dari komponen atau hilangnya sebagian komponen yang dapat menyebabkan putusnya mata rantai dalam suatu ekosistem. Kondisi keseimbangan tersebut kemungkinan dapat berubah dengan adanya campur tangan manusia dengan segala aktivitas pemenuhan kebutuhan yang terkadang melampaui batas.[3]

Definisi

sunting

Definisi lingkungan hidup Indonesia

sunting

Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.

Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

Merujuk pada definisi di atas, maka lingkungan hidup Indonesia tidak lain merupakan Wawasan Nusantara, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya.

Lingkungan hidup alami

sunting

Lingkungan hidup alami merupakan lingkungan bentukan alam yang terdiri atas berbagai sumber alam dan ekosistem dengan komponen-komponennya, baik fisik, biologis, maupun berbagai proses alamiah yang menentukan kemampuan dan fungsi ekosistem dalam mendukung kehidupan. Lingkungan hidup alami bersifat dinamis karena memiliki tingkat heterogenitas organisme yang sangat tinggi. Segala proses yang terjadi di dalam lingkungan alami terjadi dengan sendirinya dan dalam keadaan tetap seimbang. Contoh lingkungan hidup alami adalah hutan primer yang segala kehidupan dan isi di dalamnya belum terkena campur tangan manusia.[2]

Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang terdiri dari gaya kosmik dan fisiogeografis seperti tanah, udara, laut, radiasi, gaya tarik, ombak, dan sebagainya. Lingkungan biologis, yaitu segala sesuatu yang besifat biotis berupa mikroorganisme, parasit, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Termasuk juga di sini, lingkungan prenatal dan proses-proses biologi seperti reproduksi, pertumbuhan dan sebagainya.[5]

Lingkungan hidup binaan atau buatan

sunting

Lingkungan hidup buatan mencakup lingkungan buatan manusia yang dibangun dengan bantuan atau masukan teknologi, baik teknologi sederhana maupun teknologi modern. Lingkungan hidup alami diubah sehingga dapat dimanfaatkan karena kebutuhan hidup manusia yang cenderung selalu bertambah. Lingkungan hidup binaan bersifat kurang beranekaragam karena keberadaanya selalu diselaraskan dengan kebutuhan manusia. Lingkungan hidup buatan ini pada akhirnya dapat merusak keseimbangan, keselarasan, dan kelestarian yang semuanya terdapat dalam lingkungan alam. Hukum yang terdapat di alam mulai terganggu yang menghilangkan hakikat pokok kehidupan yang saling tergantung dan terikat.[2]

Lingkungan hidup sosial

sunting

Lingkungan hidup sosial terbentuk karena adanya interaksi sosial dalam masyarakat. Di dalam lingkungan hidup sosial ini terjadi interaksi dan berbagai proses lainnya, baik antar individu, individu dengan masyarakat, individu dengan budaya, maupun antarkelompok masyarakat. Lingkungan hidup sosial ini dapat membentuk lingkungan hidup binaan tertentu yang bercirikan perlakuan manusia sebagai makhluk sosial.[2]

Lingkungan sosial dapat terbagi ke dalam tiga bagian diantaranya adalah lingkungan fisiososial (kebudayaan materil seperti peralatan, senjata, mesin, gedung dan lain-lain), lingkungan biososial (manusia dan interaksinya terhadap sesamanya dan tumbuhan beserta hewan domestik dan semua bahan yang digunakan manusia yang berasal dari sumber organik), dan lingkungan psikososial (tabiat batin manusia).[5]

Komponen

sunting

Lingkungan hidup terdiri dari komponen penyusun antara lain unsur fisik (abiotik), unsur hayati (biotik), dan unsur manusia (budaya).

Unsur fisik

sunting

Unsur ini terdiri dari air, udara, tanah, unsur-unsur senyawa kimia, dan sebagainya. Unsur ini berfungsi sebagai media berlangsungnya kehidupan.

