Kekebalan diplomatik

Revisi sejak 31 Oktober 2024 13.22 oleh Baqotun0023 (bicara | kontrib) (m)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Kekebalan diplomatik (Diplomatic immunity) adalah jenis kekebalan hukum yang memastikan bahwa seorang diplomat dapat bertugas dengan aman dan tidak dapat dituntut atau ditangkap oleh aparat negara di tempat ia bertugas. Dalam hubungan internasional, kekebalan diplomatik dikenal sebagai salah satu strategi tertua dan paling luas. Didukung dengan riwayat sejarah, sebagian besar peradaban kuno telah memberikan perlakuan khusus terhadap utusan dan utusan asing pada tingkatan tertentu.[1] Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan hubungan antar negara dengan menjamin keamanan perwakilan di masing-masing negara meskipun di tengah konflik bersenjata. Kekebalan diplomatik modern telah dikodifikasi sebagai hukum internasional di dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara, walaupun konsep dan kebiasaan yang memberikan kekebalan diplomatik sudah ada selama ribuan tahun. Banyak asas kekebalan diplomatik yang kini dianggap sebagai kebiasaan internasional. Kekebalan diplomatik memungkinkan pembentukan hubungan antar pemerintahan, termasuk pada masa-masa sulit seperti perang.

Paspor Diplomatik adalah dokumen yang memberi kewenangan lebih kepada seorang Diplomat untuk menjalankan tugas negaranya secara internasional

Sebagaimana yang termuat dalam Protocol II Pedoman Tertib Diplomatik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, istilah kekebalan mengandung dua pengertian. Yakni kekebalan dan tidak dapat diganggu gugat. Artinya, diplomat kebal terhadap alat-alat kekuasaan negara untuk mencegah segala bentuk gangguan yang berpotensi merugikan. Diplomat berhak mendapat proteksi dari alat-alat negara, serta penuntutan, penyitaan, pengadilan, dan penahanan oleh negara pemerimanya. Di samping itu, kekebalan juga mencakup kekebalan terhadap yurisdiksi negara penerima[2].

Apabila suatu negara ingin menangkap seorang diplomat yang dianggap telah melakukan kejahatan serius, mereka dapat meminta negara asal diplomat tersebut untuk mencabut kekebalan mereka. Contohnya, pada tahun 2002, seorang diplomat Kolombia di London didakwa melakukan pembunuhan tidak berencana setelah kekebalan diplomatiknya dicabut oleh pemerintah Kolombia.[3][4] Alternatif lain adalah dengan mengadili orang tersebut di negara asalnya.

Apabila suatu negara tidak menginginkan kehadiran seorang diplomat, maka diplomat tersebut dapat dinyatakan sebagai persona non grata atau orang yang tidak diinginkan. Pasal 9 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik menyatakan bahwa negara penerima dapat menyatakan status persona non grata kapan saja tanpa harus menjelaskan alasan keputusannya.[5]

Sejarah

sunting

Sejak zaman dahulu, seorang utusan kerajaan atau Diplomat dilindungi oleh berbagai keistimewaan dan hak selama penugasanya, terutama hak perlindungan dan keamanan, melecehkan atau bahkan membunuh mereka bisa memicu pecahnya perang seperti penaklukan Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol yang dipimpin oleh Genghis Khan. Pada Abad ke-13, Genghis Khan pernah mengirim kafilah ke Kekaisaran Khwarezmia untuk membangun hubungan perdagangan dengan damai. Sesampainya di Khwarezmia, kafilah tersebut justru ditangkap dan semua orang di kafilah tersebut di eksekusi karena dianggap sebagai mata-mata, dan semua barang bawaanya dijual oleh Kekaisaran Khwarezmia. Mengetahui hal ini, Genghis Khan kemudian mengirim tiga diplomat untuk menghadap kepada kaisar dan bernegosiasi agar kafilahnya dibebaskan dan menuntut keadilan atas pembunuhan kafilahnya yang tidak bersalah, namun Kaisar Khwarezmia Ala ad-Din Muhammad II justru membotaki dan mengeksekusi ketiga diplomat tersebut dan mengirim kepalanya ke Genghis Khan sebagai tanda kehinaan, karena Genghis Khan sangat menghormati dan menganggap para diplomatnya adalah utusan suci, ia langsung memerintahkan pasukanya untuk menyerbu, menginvasi dan menghancurkan Kekaisaran Khwarezmia setelah tiga diplomatnya dianiaya.[6] Invasi Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol tersebut dinyatakan sebagai salah satu pembantaian dan perang paling sadis dalam sejarah kemanusiaan.

Mencegah kejadian-kejadian historis seperti itu terjadi kembali, maka dibuatlah status Kekebalan diplomatik pada Konverensi Wina tahun 1961 sebagai Hukum internasional untuk melindungi para diplomat yang bertugas yang disetujui oleh mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.[7]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Office of Foreign Missions, U.S. Department of State,. Diplomatic and Consular Immunity: Gyidance for Law Enforcement and Judical Authorities (PDF). 
  2. ^ Author, Grizelda (2021). "Hak Keistimewaan Diplomatik: Perbandingan Praktek Permohonan Corps Diplomatic Di Indonesia". Kertha Semaya. 10 (1): 26. doi:10.24843 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ "An example where diplomatic immunity was waived in the public interest". BBC News. 27 September 2002. Diakses tanggal 19 December 2011. 
  4. ^ "Representations on behalf of the victim's family led to the prosecution of a military attache for manslaughter". BBC News. 17 July 2002. Diakses tanggal 19 December 2011. 
  5. ^ "Vienna Convention on Diplomatic Relations". eDiplomat. Article 9. Diakses tanggal 18 February 2014. 
  6. ^ Prawdin, Michael. The Mongol Empire.
  7. ^ Konvensi Wina Tahun 1961 Tentang Hubungan Diplomatik

Bacaan lanjut

sunting