Zainab binti Jahsy

sepupu sekaligus istri dari Muhammad
Revisi sejak 9 November 2024 05.02 oleh Lukjsly (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Zainab binti Jahsy bin Ri`ab al-Asadiyyah (bahasa Arab: زينب بنت جحش بن رئاب الأسدية) atau lebih dikenal dengan Zainab binti Jahsy (lahir pada tahun 33 Sebelum H/590, wafat di Madinah pada tahun 20 H/641) adalah sepupu dan istri dari Nabi Muhammad, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Nasabnya

sunting
  • Ayahnya: Jahsyi bin Ri`ab bin Yu'ammar bin Shabrah bin Kabir bin Ghanam bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Jahsyi adalah sekutu bagi pembesar Quraisy, Abdul Muthalib.[1]
  • Ibunya: Umaimah binti Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Umaimah adalah bibi dari Nabi Muhammad.[1]

Kehidupan & Pernikahannya

sunting

Zainab binti Jahsy adalah sepupu Nabi Muhammad dan awalnya merupakan istri dari anak angkat beliau, Zaid bin Haritsah.[2]

Menurut Aisyah yang merupakan istri favorit Nabi,[3][4] Zainab memiliki kecantikan yang setara dengannya.[5]

.[6][7][8][9][10] Zainab binti Jahsy, ialah seorang perempuan mulia dari golongan bangsawan. Sekaligus sepupu Rasulullah Muhammad yang terpilih menjadi salah satu belahan jiwa beliau. Namun siapa sangka, dibalik terjadinya pernikahan tersebut tenyata penuh proses dramatis. Yang mana, hal ini melibatkan anak angkat Rasulullah yang tak lain adalah mantan suami dari Zainab binti Jahsy, yaitu Zaid bin Haritsah.

Maka, apakah bisa dibenarkan perihal status pernikahan Rasulullah yang menikahi mantan istri dari anak angkatnya sendiri? Dan bukankah hal itu justru memicu kontraversi bagi kaum munafik juga para pembenci untuk semakin membenci dan bukannya mendapat pencerahan? Mari kita telaah bersama.

Pernikahan Zainab dengan Zaid

sunting

Kisah ini bermula dari lamaran Rasulullah Muhammad kepada Zainab teruntuk Zaid, budak kesayangan beliau yang sudah dimerdekakan dan dianggap anak sejak kecil. Sebagai seorang ayah angkat yang baik, tentu beliau ingin yang terbaik untuk Zaid. Walaupun status Zaid hanyalah sebagai mantan budak. Setelah datang ke rumah Zainab dengan kiat mempersunting, ternyata ada sebuah perbedaan persepsi yang kental antara keduanya. Tak disangka, Zainab sempat menolak lamaran tersebut. Sehingga, Allah swt menurunkan wahyu tepatnya QS. Al-Ahzab ayat 36:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”

Sebab Turunnya Ayat

sunting

Untuk menelisik asbab an-nuzul dari ayat ini, penulis membaca penjelasannya dalam kitab tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Beliau mengutip riwayat dari Qatadah dan Ibnu Abbas. Mengatakan bahwa latar belakang turunnya ayat ini adalah karena Rasulullah meminang Zainab binti Jahsy, anak dari saudara perempuan ayahnya. Mulanya, Zainab menyangka bahwa Nabi meminangnya untuk diri Nabi sendiri. Tetapi, setelah dinyatakan oleh Nabi bahwa beliau meminangnya untuk Zaid bin Haritsah, seorang budak yang telah beliau merdekakan dan beliau angkat sebagai anak ketika masih pada zaman jahiliah, Zainab menolak dan tidak mau. Lalu, turunlah ayat ini. Mendengar bunyi ayat ini yang dibacakan oleh Nabi, Zainab pun tertunduk dan maulah dia untuk menikah dengan Zaid (Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz 21, 34).

Dari sini, bisa dilihat ketaatan Ummul Mu’minin Zainab binti Jahsy. Di balik ketidaksediaannya terhadap lamaran tersebut, Zainab tetap patuh terhadap perintah dari Allah SWT dan akhirnya bersedia untuk menerima Zaid sebagai calon suaminya. Agaknya, kisah ini cukup memilukan. Karena, pada saat mereka sudah menikah, rumah tangga yang mereka bina ternyata tidak menemukan titik keharmonisan. Pernikahan itu sudah terjadi, tapi hati Zainab belum bisa menerima kenyataan tersebut sehingga Zaid dan Zainab tidak merasakan bahagiaan selama pernikahan.

Lebih-lebih lagi, sikap Zaid terhadap Zainab mencerminkan sikap budak kepada tuannya. Beliau merendah dan merasa bahwa dirinya tidaklah pantas bersanding dengan wanita yang bernasab agung seperti Zainab binti Jahsy. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya memanglah tidak sekufu’.

