Musso

pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI)
Revisi sejak 21 November 2024 05.04 oleh Dwinug (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Munawar Musso[1] (1897 – 31 Oktober 1948), umumnya dikenal sebagai Musso, adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan salah satu tokoh kunci dalam pemberontakan PKI 1948.

Musso
Musso ca 1948
Ketua Umum PKI Moeda
Masa jabatan
Juli 1935 – 1936
Sebelum
Pendahulu
Jabatan dibentuk
Pengganti
Pamoedji
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Munawar Musso

1897
Kediri, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal31 Oktober 1948(1948-10-31) (umur 51)
Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia
Sebab kematianEksekusi kilat
Partai politikPartai Komunis Indonesia
PendidikanHoogere Burgerschool
PekerjaanSekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia
Politikus
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Masa Kecil dan Pendidikan

sunting

Musso lahir dengan nama Munawar Musso pada tahun 1897 di Pagu, Kediri.[2][3][4] Ayahnya adalah seorang pegawai bank di Wates, Mas Martoredjo.[4]

Di Batavia, Musso dilatih sebagai guru. Ia bertemu dengan Alimin, murid G.A.J. Hazeu dan D. van Hinloopen Labberton.[3] Menurut Soemarsono, salah satu pemimpin PKI dalam peristiwa Madiun, Musso melanjutkan ke Hogere Burger School pada tahun 1913. Ia tinggal di asrama Tjokroaminoto bersama Alimin dan Soekarno.[5] Menurut Arnold C. Brackman, saat itu Musso bekerja sebagai kasir di kantor pos Surabaya. Di Surabaya, Musso juga bertemu dengan Henk Sneevliet.[6]

Awal Karier di PKI

sunting

Musso dan Alimin memiliki tugas yang lebih penting dalam menyusup ke dalam Sarekat Islam daripada Soerjopranoto. Mereka adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI sebelum mereka ditangkap karena kasus Afdeling B.[7] Musso terlibat dalam pemberontakan petani di Cimareme, Garut yang didukung oleh Sarekat Islam Afdeling B.[8] Dalam persidangan, ketika Alimin mengaku membuat pernyataan palsu untuk membantu Tjokroaminoto, Musso menolak untuk membuat pengakuan. Di dalam penjara, pemerintah Belanda memperlakukannya dengan kasar. Agus Salim mengadukan perlakuan tersebut kepada Voolksraad (Dewan Perwakilan Rakyat). Menurut McVey, Musso menyimpan dendam kepada pemerintah Belanda setelah perlakuan ini. Setelah Musso dan Alimin dibebaskan pada tahun 1923,[9] Musso dan Alimin menerima tawaran untuk mengajar bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di Jepang dari van Hinloopen Labberton.[3] Namun pemerintah Jepang menolak penjelasan Musso bahwa ia tidak memiliki ijazah akademis yang memadai, meskipun McVey percaya bahwa alasan utamanya adalah pengalamannya di penjara dan pandangan politiknya.[10] Musso kemudian mengorganisir ulang cabang PKI Batavia dan memimpin organisasi baru ini.[11]

Pada bulan Januari 1925, sebuah komite Kongres Nasional Hindia mengadakan pertemuan yang menghasilkan pembentukan asosiasi Indonesian Study Club yang netral secara politik dan berbasis di Surabaya. Musso hadir dalam konvensi pertama klub ini pada bulan Februari, mendukung agenda klub dan berharap agar klub ini lebih dekat dengan masyarakat bawah.[12] Pada awal 1925, Musso dan Alimin berpidato dalam sebuah rapat umum yang diselenggarakan oleh VTSP di Banten yang meningkatkan pengaruh komunis di wilayah tersebut.[13] Setelah kegagalan pemogokan para masinis pada tanggal 5 Oktober, Musso menyimpulkan bahwa aksi tersebut terlalu dini.[14]

Pada bulan Desember 1925, para pemimpin PKI berencana untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah mengetahui hal ini dan menangkap sebagian besar pemimpinnya pada Januari 1926. Musso adalah salah satu dari sedikit orang yang berhasil melarikan diri.[15] Ia bersama Budisutjitro dan Sugono melarikan diri ke Singapura dan bertemu dengan agen PKI Subakat dan Alimin yang sebelumnya tinggal bersama Tan Malaka di Manila.[16] Kelimanya, bersama dengan Sardjono, Mohammad Sanusi, dan Winanta melakukan diskusi selama tiga hari sebelum memutuskan untuk melakukan pemberontakan pada pertengahan tahun 1926. Pertemuan tersebut juga menghasilkan pengiriman Alimin ke Manila untuk meminta Tan Malaka menggalang dukungan bagi pemberontakan, namun rencana ini ditolak oleh Tan Malaka.[16][17] Pada bulan Februari, pertemuan kembali diadakan, namun Alimin tidak menyebutkan adanya penolakan dari Tan Malaka.[18]

