Konflik Sintang-Belanda (1850)

Revisi sejak 13 September 2024 15.13 oleh ANNAFscience (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Sejarah Nusantara menggunakan HotCat)

Konflik Sintang-Belanda adalah salah satu pertempuran untuk melawan kolonialisme di daerah Nusantara

Konflik Sintang-Belanda (1850)
Tanggal1850
LokasiKalimantan Barat, Indonesia
Hasil

Kemenangan Belanda

  • Suku Dayak membayar sekitar 35.000 gulden
Pihak terlibat
Kerajaan Sintang
Kesultanan Banjar
Kerajaan Mempawah
Kerajaan Sekadau

Belanda

Tokoh dan pemimpin
Pangeran Ratu Kesuma Idris (POW)
Pangeran Kuning dari Sintang
Pangeran Muda
Pangeran Mas
Raden Kesuma Yuda (POW)
Padung (POW)
Panglima Nata
Apang Labung
Apang Laung
Apang Rabat
Raden Paku
Panggi (POW)
Ruguk
Rangas
Apang Semangai (POW)
L. K. W. Trom
Kornelius Kefron
Kornelius Stohl  
Kapten Peinor
Kontrolir Jansen 
Letnan Van Wijk
Panembahan Ismail

Perjuangan Pangeran Idris

maka Pangeran Ratu Idris bersama saudaranya Pangeran Kuning dan Pangeran Muda menyusun kekuatan rakyat untuk menyerang benteng Belanda. Serangan terhadap benteng Belanda dilancarkan tanpa persiapan yang matang dan persenjataan yang kuat. Serbuan rakyat terhadap benteng Belanda dilancarkan pada malam hari dengan membakar benteng Belanda. Keesokan harinya Belanda melakukan serangan balasan, menembaki pasukan Pangeran Ratu Idris dengan senapan. Karena kekuatan senjata Belanda lebih kuat, maka pasukan yang mengepung benteng Belanda dapat dipukul mundur dan Belandajuga menembaki pusat keraton Sintang. Akhirnya pasukan Pangeran Idris mengundurkan diri, walaupun dalam pertempuran itu seorang dokter Belanda dapat ditewaskan. Pangeran Ratu Idris mengundurkan diri ke daerah Tengkajau, sedangkan Pangeran Kuning dan Pangeran Anum mengundurkan diri ke daerah sungai Kayan, dan terus ke sungai Belabau. Belanda berusaha untuk mengejar pasukan Pangeran Ratu Idris namun tidak berhasil. Akhirnya Belanda mempergunakan siasat licik, yaitu mengajak Pangeran Ratu Idris untuk berunding dan menjamin keselamatan mereka. Belanda mengundang Pangeran Adi Pati dan Pangeran Ratu Idris untuk menghadiri suatu perundingan perdamaian di benteng Belanda dan menjamin keselamatan mereka. Oleh karena didesak oleh kesulitan kehidupan rakyat sebagai akibat peperangan dan kesulitan kehidupan, maka Pangeran Ratu Idris menyetujui untuk memenuhi undangan perundingan Belanda, namun temyata siasat licik Belanda adalah suatu pengkhianatan. Pangeran Ratu Idris ditangkap sebelum perundingan dapat dilaksanakan dan kemudian dibuang ke Karawang, sampai meninggalnya pada tahun 1857.

Perjuangan melawan Kolonialisme

Perlawanan Pangeran Muda

Pangeran Kuning meninggal dan dimakamkan di Teluk Sedaga pada tahun 1857. Perjuangan melawan Belanda dilanjutkan oleh puteranya bemama Pangeran Muda, yang juga kemenakan dari Pangeran Ratu Kesuma Idris. Pangeran Muda bersama-sama dengan pamannya Pangeran Anum melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Peristiwa penangkapan secara licik terhadap Pangeran Ratu Kesuma Idris semakin membangkitkan semangat rakyat Sintang untuk melawan kolonialisme Belanda dan mengobarkan terus perlawanan terhadap Belanda. Dalam perjuangannya melawan Belanda, Pangeran Muda bersumpah bahwa : "sampai mati, jangankan jenazahku, ulatku pun tidak rela berjumpa dengan Belanda". Sumpah Pangeran Muda ini sangat berkesan dalam menggugah semangat rakyat Sintang melawan Belanda sehingga perlawanan terhadap Belanda berlanjut terus di Sintang. Pangeran Muda meninggal tahun 1860.

