Pengguna:Swarabakti/Draf

Revisi sejak 27 November 2024 12.51 oleh Swarabakti (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

La Maddukelleng

sunting

Kehidupan awal

sunting

Latar belakang

sunting

Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu Gowa-Tallo) pada aliansi Bone dan VOC dalam Perang Makassar. Penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi merantau ke Makassar, Kalimantan Timur, Sumbawa, kawasan Selat Melaka, serta bagian Nusantara lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.

La Maddukelleng sendiri kemungkinan lahir pada sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo.[1] Menurut sumber lontara yang ditelusuri oleh Andi Zainal Abidin (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukelleng yang bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan Arung (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan