Batu Belah Batu Bertangkup

Revisi sejak 21 November 2024 08.08 oleh Yudajatnika (bicara | kontrib)

Batu Belah batu bertangkup merupakan sebuah legenda terkenal masyarakat Melayu. Batu Belah Batu Bertangkup merupakan sebuah bongkahan batu besar yang mempunyai ruang mirip mulut yang terbuka seperti sebuah gua atau batu terbelah dua, namun dapat mengeluarkan suara yang kuat dan menyeramkan, dikisahkan ia telah menelan banyak manusia yang memujanya.

Legenda versi Indonesia

Zaman dahulu, di sebuah dusun di Indragiri Hilir hiduplah seorang janda bernama Mak Minah dengan ketiga orang anaknya. Anak yang pertama bernama Diang, seorang wanita. Sementara dua orang yang lain adalah laki-laki yang masing-masing bernama Utuh dan Ucin. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiga anaknya, Mak Minah harus selalu bekerja. Pekerjaan Mak Minah adalah berjualan kayu bakar ke pasar.[1]

Ketiga anak Mak Minah sangat nakal. Mereka tidak mau mendengarkan nasihat Mak Minah. Ketiganya kerap membantah perintah dari ibunya. Mereka hanya suka bermain-main saja, bahkan hingga larut malam. Mak Minah sering merasa sedih dengan kelakukan anak-anaknya. Ia sering mendoakan anak-anaknya agar sadar dan mau menghormati orang tuanya. Pada keesokan harinya Mak Minah menyiapkan banyak makanan untuk anak-anaknya.[1]

Setelah itu ia pergi ke sungai dan mendekati sebuah batu sambil berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali, layaknya seekor kerang. Orang-orang sering menyebutnya dengan batu betangkup. “Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu betangkup pun kemudian menelan tubuh Mak Minah, hingga yang tertinggal dari tubuh Mak Minah sebagian rambutnya saja.[1]

Menjelang sore hari, ketiga anaknya mulai merasa heran. Mereka sejak pagi tidak menjumpai emak mereka. Akan tetapi karena makanan yang ada cukup banyak, mereka akhirnya cuma makan lalu bermain-main kembali. Setelah hari kedua, makanan pun mulai habis. Anak-anak Mak Minah mulai kebingungan dan merasa lapar. Sampai malam mereka kebingungan mencari emaknya. Barulah pada keesokan harinya setelah mereka pergi ke tepi sungai, mereka menemukan ujung rambut Mak Minah yang terurai ditelan batu betangkup.[1]

“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu,” ratap mereka.

“Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis.

“Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya batu betangkup pun mengabulkan ratapan ketiga anak Mak Minah. Mak Minah dikeluarkan dari tangkupan batu betangkup. Mereka pun menjadi rajin membantu emak dan menyayangi Mak Minah. Akan tetapi, hal tersebut ternyata tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian mereka berubah sifat kembali seperti semula. Suka bermain-main dan malas membantu orang tua.[1]

Mak Minah pun kembali sedih. Ia lalu mengunjungi lalu batu betangkup di tepi sungai. Ia kemudian ditelan lagi oleh batu betangkup tersebut. Anak-anak Mak Minah masih terus sibuk bermain-main. Menjelang sore hari, barulah mereka sadar bahwa emak mereka tak ada lagi. Mereka pun kembali mengunjungi batu betangkup di tepi sungai sambil meratap meminta agar emak mereka dikeluarkan oleh batu betangkup. Akan tetapi, kali ini batu betangkup sudah marah. Ia lalu berkata “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata batu batangkup sambil menelan mereka. Batu batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.[1]

Legenda versi Malaysia

Kisah Batu Belah Batu Bertangkup meceritakan tentang kisah sepasang suami isteri yang miskin, Si Kantan (suami) dan Si Tanjung (isteri) yang diyakini tinggal di Bukit Berapit, dekat Pangkalan Kapar, Klang. Mereka berdua menyambung hidup dengan mengambil upah menganyam atap nipah, bertani, menganyam tikar, menangkap ikan sungai dan pekerjana kasar lain sehingga berhasil memiliki sebidang tanah dan sebuah rumah.