Perceraian Zainab dengan Zaid

sunting

Meskipun pernikahan Zainab dan Zaid atas perintah wahyu, tetapi rumah tangga keduanya tidak berjalan harmonis. Zainab tidak pernah lupa dan tidak pernah menyangka jika wanita terhormat seperti dirinya tidak pernah menjadi seorang hamba sahaya (budak) dan tidak pernah ada di benaknya akan menjadi istri dari mantan seorang budak seperti Zaid.[11]

Zaid sering kali mendapat penolakan dari Zainab, hingga akhirnya Zaid bergegas menemui Nabi Muhammad dan mengeluhkan tentang buruknya perlakuan Zainab terhadap dirinya hingga ia berkali-kali mengatakan kepada Nabi Muhammad jika ia ingin menceraikan Zainab binti Jahsy. Akan tetapi Rasulullah hanya menyuruh agar Zaid lebih bersabar dan tetap mempertahankan pernikahannya dengan Zainab.[11] Hingga akhirnya turunlah ayat al-Qur'an surah al-Ahzab ayat 37:

وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا

"Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah," sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan ditampakkan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi."[12]

Dasar dari perintah ini adalah untuk memutus hak-hak adopsi dimana padaa waktu itu sudah menjadi kebiasaan di masyarakat anggapan jika anak angkat haknya sama dengan anak kandung. Sehingga Nabi Muhammad memerintahkan Zaid untuk mempertahankan pernikahannya dengan Zainab karena malu dengan anggapan orang-orang, padahal yang seharusnya ditakuti hanyalah Allah Swt. Di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad bukan bukan takut tetapi malu dengan anggapan dan perkataan oraang munafik dan Yahudi yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad menikahi mantan istri putranya setelah Rasulullah mencegah orang muslim untuk menikahi mantan istri anaknya.[11]

Kabina Zainab kalabân Nabbhi Muhammad

sunting

Disebutkan dalam hadits shahih dari Tsabit Al-Bunani dari Anas r.a., ia berkata bahwa setelah masa iddah Zainab selesai, Rasulullah Saw. berkata kepada Zaid untuk menyampaikan keinginan Nabi untuk menikahi Zainab. Ketika Zaid sampai ke rumah Zainab dan menyampaikan keinginan Nabi Muhammad untuk meminang Zainab, lalu Zainab berkata, "Aku tidak akan melakukan apa pun sebelum meminta izin kepada Rabbku."[11] Zainab lalu dinikahi oleh rasulullah Saw. sampai ada hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas yang berkata bahwa Rasulullah tidak pernah mengadaakan walimah saat menikahi seorang pun di antara istri-istri beliau, seperti walimah yang beliau adakan saat menikahi Zainab binti Jahsy dengan menyembelih seekor kambing. Zainab menikah dengan Nabi Muhammad pada tahun ke-5 Hijriyah saat berusia 35 tahun. Nama aslinya adalah Barrah, lalu diganti menjadi Zainab oleh Rasulullah.[11]

Di dalam sebuah hadits Shahihain dari hadits Zainab binti Abu Salamah, anak tiri Nabi Muhammad, ia berkata, "Namaku Barrah, lalu Rasulullah Saw. memberiku nama Zainab. Zainab binti Jahsy masuk ke tempat beliau, dan namanya (juga) Barrah. Lalu beliau memberinya nama Zainab."[11]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Sirah Ibnu Hisyam
  2. ^ Al-Tabari. The History of Al-Tabari, vol.8 - The Victory of Islam. hlm. 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-17. Diakses tanggal 2021-11-26. 
  3. ^ "Sahih al-Bukhari 2593 - Gifts - كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-08-17. 
  4. ^ "Sahih al-Bukhari 3411 - Prophets - كتاب أحاديث الأنبياء - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-08-17. 
  5. ^ "Sahih al-Bukhari 4141 - Military Expeditions led by the Prophet (pbuh) (Al-Maghaazi) - كتاب المغازى - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-08-17. 
  6. ^ "Tafsir Al-Jalalayn". Altafsir.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-06. Diakses tanggal 2022-02-11. 
  7. ^ "Tafsir Ibnu Abbas". Altafsir.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-10. Diakses tanggal 2022-02-11. 
  8. ^ "Sahih al-Bukhari 7420 - Oneness, Uniqueness of Allah (Tawheed) - كتاب التوحيد - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-08-17. 
  9. ^ "Surah Al-Ahzab - ayat 37". quran.com. Diakses tanggal 2021-08-17. 
  10. ^ Abdulmalik ibn Hisham. Notes to Ibn Ishaq's "Life of the Prophet", Note 918. Translated by Guillaume, A. (1955). The Life of Muhammad, p. 793. Oxford: Oxford University Press.
  11. ^ a b c d e f Abdurrahman, Aisyah (2018). Biografi Istri dan Putri Nabi. Sukoharjo: Ummul Qura. ISBN 978-602-6579-42-3. 
  12. ^ Al-Qur'an Al-Karim. qurankemenag.go.id