Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah

Revisi sejak 1 Oktober 2024 00.29 oleh Losstreak (bicara | kontrib) (Fitur saranan suntingan: 2 pranala ditambahkan.)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah adalah salah satu sistem klasifikasi tanah yang dikembangkan pada masa Perang Dunia II oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat. Dasar pengembangan Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah adalah Sistem Klasifikasi Lapangan Udara yang dikembangkan oleh Arthur Casagrande pada dekade 1940-an dan disempurnakan pada tahun tahun 1952. American Standard Testing and Material mengadopsi sistem ini sebagai metode standar sejak tahun 1969.

Metode klasifikasi tanah pada Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah didasarkan kepada ukuran butir partikel tanah, gradasi dan plastisitas tanah. Dalam Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah, tanah dibedakan menjadi tiga yaitu tanah berbutir kasar, tanah berbutir halus dan tanah dengan kadar organik yang tinggi.[1] Pengelompokannya dilakukan menggunakan simbol kelompok yang terdiri dari dua susun huruf. Pada era modern, Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah digunakan oleh para ahli teknik sipil khususnya ahli geoteknik.

Sejarah

sunting

Pada awal tahun 1940, Arthur Casagrande mengembangkan Sistem Klasifikasi Lapangan Udara.[2] Tujuan sistem ini dibuat untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang pada tahun 1942. Pembuatan lapangan terbang kemudian dilaksanakan oleh Korps Zeni Angkatan Darat Amerika Serikat dengan sistem klasifikasi ini selama Perang Dunia II.[3] Biro Reklamasi Amerika Serikat kemudian menyempurnakan Sistem Klasifikasi Lapangan Udara untuk membuat Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah. Proses penyempurnaan selesai dilakukan pada tahun 1952.[3]

American Standard Testing and Material kemudian mengadopsi Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah pada tahun 1969. Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah kemudian ditetapkan sebagai metode standar klasifikasi tanah dengan menerbitkan ASTM 2487.[4]

Klasifikasi tanah

sunting

Landasan dasar untuk klasifikasi tanah pada Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah adalah ukuran butir partikel tanah, gradasi dan plastisitas tanah.[3] Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah mengelompokkan tanah menjadi tiga kelompok utama, yaitu tanah berbutir kasar, tanah berbutir halus dan tanah dengan kadar organik yang tinggi.[1]

Tanah berbutir halus

sunting

Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah melakukan klasifikasi tanah berbutir halus menjadi dua jenis, yaitu lanau dan lempung. Klasifikasi tanah lempung berlaku untuk jenis lempung inorganik maupun organik. Batas pembeda antara lanau dan lempung adalah batas cair dan indeks plastisitas.[5]

Tanah gambut

sunting

Pada Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah, klasifikasi tanah gambut tidak dijelaskan secara rinci. Perincian tanah gambut tidak mendetail karena dua alasan. Pertama, pada tanah gambut yang berserat terdapat sifat non-plastis sehingga akan mengalami konsolidasi serentak ketika terjadi penurunan tanah akibat tekanan beban di atasnya. Kondisi ini membuat konsolidasi sekunder jarang terjadi dan membuat teori Terzaghi tidak berlaku. Kedua, pada tanah gambut yang tidak berserat terdapat sifat pemampatan, meskipun jenis tanah ini menyerupai lempung organik yang bersifat plastis.[6]

Simbol kelompok

sunting

Pada Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah, tanah dikelompokkan dengan simbol huruf tertentu.[7] Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah menggunakan dua huruf untuk satu kelompok tanah. Huruf pertama dan kedua mewakili komponen utama tanah. Simbol kelompoknya meliputi huruf G, S, M. C, O, dan Pt. Huruf G (grave) digunakan untuk kerikil. Huruf S (sand) digunakan untuk pasir. Huruf M (mud) digunakan untuk lanau. Huruf C (clay) digunakan untuk lempung. Huruf O (organic) digunakan untuk tanah berbutir halus. Sedangkan huruf Pt (peat) digunakan untuk gambut.[8]

Pada tanah berbutir halus berjenis lanau dan lempung, terdapat pula simbol kedua yang menggunakan dua huruf saja yaitu L (low) dan H (high).[8] Huruf L digunakan apabila batas cair rendah dengan nilai batas cair kurang dari 50%. Sementara huruf H digunakan apabila batas cair tinggi dengan nilai batas cair lebih dari 50%. Huruf L juga mewakili bahwa tanah memiliki plastisitas yang rendah. Sementara huruf H mewakili bahwa tanah memiliki plastisitas yang tinggi. Selain kedua huruf tersebut, Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah juga menggunakan huruf W (well graded) dan P (poor graded). Huruf W digunakan untuk tanah yang memiliki gradasi yang baik, dan huruf P digunakan untuk tanah yang memiliki gradasi yang buruk.[9]

Penerapan

sunting

Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah merupakan salah satu dari dua sistem klasifikasi tanah yang digunakan oleh para ahli teknik sipil di masa modern. Sementara yang satunya adalah Sistem Klasifikasi Asosiasi Jalan Raya Negara Bagian Amerika Serikat dan Pejabat Transportasi (Sistem Klasifikasi AASHTO).[10] Kedua sistem klasifikasi ini menggantikan metode klasifikasi yang berdasarkan tekstur. Metode yang digunakan oleh kedua sistem ini adalah menentukan jenis tanah berdasarkan distribusi ukuran butir dan batas-batas Atterberg.[4] Sistem Klasifikasi AASHTO digunakan secara umum oleh semua departemen jalan raya di negara bagian Amerika Serikat. Sementara Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah digunakan oleh para ahli geoteknik di dunia untuk keperluan-keperluan teknis selain jalan raya.[10]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Pusdiklat JP3IW & Badan Pengembangan SDM, hlm. 53.
  2. ^ Tata Cara Pengklasifikasian Tanah untuk Keperluan Teknik dengan Sistem Klasifikasi Unifikasi Tanah (PDF). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 2015. hlm. 1. 
  3. ^ a b c Mulyono 2017, hlm. 15.
  4. ^ a b Fathurrozi dan Rezqi, F. (2016). "Sifat-Sifat Fisis dan Mekanis Tanah Timbunan Badan Jalan Kuala Kapuas" (PDF). Jurnal Poros Teknik. 8 (1): 17. ISSN 2085-5761. 
  5. ^ Pusdiklat JP3IW & Badan Pengembangan SDM, hlm. 44.
  6. ^ Pusdiklat JP3IW & Badan Pengembangan SDM, hlm. 17-18.
  7. ^ Sutarman, Encu (2013). Chistian, Putri, ed. Konsep & Aplikasi Pengantar Teknik Sipil. Yogyakarta: Penerbit ANDI. hlm. 152. ISBN 978-979-29-2295-0. 
  8. ^ a b Pusdiklat JP3IW & Badan Pengembangan SDM, hlm. 50.
  9. ^ Widojoko, Lilies (2014). "Study Kekuatan Tanah Dasar Jalan Akibat Perubahan Derajat Kejenuhan" (PDF). Jurnal Teknik Sipil UBL. Program Studi Teknik Sipil Universitas Bandar Lampung. 5 (2): 632. ISSN 2087-2860. 
  10. ^ a b Mulyono 2017, hlm. 9.

Daftar pustaka

sunting