Pada suatu hari, mereka pergi ke pinggir hutan untuk mencari sayur. ketika sedang asyik memetik daun salam mereka mendengar suara keras dan menakutkan. Si Kantan memberitahu kepada isterinya bahawa itu adalah gua Batu Belah Batu Bertangkup yang pernah diceritakan oleh datuknya dahulu. Selang beberapa tahun kemudian, mereka dikarunia 2 orang anak, seorang anak perempuan Si Bunga Melur namanya dan laki-laki Si Pekan. Namun, sayang Si Kantan meninggal dunia ketika anak-anaknya masih kecil, hal ini menjadikan Si Tanjung hidup tidak karuan, dan kehilang tempat bergantung.

Pada suatu hari, Si Tanjung telah berhasil memancing seekor ikan tembakul setelah lama dia menginginkan telur ikan tersebut. Disuruhnya Si Melur merebus telur ikan itu sementara dia pergi mandi. Ketika telur itu masak, sebahagiannya diberikan kepada Si Pekan dan sebahagian lagi disimpan untuk ibunya. Si Pekan menangis kerana dia ingin makan lagi telur ikan bagian ibunya dan memaksa kakaknya memberikan telur itu kepadanya. Si Melur kemudian mengambil sebutir telur ayam untuk mengantikan telur ikan sebagai lauk ibunya. Perbuatan Si Pekan membuat Si Tanjung mearah, terkilan dan amat sedih.

Tanpa berfikir panjang Si Tanjung akhirnya lari meninggalkan rumah, sambil memanggil-manggil nama "Batu Belah Batu Bertangkup" untuk memakan dan menelannya. Walaupun dibujuk dengan tangis oleh Si Bunga Melur yang terus berlari sambil menggendog Si Pekan. Sebagai anak-anak, langkahnya kalah cepat sampai di pintu gua batu itu, ibunya sudah ditelan oleh batu, kemudian Si Melur pun jatuh pingsan.

Sewaktu dalam keadaan tidak sadar, Si Bunga Melur sedang bermimpi didatangi seorang tua menasihatinya supaya tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia disuruh mengambil tujuh helai rambut ibunya yang terjulur dan membawa telur ayam yang akan dibuatkan lauk ibunya itu. Dia harus berjalan mengikut arah kakinya dan membakar sehelai rambut ibunya setiap kali akan tidur. Si Melur menggendong Si Pekan membelah hutan belukar dan semak hingga sampai ke rumah Dato’ Penghulu. Orang tua itu bersimpati dan ingin merawat mereka berdua. Sewaktu tidur, Si Bunga Melur bermimpi didatangi orang tua yang sama dan menyuruh dia untuk meneruskan perjalanan ke kampung yang ketiga.

Si Bunga Melur dan adiknya Si Pekan meneruskan perjalanan sehingga tiba di Kampung Bukit Perah Lantan, mereka menemui Tok Batin yang menjamu mereka dengan baik. Malam itu Si Pekan menangis tanpa henti walaupun sudah diobati Tok Batin sehingga dikalungkan dengan sekeping besi kuning di lehernya. Keesokan harinya Si Bunga Melur meneruskan perjalanan ke Kampung Bukit Kapar dan menumpang bermalam di rumah keluarga seorang petani dan tinggal di situ beberapa malam. Petani itu menceritakan kepada Si Bunga Melur tentang kegemaran Ratu Jayang Sakti menyabung ayam.

Tinggal satu kampung lagi untuk dituju. Si Bunga Melur dan adiknya meneruskan perjalanan dan tiba di Kampung Kerayung Tamarulan, di sini mereka bertemu dengan Nenek Kebayan yang tertarik dan bersimpati dengan penderitaan mereka berdua. Pada malam itu, Si Bunga Melur sekali lagi bermimpi didatangi orang tua yang sama. Kali ini menyuruh Melur meletakkan telur yang dibawa itu ke dalam sangkar ayam di belakang rumah. Tujuh hari lagi telur itu akan menetas dan peliharakanlah anak ayam itu sebaik mungkin. Orang tua itu meramalkan Si Pekan kelak akan menjadi juara ayam terkenal dan meminta Si Bunga Melur meletakkan besi kuning kalung Si Pekan ditaji ayam apabila akan diadu nanti.

