Haji Mohamad Misbach yang lebih dikenal dengan Haji Misbach atau Haji Merah (Surakarta, 18761926), dilahirkan di Kauman, di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Semasa kecil, dia bernama Ahmad, lalu berganti nama menjadi Darmodiprono setelah menikah. Dan usai menunaikan ibadah haji, barulah dia dikenal sebagai Haji Mohamad Misbach. Ayahnya adalah seorang pejabat keagamaan selain juga seorang pedagang batik yang kaya raya.[1]

Haji Misbach
Haji Mohamad Misbach
LahirAhmad
1876
Kauman, Surakarta, Hindia Belanda
Meninggal24 Mei 1926(1926-05-24) (umur 49–50)
Manokwari, Hindia Belanda
AnakSuimatun
Masduki
Karobet

Pada usia sekolah, dia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro". Basis pesantren serta lingkungan keraton Surakarta inilah yang kemudian mempengaruhi sosok Misbach nantinya menjadi seorang Mubaligh. Meski orang tuanya menjabat sebagai pejabat keagamaan keraton, hal tersebut tidak membuat dia jauh dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat.[2]Perkenalannya dengan dunia aktivis menarik minatnya untuk mulai melibatkan diri secara penuh dengan bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) bentukan Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914.[1]

Riwayat Hidup

Pergerakan Islam

Takashi Shiraisi mengungkapkan ada perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta masa itu. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di Surakarta.

Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara. Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.

Lain halnya dengan di Surakarta, kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan Sarekat Islam (SI) pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".

Dalam pergerakan Islam Surakarta dan Yogya terdapat perbedaan mencolok. Di Yogya, gerakan Islam tidak hanya reformis, tetapi juga modernis. Tetapi di Surakarta, gerakan kaum muda Islam semua bersifat modernis tetapi tidak semua reformis. Kegiatan keislaman di Surakarta banyak dipengaruhi kiai yang progresif dalam metode penyampaian tetapi ortodoks secara isi dakwahnya, seperti Kiai Arfah dan KH Muhammad Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada tahun 1918.

Perseteruan antar golongan Islam di Surakarta

Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel Djojosoediro di surat kabar Djawi Hisworo, yang mana pemimpin redaksinya adalah Martodharsono. Pada saat itu, Djojosoediro, atas persetujuan dan dorongan dari Martodharsono, menulis:

“Ah seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasihat, keboetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. SEBAB GOESTI KANDJENG NABI RASOEL ITOE MINOEM TJIOE A.V.H. DAN MINOEM MADAT, KADANG KLE’LE’T DJOEGA SOEKA. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Maskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”

Umat Islam, terutama di Surakarta, gempar dengan tulisan tersebut. Sebagian besar menganggap bahwa tulisan tersebut merupakan pelecehan terhadap nabi Muhammad dan umat Islam. Sarekat Islam, sebagai organisasi Islam terbesar kala itu, merasa wajib untuk melakukan pembelaan. Untuk itu, pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto telah membentuk apa yang disebut Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk “memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”.

Martodharsono sendiri bukan orang sembarangan. Dia adalah murid Tirto Adhi Soerjo, sang pemula, dan Raden Pandji Natarata alias Raden Sastrawidjaja, ahli sastra dari Yogyakarta. Ketika artikelnya mulai mendapat respon dan kemarahan dari umat Islam, Martodharsono pun berusaha memberikan klarifikasi di surat kabar Djawi Hisworo. Namun, klarifikasi tersebut tidak bisa memadamkan api yang sudah terlanjur berkobar.

Sidik, Amanat, Tabligh, Fathonah (Sidik, Amanat, Tableg, Vatonah (SATV))

Pembentukan TKNM oleh Tjokroaminoto inilah yang kemudian mencuatkan nama Misbach sebagai mubaligh vokal. Misbach lalu menyikapi dengan segera membentuk perkumpulan tablig reformis bernama Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) untuk memperkuat “kebenaran dan memajukan Islam”. Ia menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta.[3]

Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hisworo setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, H Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti "korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam".[4]

Dalam situasi itu, Misbach muncul menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertamanya di media ini berjudul Seroean Kita. Dalam artikel itu, ia menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig." Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda.

SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, "membuat agama Islam bergerak". Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.

Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non-muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana-pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.