  • Air merupakan unsur lingkungan hidup yang paling penting bagi kehidupan. Air di permukaan bumi tersebar dalam bentuk air laut, air permukaan, air tanah, awan dan salju.
Air di Bumi
Kategori Persentase Total
Air asin 97,25% 1.322.600.000 km2
Air tawar Air di atmosfer 0,035% 2,75% 37.400.000 km2
Air permukaan 1%
Air tanah 23,97%
Salju/es 75%
  • Udara merupakan media kehidupan makhluk hidup yang penting. Makhluk hidup memerlukan udara untuk metabolisme tubuh. Hewan dan tumbuhan memerlukan oksigen untuk menghasilkan energi. Tumbuhan memerlukan karbon dioksida dalam proses fotosintesis. Lapisan udara juga sangat berguna bagi manusia antara lain sebagai media komunikasi secara langsung maupun melalui alat telekomunikasi seperti telepon, televisi, dan radar.
  • Tanah merupakan bagian terpenting dari kehidupan. Dengan adanya tanah, tumbuhan sebagai produsen dapat tumbuh dengan baik. Manusia dan hewan dapat hidup di atas tanah. Lapisan tanah paling atas merupakan tanah yang subur karena banyak mengandung bahan organik sehingga warnanya lebih gelap.[6]

Unsur hayati

sunting

Komponen ini terdiri dari semua makhluk hidup, dari tingkatan paling rendah sampai paling tinggi, dari makhluk hidup yang paling kecil sampai paling besar. Unsur-unsur tersebut juga saling berhubungan, dari yang sederhana sampai yang paling kompleks. Unsur hayati terdiri dari hewan, tumbuhan, dan jasad renik.[6]

Unsur budaya

sunting

Manusia mempunyai peranan penting dalam kelangsungan kehidupan di permukaan bumi. Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai kemampuan mengolah dan mengelola lingkungan hidup. Secara umum, perkembangan manusia diawali dengan kenyataan bahwa manusia sangat tergantung kepada alam, kemudian manusia mampu menguasai alam. Akan tetapi manusia dan alam seharusnya saling memengaruhi. Manusia dengan kemampuan yang dimilikinya berupaya untuk memenuhi kebutuhan dan memudahkan hidup.[6]

Faktor-faktor yang memengaruhi lingkungan hidup

sunting

Faktor-faktor yang memengaruhi lingkungan hidup yang berkaitan dengan tingkat kemampuan daya dukung lingkungan, yaitu terdiri atas faktor-faktor sebagai berikut.[3]

Faktor geografi

sunting
  1. Iklim, merupakan factor yang memengaruhi aktivitas manusia dalam lingkungannya. Iklim yang ekstrim dapat menjadi pembatas bagi aktivitas manusia.
  2. Perubahan cuaca, merupakan faktor pembatas bagi manusia ketika suhu ekstrim sedangkan suhu yang beragam dapat menjadi faktor yang membuat manusia lebih kreatif dan inovatif dalam mengatasi perubahan-perubahan tersebut.
  3. Kesuburan tanah, merupakan faktor yang berpengaruh bagi daerah agraris, karena dengan tanah yang subur sebagai daya dukung lingkungan tersebut nilainya jauh lebih tinggi daripada daerah yang kurang subur.
  4. Erosi, merupakan faktor yang dapat mengurangi daya dukung lingkungan.

Faktor sosial budaya

sunting
  1. Tingkat ilmu yang dimiliki oleh masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup bagi manusia.
  2. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat dapat meningkatkan nilai daya dukung lingkungan.
  3. Tingkat teknologi yang dimiliki oleh masyarakat dapat meningkatkan dan menurunkan nilai daya dukung lingkungan.
  4. Perilaku manusia dapat meningkatkan nilai daya dukung dari lingkungan.

Persetujuan internasional tentang lingkungan hidup

sunting

Masyarakat dunia menyadari bahwa masalah lingkungan merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama pula. Konferensi tentang lingkungan hidup manusia diadakan untuk pertama kalinya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Stockholm, Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972, yang mengusung tema "The Only One Earth". Konferensi ini kemudian dikenal sebagai Konferensi Stockholm, dan tanggal pembukaan konferensi, 5 Juni disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada konferensi itu juga disetujui untuk membentuk badan khusus PBB yang bertugas mengurus pemasalahan lingkungan, yaitu United Nation Environment Programe (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya.[2]

Indonesia termasuk dalam perjanjian: Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon, Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah, Perubahan Iklim - Protokol Kyoto (UU 17/2004), Perlindungan Kehidupan Laut (1958) dengan UU 19/1961.

Pelestarian lingkungan hidup

sunting

Setiap kegiatan pembangunan akan mengakibatkan dampak atau gangguan tehadap komponen ekosistem (lingkungan) itu sebagai lokasi pembangunan.[7] Dampak pembangunan tersebut tidak mungkin ditiadakan atau dihilangkan secara total. Akan tetapi, upaya yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif sehingga kerusakan dan pencemaran yang timbul dapat ditoleransi oleh lingkungan. Untuk mewujudkannya, yaitu dengan pengelolaan lingkungan yang berasaskan pelestarian lingkungan, karenanya perlu pemahaman tentang konsep ekosistem, asas ekologi atau lingkungan, konservasi, dan pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup.[8]

Perlu diperhatikan bahwa pelestarian lingkungan mengandung dua pengertian, yaitu:[8]

  • Pelestarian fungsi lingkungan

Suatu lingkungan dapat berubah karena adanya pembangunan, tetapi fungsi lingkungan itu tetap dipertahankan. Misalnya, pada suatu areal yang ditumbuhi pepohonan akan dibangun kawasan industri, sehingga pepohonan tersebut harus ditebang. Dalam hal ini perencanaan harus menyediakan pengganti fungsi pepohonan tersebut, yaitu dengan diganti oleh areal terbuka dan pohon tanaman penghijauan setelah proyek berjalan.

  • Pelestarian lingkungan

Keberadaan hutan lindung, taman nasional dan cagar alam yang harus tetap dipertahankan merupakan contoh konkretnya. Artinya, kegiatan pembangunan tidak boleh dilakukan di lingkungan itu karena fungsinya tidak mungkin dilestarikan dengan adanya kegiatan pembangunan.

Permasalahan lingkungan hidup

sunting

Masalah lingkungan terjadi sebagai akibat timbulnya salah satu dari kondisi-kondisi seperti melampaui kemampuan suatu komponen, adanya ketidakseimbangan di antara komponen, terganggunya fungsi komponen atau sama sekali tidak mampu berfungsi seperti biasanya.[5] Masalah lingkungan hidup pada umumnya disebabkan oleh peristiwa alam, pertumbuhan penduduk yang pesat, pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, industrialisasi, dan transportasi.[8]

 
Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Erupsi berdampak pada kerusakan permukiman dan perkebunan masyarakat di sekitarnya.

Peristiwa alam

sunting

Peristiwa alam atau kejadian yang terjadi secara alamiah, seperti gempa bumi, longsor, kebakaran hutan oleh petir, banjir, letusan gunung berapi, dan lain-lain, telah banyak menimbulkan masalah lingkungan hidup. Gempa yang terjadi di daratan dapat menyebabkan tanah retak-retak, bentang alam longsor, kerugian harta benda, kematian manusia dan hewan, dan lain sebagainya. Sedangkan, gempa di lautan menyebabkan terganggunya kehidupan biota laut dan badai. Kebakaran hutan mengakibatkan pencemaran udara oleh asap, punahnya sumber daya genetik (plasma nutfah), terganggunya kehidupan satwa liar dan kematian bagi satwa yang pergerakannya lambat. Dampak letusan gunung berapi sangat luas dan dapat mengubah ekosistem wilayah bersangkutan. Letusan gunung berapi yang dampaknya sangat luas adalah Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883 [8]

Pencemaran

sunting
 
Polusi udara dari kegiatan industri

Masalah pencemaran timbul bilamana suatu zat atau energi dengan tingkat konsentrasi sedemikian rupa hingga dapat mengubah kondisi lingkungan, baik langsung atau tidak langsung, dan pada akhirnya lingkungan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Timbulnya pencemaran berkaitan erat dengan berbagai aktivitas manusia, antara lain:

  • Kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan berbahaya seperti logam-logam berat, zat radioaktif, air buangan panas, kepulan asap, kebisingan, dan lain-lain.
  • Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya kerusakan instalasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan-lahan bekas pertambangan.
  • Kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, kebisingan kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, dan lain-lain.
  • Kegiatan pertanian, terutama akibat residu pemakaian zat-zat kimia seperti pestisida, insektisida, herbisida atau fungisida, untuk hama. Demikian pula pemakaian pupuk anorganik.[5]
 
Kiri ke kanan: Chlorocebus sp. sumber SIV, Cercocebus atys atys sumber HIV-2, dan Simpanse sumber HIV-1. Jenis primata tersebut merupakan inang pembawa awal mula virus HIV di alam liar.