Pemberontakan Madiun dan Kematian

sunting

Pada pertengahan bulan, sebuah insiden antara pasukan bersenjata yang dipengaruhi PKI dan pasukan bersenjata loyalis pemerintah terjadi di Solo.[19] Setelah kejadian ini, menurut Bintang Merah, pada tanggal 16 September di Cepu, Musso memerintahkan anak buahnya di Solo untuk menghentikan insiden tersebut agar tidak meluas.[20] Pada tanggal 18 September, baku tembak pecah di Madiun. Seorang simpatisan PKI menyatakan bahwa pemerintahan baru, yang disebut Front Nasional, dibentuk setelah membunuh para perwira loyalis pemerintah dan mengambil alih tempat-tempat strategis. Mendengar hal ini, Musso, Amir, dan yang lainnya pergi ke Madiun untuk mengendalikan pemberontakan.[19] Menurut pemimpin milisi yang dipengaruhi PKI, Soemarsono, tindakannya telah disetujui oleh Musso ketika Soemarsono mengunjungi Musso dan Amir dua hari sebelumnya. Namun, menurut Ann Swift dan Himawan Soetanto, Musso tidak mengetahui hal ini.[21]

Pada malam hari tanggal 19 September, Soekarno memerintahkan rakyat Indonesia untuk memilih dirinya dan Hatta, atau Musso. Menurut M.C. Ricklefs, Musso tidak memiliki pengalaman di Indonesia sehingga ia tidak memiliki basis kekuatan politik atas mayoritas rakyat Indonesia dibandingkan Soekarno. Bahkan milisi lokal yang dipengaruhi oleh pihak anti-pemerintah tidak akan mendukung Musso.[22] Menanggapi hal ini, Musso membentuk Front Nasional Daerah Madiun, dan menunjuk Soemarsono sebagai gubernur militer dan Djoko Soedjono sebagai komandan milisi. Hatta tidak puas dengan tanggapan tersebut, dan menyatakan bahwa Musso ingin mengambil alih pemerintahan dan "mendirikan pemerintahan Soviet."[23]

Para pemberontak terdesak setelah Divisi Siliwangi diperintahkan untuk menyerang pasukan PKI di Madiun.[22] Musso dan Amir yang mengetahui bahwa mereka tidak akan berhasil melawan serangan yang dipimpin oleh Gatot Soebroto, menginstruksikan pasukan PKI untuk melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan.[24] Pada tanggal 28 September, Musso, Amir, dan Soemarsono meninggalkan Madiun menuju Ngebel dan Dungus, Ponorogo.[25] Ketika berada di Balong, Ponorogo, Musso dan Amir berselisih paham mengenai rencana taktis. Sementara Musso ingin bergerak ke selatan, Amir lebih suka bergerak ke utara.[26]

Pada tanggal 31 Oktober, di pegunungan dekat Ponorogo, Musso dibunuh oleh pasukan pemerintah ketika mencoba melarikan diri.[22][27]

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Rudolf Mrázek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, ISBN 0-87727-713-3 ISBN 978-0-87727-713-2
  2. ^ Swift 2010, hlm. 91.
  3. ^ a b c McVey 2006, hlm. 169.
  4. ^ a b Dhyatmika 2011, hlm. 2.
  5. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 8, 10.
  6. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 10.
  7. ^ McVey 2006, hlm. 168.
  8. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 10-11.
  9. ^ Triyana 2011, hlm. 137.
  10. ^ McVey 2006, hlm. 169-170.
  11. ^ McVey 2006, hlm. 170.
  12. ^ McVey 2006, hlm. 283.
  13. ^ McVey 2006, hlm. 303.
  14. ^ McVey 2006, hlm. 310.
  15. ^ Ricklefs 2001, hlm. 225.
  16. ^ a b McVey 2006, hlm. 316.
  17. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 13.
  18. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 17-18.
  19. ^ a b Ricklefs 2001, hlm. 280.
  20. ^ Swift 2010, hlm. 121.
  21. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 77, 95.
  22. ^ a b c Ricklefs 2001, hlm. 281.
  23. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 98.
  24. ^ Swift 2010, hlm. 130.
  25. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 99, 103.
  26. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 104.
  27. ^ Dhyatmika 2011, hlm. 105.

Pranala luar

sunting