Beberapa tahun telah berlalu kedua-dua mereka telah meningkat remaja. Si Bunga Melur kelihatan begitu cantik dan pandai mengolah bunga serta anyaman untuk dijual oleh Nenek Kebayan, sementara Si Pekan selalu menang di pertarungan sabung ayam. Kabar itu sampai kepada Ratu Jayang Indera Sakti, raja negeri tersebut. Akhirnya ayam Si Pekan diundang bertarung dengan ayam raja di istana. Taruhannya, Si Pekan akan menjadi hamba raja jika kalah dan mendapatkan makanan serta pakaian dari istana jika menang.

Seperti biasa, ayam Si Pekan dapat membunuh ayam raja. Hulubalang dan bentara diperintahkan membawakan makanan dan pakaian ke rumah Nenek Kebayan. Di sana mereka terpandang akan kecantikan dan budi pekerti Si Bunga Melur, kakak Si Pekan lantas apabila pulang mereka punmemberi kabar kepada Sang Ratu. Si Bunga Melur diperintahkan ke istana dan raja akhirnya terpesona dengan kecantikan dan kesantunan Si Bunga Melur. Si Bunga Melur dikahwinkan dengan raja lalu diangkat sebagai permaisuri. Pada suatu hari Si Bunga Melur dilihat raja bermuram durja dan sentiasa termenung. Raja ingin tahu apa yang difikirkan oleh permaisuri baginda apabila melihat isterinya sedemikian rupa. Akhirnya Si Bunga Melur pun menceritakan tentang Batu Belah Batu Bertangkup yang telah menelan ibunya itu. Rombongan raja hadir ke hadapan gua batu tersebut dan raja sendiri melihat ke dalam gua yang menyeramkan itu. Sejak saat itu tidak terdengar lagi suara seram dan gerakan dari batu tersebut.

Adaptasi

Buku

Film

  • Batu Belah Batu Bertangkup muncul dalam filem Malaysia Magika, sebuah film musikal fantasi tahun 2010 yang mengumpulkan berbagai tokoh cerita rakyat Melayu[2][3].

Fakta Batu Versi Malaysia

Cerita mengenai batu belah batu bertangkup yang dianggap ajaib itu benar-benar ada di Tatau sebuah desa kecil di Serawak

Beberapa tahun kemudian muncul kisah mengenai keluarga Pak Uda Daik dan isterinya Mak Timah yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Mawar dan seorang anak lelaki bernama Pekan.

Ketika Mak Timah mengandung Pekan dulu, Mak Timah pernah mengidam telur ikan Tembakul tapi tidak kesampaian. Pak Uda dikisahkan meninggal ditimpa sebatang pohon tumbang akibat hujan lebat dan agin ribut, ketika mencari telur ikan keinginan Mak Timah. Setelah kematian Pak Uda, Mak Timah bersama anak-anaknya pindah dan meninggalkan tempat tinggalnya.

Mak Timah memang pernah dikatakan merajuk kerana keinginan terhadap telur ikan tembakul. Meskipun begitu, tidak ada keterangan dan bukti yang menyatakan bahwa Mak Timah mati ditelan batu belah batu bertangkup.

Banyak orang berpendapat bahwa batu tersebut terletak di Semenanjung Melayu namun sebernarnya batu tersebut berada di Serawak tepatnya di Bukit Kana, Tatau. Banyak orang tidak menyadarinya karena batu tersebut terletak di atas bukit dan terdapat pula sebuah Resort.


Referensi

  1. ^ a b c d e f Kurnianto, Ery Agus. "The Folklore of Batu Belah Batu Betangkup as A Woman Resistence of The Dual Roles Discourse" (PDF). Balai Bahasa Jawa Tengah: 3–7. 
  2. ^ Wahiduzzaman (23 September 2010). ""Magika" Bukan Filem "Gebang Kosong"". mStar. Diakses tanggal 28 Januari 2022. 
  3. ^ "Kelainan "Magika" Berjaya Pikat Hati Penonton". mstar. 24 September 2010. Diakses tanggal 6 Mac 2023.