Timbul berbagai penyakit

sunting

Perkembangan industri dan teknologi tidak selamanya menjadi alat pemuas bagi kehidupan manusia, karena di balik itu semua terdapat banyak risiko dan masalah yang bermunculan. Belakangan ini telah banyak muncul penyakit yang diakibatkan oleh limbah industri, seperti Penyakit Minamata dan Itai-itai di Jepang. Penyakit dan wabah-wabah juga semakin banyak bermunculan akibat pengelolaan lingkungan yang tidak benar oleh manusia. Hutan sebagai habitat dan menyimpan berbagai spesies satwa dan tumbuhan, yang tadinya tertutup, kini terbuka dan habis ditebangi untuk berbagai konsumsi modern, terutama bagi masyarakat perkotaan. Karena hutan sebagai habitat satwa-satwa sudah rusak, maka spesies-spesies satwa bermigrasi ke segala tempat, termasuk ke sekitar permukiman manusia. Berbagai satwa liar banyak pula mengandung berbagai virus mematikan bagi manusia dan ragam hewan piaraan, berinteraksi dengan lingkungan permukiman manusia, dan akhirnya virus ini berpindah ke tubuh manusia. Faktor perdagangan satwa langka juga berkontribusi untuk membawa virus dari hutan dan binatang-binatang ke lingkungan manusia melalui alat transportasi, bahkan ke hotel-hotel. Beberapa wabah yang timbul oleh karena faktor tersebut antara lain wabah virus Marburg, Ebola, HIV (penyakit AIDS), penyakit SARS, dan Chikungunya. Penyakit lainnya timbul akibat proses teknologi, misalnya penyakit yang disebabkan dari radiasi elektromagnetik. Radiasi elektromagnetik memiliki potensi gangguan kesehatan antara lain berupa leukemia, leinfoma, infertilitas pada pria, cacat kongenital, proses generatif, perubahan ritme jantung, perubahan metabolisme melatonin, neurosis, dan lain-lain.[5]

 
Pengawahutanan untuk perkebunan kelapa sawit di Riau, Sumatra, Indonesia

Pemanfaatan alam secara tidak terkendali

sunting

Tingkah laku manusia dalam mengeksplotasi dan menggunakan sumber-sumber daya alam secara tidak seimbang berdampak pada rusaknya tata lingkungan alami. Hal tersebut dapat terlihat melalui praktek-praktek masyarakat seperti pengundulan hutan, pemanfaatan ekosistem pantai, penangkapan ikan laut yang melampaui batas konservasinya, penggunaan alat-alat beracun dan peledak untuk menangkap ikan, perburuan binatang liar, dan pola pertanian sistem ladang berpindah. Masalah ini merupakan dampak yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, misalnya tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih mengungguli tingkat pertumbuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan taraf hidup, konsumerisme, masalah keterbataasan alam untuk diolah terutama sumberdaya tak terbaharukan, pengangguran dan lain-lain.[5]

Kepadatan penduduk

sunting

Pertambahan penduduk yang semakin lama makin meningkat akan berbenturan dengan sistem lingkungan, yaitu bahwa setiap manusia memiliki berbagai kebutuhan, baik yang pokok dan pelengkap. Sedangkan semua faktor tersebut baru dapat terpenuhi apabila siklus dan cadangan-cadangan sumber daya alam masih mampu dan mencukupi. Akan dapat terjadi masa krisis, jika angka pertumbuhan penduduk kian melewati batas siklus atau jumlah cadangan sumber-sumber kebutuhan, dan hal tersebut tidak ditata secara terencana. Masalah ledakan penduduk tidak hanya terkait dengan masalah kebutuhan dasar, namun juga menyangkut berbagai aspek hidup atau kualitas hidup secara kompeks seperti pemukiman, kesehatan, tingkat pendidikan, kebebasan perorangan, kententeraman, ketertiban, keamanan dan hal lainnya yang diperlukan dalam kondisi hidup wajar.[5]

 
Badak sumatra yang terancam punah populasinya di alam.

Penurunan populasi fauna dan flora

sunting

Populasi fauna dan flora yang menurun sangat berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan dan sikap keserakahan manusia yang dapat mengganggu perkembangbiakan dan rusaknya habitat. Pembabatan, pembakaran, dan kebakaran hutan telah memusnakan spesies-spesies binatang dan tumbuh-tumbuhan serta merusak unsur hara dalam tanah. Aktivitas penyemprotan hama dengan obat pembasmi pestisida dan semacamnya juga memberikan efek samping yang buruk. Pemakaian DDT dan zat semacamnya yang persisten dan sukar terurai akan merembes ke dalam rantai makanan, yang selanjutnya memengaruhi makhluk-makhluk lain. Tindakan pembasmian dapat pula membunuh makhluk-makhluk yang bukan sasaran, yang banyak berperan sebagai predator yang bermanfaat mengontrol populasi binatang secara efektif dan banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia. Perdagangan satwa langka atau liar juga sulit diberantas. Satwa ini digunakan untuk keperluan obat-obatan dan kosmetika, serta hobi. Masalah ini harus diberantas dan ratifikasi sistem pengaturan dan larangan yang telah ditentukan CITES harus diterapkan secara ketat.[5]

 
Banjir di jalanan perkotaan.