Perjuangan Pangeran Mas

Raja Sintang Pangeran Adi Patih meninggal pada tahun 1855 dan digantikan oleh puteranya Ade Abduh Rasyid. Pada tahun 1867 di Sintang pecah lagi perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Mas. Menurut cerita rakyat, ia berasal dari kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan, dan datang ke Sintang karena mendengar perjuangan dan perlawanan yang dilancarkan oleh Pangeran Ratu Idris terhadap Belanda.

Pangeran Mas menyusun siasat untuk melawan Belanda bersama sama dengan para Pangeran yang membenci Belanda serta did ukung oleh rakyat Sintang. Pangeran Mas membangun sebuah Markas tentara Sintang di Batu Baning, dan dibangunnya suatu armada perahu atau kapal perang kecil untuk menyerbu benteng Belanda dari sungai. Pada tahun 1867 suatu pasukan Belanda dengan perahu menyerang pertahanan Pangeran Mas di Batu Baning. Pasukan Pangeran Mas yang sudah bersiap menyongsong serdadu Belanda dan terjadilah pertempuran sungai di Nanga Nesak. Asisten Residen Belanda Kefron menyaksikan sendiri pertempuran tersebut dari sebuah kapal yang bemama Sri Borneo. Sewaktu Belanda mengadakan serangan dengan kapal sungai, ternyata air sungai surut dan kapal Belanda kandas di Nanga Nesak dan pasukan Pangeran Mas menyerang pasukan Belanda. Dalam pertempuran ini banyak tentara Belanda yang gugur dan sebahagian kecil sisa serdadu Belanda kembali ke Sintang. Akan tetapi beberapa hari setelah pertempuran yang berhasil memukul mundur serdadu Belanda itu, Pangeran Mas jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Dalam keadaan tidak mempunyai pimpinan lagi karena meninggalkannya Pangeran Mas, Belanda melancarkan serangan ke pusat pertahanan tentara Pangeran Mas di Batu Baning, dan Belanda berhasil menghancurkan pertahanan dan perlawanan rakyat Sintang setelah Pangeran Mas meninggal dunia.

Perjuangan Raden Kesuma Yuda

Abang Kadri terkenal dan disenangi oleh rakyat sungai Tempunak. Keberaniannya terkenal di kalangan rakyat, karena keberaniannya sampai nekad menyumbat mulut meriam Belanda. Abang Kadri menyusun kekuatan rakyat Tempunak melawan Belanda. Karena ia diangggap oleh Belanda sebagai sangat berbahaya, maka Belanda pada tahun 1869 menyerang pertahanannya di sungai Tempunak. Karena kekuatan senjata yang tidak berimbang, Belanda dapat menghancurkan pasukan Abang Kadri. Ia ditangkap dan dipenjarakan di Sintang, karena kesaktiannya, ia berhasil lolos dari tahanan Belanda dan kemudian lari ke kampung Durian dan kembali menyusun kekuatan bersama-sama dengan dua orang anaknya. Kembali Belanda mengejar pasukan Abang Kadri dan berhasil menangkapnya dan kemudian dipenjarakan di Teluk Melano, Ketapang. Kembali perjuangan rakyat Sintang patah karena tidak ada pemimpin yang tampil memimpin periawanan.

Perang Mensiku

Pada tahun 1874, tanggal 10 Maret, pecah lagi perlawanan terhadap Belanda di Mensiku. Perlawanan ini dipimpin oleh seorang Dayak berasal dari Ketungau, bernama Padung. Dalam pertempuran di Mensiku ini, Padung berhasil menewaskan Asisten Residen Belanda bernama Stohl, yang dimakamkan di Sintang. Belanda kemudian mematahkan perlawanan rakyat Mensiku, dan Padung melarikan diri ke daerah utara. Akhirnya Belanda berhasil menangkap Padung di daerah dekat perbatasan Serawak. Ia dijatuhi hukuman oleh Belanda di Sintang dan kemudian dibuang ke Jawa. Dalam cerita rakyat, perjuangan rakyat Mensiku melawan Belanda ini dikenal juga dengan nama Perang Padung.

Perang Tebidah

Pada tahun 1890 pecah lagi perlawanan terhadap Belanda di Tebidah, yang dipimpin oleh empat orang Panglima Suku Dayak, yaitu Nata, Apang Labung, Apang Laung dan Apang Rabat. Rakyat Tebidah menyusun kekuatan dengan persenjataan bedil lantak, tombak dan parang dan menyatakan perang terhadap Belanda. Pemberontakan rakyat Tebidah sangat menggegerkan Belanda, sehingga Belanda mengirimkan 120 orang serdadunya ke Tebidah, dipimpin sendiri oleh Residen Sintang W. Trom dan pasukan ini dipimpin oleh seorang Letnan Kolonel. Rakyat Tebidah menyambut kedatangan Belanda dengan semangat perlawanan yang pantang menyerah. Pertempuran berlangsung selama dua bulan dan dalam peperangan ini Belanda membawa Panembahan Ismail, untuk mempengaruhi dan menaklukkan hati rakyat Tebidah. Akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh tentara Belanda dengan kekuatan persenjataan mereka.

Perang Melawi

Walaupun setiap perlawanan dapat dipatahkan oleh Belanda baik dengan kekuatan senjata maupun dengan taktik pecah belah dan adu domba, namun selalu timbul perlawanan terhadap Belanda. Pada bulan April 1896, rakyat daerah Melawi di bawah pimpinan Raden Paku, berjuang melawan Belanda. Dengan semangat yang bernyala-nyala, rakyat suku Dayak menyerang tentara Belanda dengan persenjataan seadanya. Banyak jatuh korban di antara kedua belah pihak. Pertahanan Raden Paku meliputi daerah Kayan Hulu sampai Nanga Tebidah. Belanda dengan kejam menumpas perlawanan rakyat Melawi dan menangkapi beberapa pemimpin Melawi, namun Raden Paku sendiri berhasil meloloskan diri. Setelah berhasil memadamkan perlawanan rakyat Melawi, Belanda menetapkan bahwa suku Dayak Melawi harus membayar denda sebesar 37.000 gulden, sebagai ganti rugi dan tanda bukti takluk kepada Belanda.

Perang Panggi

Dalam pemerintahan Panembahan Abdul Madjid, pada tahun 1908 di daerah Batang dan Belitang timbullah perlawanan terhadap Belanda di bawah pimpinan Panggi, Ruguk dan Rangas. Rakyat suku Dayak di daerah ini mengangkat senjata melawan Belanda. Gerakan perlawanan Panggi ini tercium oleh Belanda dan dengan segera melakukan pencegahan dan penghancuran. Sewaktu serdadu Belanda di bawah pimpinan Kapten Peinor mendarat di daerah Jangkit, pasukan Panggi sudah siap dan menyerang kedatangan pasukan Belanda. Dalam pertempuran yang berkecam uk antara pasukan Belanda dan rakyat suku Dayak di daerah Jangkit, Panggi berhasil menawan Kapten Peinor. Karena dendam kemarahan rakyat terhadap Belanda, Panggi mengayunkan mandaunya dan memanggal kepala Kapten Peinor. Karena kematian Komandannya, pasukan Belanda semakin mengganas dan mendatangkan pasukan bantuan di bawah pimpinan Letnan Van Hassel yang didatangkan dari Sintang. Kekuatan pasukan dan senjata Belanda yang cukup kuat mengepung dan mengejar pasukan Panggi, akhirnya Panggi sendiri berhasil ditangkap Belanda setelah pertempuran berjalan beberapa minggu. Ia diadili sebagai pemberontak di Sintang dan kemudian dibuang ke Jawa.

