Abdul Hamid Abulung al-Banjari

ulama asal Indonesia
Revisi sejak 7 September 2024 09.28 oleh Ilham Mufti Laksono (bicara | kontrib) (Menambah informasi)


Syekh Abdul Hamid Al-Banjari atau lebih dikenal dengan Datu Abulung adalah salah satu ulama Banjar yang berpengaruh pada masanya. Beliau juga yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham Wahdatul Wujud.[1] Ia dihukum mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar.[2]

Infobox orangAbdul Hamid Abulung al-Banjari
Biografi
Kematian1788 Edit nilai pada Wikidata
Tempat pemakamanMakam Syekh Abdul Hamid Abulung Galat: Kedua parameter tahun harus terisi! Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaIslam Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanulama Edit nilai pada Wikidata

Dalam sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan, pada abad ke 18 tersebutlah tiga nama tokoh yang ternama dan masyhur di tengah-tengah masyarakat waktu itu, yaitu:

  1. Syekh Abdul Hamid, dikenal dengan Datu Abulung
  2. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, dikenal dengan Datu Kelampayan
  3. Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, dikenal dengan Datu Nafis

Pada masa pemerintahan Sultan Tahlillullah Syekh Abdul Hamid muda dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari muda keduanya sama-sama diberangkatkan ke Makkah Al-Mukaramah untuk menuntut ilmu agama. Saat kepulangan dari menuntut ilmupun tidak diketahui pula kapan waktunya. Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, Syekh Abdul Hamid Datu Abulung mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya dari guru-guru beliau di Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah.[3]

Riwayat

Pada masa Kesultanan Banjar diperintah oleh Sultan Tahlilullah, ia dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diberangkatkan oleh Kesultanan banjar untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan ke tanah suci Mekkah. Namun sepak terjangnya tidak banyak yang mengetahui karna ia tidak ada meninggalkan kitab karangan seperti ulama-ulama lainnya.[4]

Wahdatul Wujud

Syeikh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung memiliki tasawuf Wahdatul Wujud yang dipengaruhi aliran ittiihad Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani dan Syekh Siti Jenar.[4] Dalam mengembangkan paham tersebut, dia mengenalkan ajaran "Ilmu Sabuku", yaitu ilmu tasawuf yang menyatukan antara Tuhan dan hamba. Menurut K.H. Irsayd Zein (Abu Daudi), inti Ilmu Sabuku dari Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai berikut.

Tiadalah maujud melainkan hanya Dia,

Tiada wujud yang lainnya,

Tiada aku melainkan Dia,

Dialah-Aku, Aku adalah Dia.[5]

Kemudian. ilmu ini diajarkan kepada murid-muridnya yang berjumlah sepuluh orang, dimana mereka mengembangkan ilmu tersebut meskipun Datu Abulung telah dihukum mati oleh Sultan Tahmidullah II.[5]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar

 
Makam Syekh Abdul Hamid Abulung

Kesempatan Datu Abulung dalam mengembangkan ajaran wujudiyyah mulai membuat hubungannya dengan Sultan Tahmidullah II dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjadi tidak harmonis. Hal ini berujung pada perintah hukuman mati oleh Sultan akibat tidak menaati perintah sultan untuk menghentikan ajarannya. Dalam perintah hukuman mati tersebut, Sultan Tahmidullah II meminta pendapat Datu Kalampayan terlebih dahulu. Menurut Datu Kalampayan, sultan harus bernegoisasi dengan Datu Abulung dan jika dia tidak menerima, maka keputusan diserahkan kepada sultan.[2][4][5]

Perlawanan Datu Abulung terhadap Sultan Tahmidullah II sangat mungkin berkaitan dengan memanasnya suhu politik kesultanan, khususnya berkaitan dengan tuntutan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah atas tahta kesultanan. Dalam kasus ini, Datu Abulung kemungkinan mendukung pangeran sehingga hanya dia yang berhak memanggil Datu Abulung ke istana karena menurut Datu Abulung, pangeran lebih berhak mewarisi tahta ketimbang sultan yang berkuasa pada saat itu. Pada tahun 1760, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah menuntut haknya sebagai pewaris tahta kesultanan dari Sultan Tamjidillah yang merupakan paman dan mertuanya sendiri. Namun, pada tahun 1761, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal dan meninggalkan beberapa anak yang berhak menjadi sultan, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat, dan Pangeran Amir. Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat mati tercekik, sedangkan Pangeran Amir berpura-pura menunaikan haji ke Makkah agar dia dapat bertemu pamannya, Arung Turawe dari Paser dan merebut Martapura. Perebutan kekuasaan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Sultan Tahmidullah II.[5]

 
Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari

Wafaf

Ia dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.[2] [4]

Masjid Jami Datu Abulung

Kemudian Sultan Tahmidullah II yang memerintah periode 1761-1801 membangun Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai bentuk penebusan dosa karena telah memerintahkan para algojo raja untuk mengeksekusi Datu Abulung.[6]

Karya

Syekh Abdul Hamid Abulung dinilai kering karya. Karena hingga saat ini hanya ada beberapa fragmen yang menyiratkan pandangan Syekh Abdul Hamid mengenai Tasawuf yang bisa dilacak, dan itu pun sangat terbatas. Di Kalimantan Selatan sendiri sekarang ada sebuah karya yang disinyalir kepunyaan Syekh Abdul Hamid. Naskah itu berisi tentang pandangan tasawuf wujudiyyah mulhid, berupa pembahasan mengenai “Asal Kejadian Nur Muhammad”. Namun tidak diketahui nama ulama Banjar yang menulis karya tersebut.[4]

Referensi

  1. ^ Haul Syekh Abdul Hamid Datu Abulung abulung/ Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine. - humas.banjarkab.go.id, diakses 1 April 2014.
  2. ^ a b c kalselpos (2021-07-29). "Ini Karomah Datu Abulung saat dikerangkeng dan ditenggelamkan ke sungai". kalselpos. Diakses tanggal 2023-11-21. 
  3. ^ Datu-Datu Terkenal Kalimantan Selatan. Kandangan: SAHABAT Mitra Pengetahuan. 2013. hlm. 61–62. ISBN 9786021988374. 
  4. ^ a b c d e Aizid, Rizem (2016). Biografi Ulama Nusantara. Yogyakarta: DIVA Press. hlm. 56–66. ISBN 9786022792390. 
  5. ^ a b c d Noor, Yusliani (2016). Islamizasi Banjarmasin (Abad ke-15 sampai ke-19). Yogyakarta: Ombak. ISBN 9786022583561. 
  6. ^ Zein, Abdul Baqir (1999). Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani. ISBN 979-561-567-X.