Ketidakseimbangan ekosistem

sunting

Lingkungan mempunyai sifat yang saling berkaitan, interdependen, dan saling memengaruhi. Bila salah satu mengalami gangguan atau ketidakseimbangan, akan berakibat pada bagian-bagian sekitar lainnya. Tanah yang tandus di mana pohon-pohon tidak lagi tumbuh dapat menimbulkan banjir dan longsor. Kota yang padat permukiman tetapi tidak ditata dengan pengelolaan sampah dan pembuatan selokan, kali, kanal, dan tidak ada persediaan runag-ruang hijau, tanah resapan ataupun lahan terbuka, dan waduk-waduk buatan akan menciptakan ketidakseimbangan ekosistem perkotaan. Akibatnya ialah ancaman banjir sepanjang musim hujan. Masalah lingkungan tidak saja terbatas pada masalah biofisik, tetapi juga pada lingkungan sosial (ekosistem sosial). Bertumpuknya pembangunan di kota tetapi hal yang serupa tidak dialami di pedesaan misalnya, akan menimbulkan masalah pada ekosistem sosial berupa timbulnya urbanisasi yang pesat, dan akhirnya mengakibatkan bertambahnya permasalahan-permasalahan di perkotaan, seperti pengangguran, gelandangan, peningkatan kriminalitas, terganggunya kelancaran lalu lintas, rendahnya mutu kesehatan lingkungan,dan sebagainya.[5]

Masalah lingkungan hidup di Indonesia

sunting

Bahaya alam: banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung lumpur, tanah longsor, limbah industri, limbah pariwisata, dan limbah rumah sakit.

Masalah Lingkungan hidup di Indonesia saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke 3 di dunia); asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur; hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara.

Limbah rumah sakit

sunting

Merupakan hasil dari pemakaian peralatan kesehatan padat dan cair, bahan kimia dan bagian dari tubuh manusia yang tidak dapat digunakan lagi. Unit penghasil limbah di rumah sakit adalah semua unit yang menghasilkan limbah seperti loundri, dapur, unit kamar operasi, laboratorium, unit radiologi, apotek/farmasi, perkantoran, kantin dan lain sebagainya. pengolahan limbah padat dan cair dapat dilakukan dengan cara kimiawi dan cara tradisional, tetapi dalam standardisasinya incenarator.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Yulianto, Gatot; Susanto, Agus (2020). MSLK5104 – Ekoefisiensi Lingkungan (PDF). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. hlm. 1–48. 
  2. ^ a b c d e f g Samadi (2007). Geografi 2 : SMA Kelas XI. Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia. hlm. 109, 111, 112, 115. ISBN 978-979-746-837-8. 
  3. ^ a b c Hartono (2007). Geografi: Jelajah Bumi dan Alam Semesta. Bandung: PT Grafindo Media Pratama. hlm. 97, 98, 99, 100. ISBN 978-979-9281-61-6. 
  4. ^ Widyatmanti, Wirastuti; Natalia, Dini (2008). Geografi SMP/MTs Kls VIII (KTSP). Jakarta: Grasindo. hlm. 70, 71. ISBN 978-979-025-182-3. 
  5. ^ a b c d e f g h i Siahaan, Nommy Horas Thombang (2004). Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan. Jakarta: Erlangga. hlm. 14, 26, 29, 31–35, 37, 38, 40. ISBN 978-979-741-053-7. 
  6. ^ a b c Khosim, Amir; Lubis, Kun Marlina. Geografi SMA/MA Kls XI (Diknas). Jakarta: Grasindo. hlm. 90–92. ISBN 978-979-025-017-8. 
  7. ^ Soesilo, Tri Edhi Budhi (2020). MSLK5105 – Pemodelan Lingkungan (PDF). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. hlm. 1–19. ISBN 9786233120128. 
  8. ^ a b c d Manik, K. E. S. (2018). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kencana. hlm. 15, 16, 53, 54. ISBN 978-602-422-005-1. 

Pranala luar

sunting