Perjuangan Apang Semangai

Perlawanan terhadap kolonialis Belanda di daerah Kalimantan Barat pada permulaan abad ke-20 tidak pernah padam. Perlawanan ini bersifat lokal dan timbul sewaktu-waktu, yang digerakkan secara spontan oleh rakyat atau pemimpin dan pemuka rakyat setempat. Perlawanan terhadap Belanda ini umumnya didasarkan oleh motif rasa tidak senang terhadap peraturan dan kekuasaan Belanda. Biasanya yang menjadi sebab perlawanan ialah masalah pungutan pajak atau masalah pelanggaran hak-hak adat dan kebiasaan rakyat setempat. Pada tahun 1913 timbul kembali perasaan kemerdekaan yang bernyala-nyala di kerajaan Sintang. Perlawanan terhadap penjajah Belanda dilancarkan oleh rakyat Nanga Payak, yang menentang untung membayar upeti dan pajak kepada Belanda. Pemimpin rakyat Nanga Payak yang bernama Dunda alias Apang Semangai secara diam-diam menyusun kekuatan untuk melawan Belanda dan menolak untuk membayar pajak. Belanda mencium gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Apang Semangai dan pada tahun 1914, Kontrolur Jansen bersama dengan pasukannya mendatangi kampung Nanga Payak untuk menangkap Apang Semangai. Kedatangan pasukan Belanda dinantikan oleh pasukan Apang Semangai yang telah siap men unggu dengan pasukannya di tepi sungai. Walaupun pasukan Belanda datang dengan senjata yang lebih lengkap, namun pasukan Apang Semangai telah bertekad untuk mengusir kedatangan Belanda. Ketika pasukan Jansen datang dengan sampan, mereka disambut dengan tembakan bedil dan senapan lailtak yang telah dibidikkan ke arah pasukan Belanda. Jansen sendiri terkena tembakan dan tergeletak di dalam sampan. Tiga orang anak buahnya lari meninggalkan mayat Jansen yang tergeletak di sampan. Seorang anak buah Apang Semangai yang mengintai dan menembak dari sebuah pohon kayu, meloncat ke arah sampan dan mengayunkan mandaunya memisahkan kepala Jansen dan dibawanya ke darat. Sampan dengan tubuh Jansen yang sudah tidak berkepala dihanyutkannya di sungai Payak yang kemudian diambil kembali oleh pasukan Belanda. Peristiwa matinya Jansen menyebabkan kemarahan Belanda untuk menghukum rakyat Nanga Payak. Satu bulan kemudian suatu pasukan Belanda pimpinan Letnan Van Wijk berangkat kembali ke Nanga Payak untukmenghancurkan pasukan Apang Semangai. Akan tetapi pasukan Apang Semangai telah memindahkan pasukannya dan bersembunyi di pedalaman yang tidak dapat ditemukan oleh Belanda. Selama empat tahun Apang Semangai dengan pasukannya terhindar dari kejaran Belanda. Baru setelah empat tahun Belanda mengejarnya, pada tahun 1918 Apang Semangai berhasil ditangkap Belanda. Tatkala ditangkap , ia masih memegang tengkorak kepala kontrolur Jansen yang dirampas anak buahnya dalam pertempuran di Nanga Payak pada tahun 1914. Apang Semangi diadili di Sintang oleh Belanda dan dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun . Sejak tahun 1920 Apang Semangai mangai menjalani hukumannya di penjara Cipinang Jakarta dan tahun 1932 ia dibebaskan dari hukuman penjara karena kelakuannya yang baik selama dalam penjara dan ia kembali ke kampung halamannya di Nanga Payak yang disambut sebagai Pahlawan daerahnya dalam melawan kolonialis Belanda.

Referensi

  • Kahin, G.Mc Tuman, Nasionalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca, 1955.
  • Lontaan, J.U., Sejarah Hukum Adat dan Adat lstiadat Kalimantan Barat, Pemda Kalbar, Pontianak, 1975.
  • Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia. I s/d IV,

Balai Pustaka, Jakarta, 1977.

  • Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme. Pusjarah ABRI,

Jakarta, 1974.

  • Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia, UG M, Y ogy akarta , 1967.
  • Slamet Mulyono,Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan

Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Jakarta, 1960.

  • Negara Kertagama, terjemahan, Jakarta, 1960.
  • Sukmono, R., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia,

Kanisius, Yogyakarta, 1973.

  • Van Leur, J.C., Indonesian Trade and Society, Sumur Bandung, Bandung, 1960.