Pandangan politik

Haji Merah

Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah tanah air, namanya sering disandingkan dengan Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut karena berpaham komunis. Menurutnya, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.[5]

Marco Kartodikromo, seorang wartawan yang juga seorang aktivis kebangkitan nasional asal Hindia Belanda pada saat itu, berkisah tentang Misbach:

".. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memakai kain kepala daripada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut "Haji".[6]

Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialisme Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada zaman itu.[6]

Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme. Orang menggambarkan dirinya sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan lain tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, dia menjadi kawan berbincang yang enak. Sementara di tengah pecandu wayang orang, dia lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.[6]

"... di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama."

Jangan takut, jangan kawatir

Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggap berseberangan dengan misi keadilan.

Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat dia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan "kring" (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.

Misbach menegaskan kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agamapun dirusak oleh kapitalisme sehingga harus dilawan dengan historis materialisme.

Keterlibatan dalam PKI

Pada kongres PKI tanggal 4 Maret 1923 yang dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan beberapa perkumpulan serikat komunis, Misbach memberikan uraian mengenai relevansi Islam dan komunisme dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengkritik pimpinan SI Putih yang munafik dan menjadikan Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri sendiri. Pada tahun 1923 pula, dia menulis kritikannya terhadap Tjokroaminoto di Medan Moeslimin dengan judul “Semprong Wasiat: Disiplin Organisasi Tjokroaminoto Mendjadi Racun Pergerakan Ra'jat Hindia”.[6]

Kekecewaannya terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa, membuat dia memilih ikut Perserikatan Komunis di Hindia Belanda (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta. Dia pun muncul sebagai pimpinan PKI di Surakarta, yang kemudian mengubah surat kabar Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak dan penyatuan secara de fakto organ PKI Yogyakarta berbahasa Melayu, Doenia Baroe, ke dalam Ra’jat Bergerak pada September 1923. Berjuang melawan kapitalisme, tak membuat dia tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan.

Masa pembuangan

Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap. Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Pada tanggal 20 Oktober 1923, Misbach kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pengeboman dan lain-lain. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tetapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.

Terkait dengan "teror-teror" yang terjadi di Jawa tersebut, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Dia ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang "ditangkap" bersamanya. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu, arit, dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran. Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Ternyata pembuangan tidak membuatnya berhenti bergerak, dia masih sempat mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari, yang anggotannya tidak pernah lebih dari 20 karena gangguan Polisi Belanda. Selain itu, dia juga menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme". Medan Moeslimin kemudian memuat artikel tersebut,

"…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum."

Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya, dia terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Fanindi, Manokwari Diarsipkan 2022-08-31 di Wayback Machine., di samping kuburan istrinya. Tjipto Mangunkusuma dalam surat kabar Panggoegah, 12 Mei 1919 melukiskan keberanian Misbach dalam melawan kolonialisme Belanda sebagai "seorang ksatria sejati" yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk pergerakan.

Tulisan Haji Misbach

Pranala luar

  • (Indonesia) "Haji Misbach: Muslim Komunis", Indo-Marxist, 3 Februari 2004.
  • (Indonesia) "“Haji Merah” Dalam Perjuangan Anti-Kolonialisme" Diarsipkan 2012-04-08 di Wayback Machine., Berdikari Online, 10 Mei 2011.

    Referensi

    1. ^ a b "Misbach - Ensiklopedia". esi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-09-21. 
    2. ^ Ahsan, Ivan Aulia. "Haji Misbach, Haji Revolusioner yang Memadukan Islam & Komunisme". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-30. Diakses tanggal 2023-06-30. 
    3. ^ "Saat Islam dan Komunis Harmonis". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2013-12-12. Diakses tanggal 2024-09-21. 
    4. ^ DH, Agung (2016-11-04). "Saat Penistaan Agama Lahirkan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad". tirto.id. Diakses tanggal 2024-09-21. 
    5. ^ Raditya, Iswara N. (2017-01-25). "Mohammad Misbach Sang Haji Merah". tirto.id. Diakses tanggal 2024-09-21. 
    6. ^ a b c d Wilandra, Syaidina Sapta (2024). "Is Communism Incompatible with Religion?: Islam and Communism in Haji Misbach's Thoughts (1914-1926)". Nalar. 8 (2): 24–53. doi:10.23971 Periksa nilai |doi= (bantuan).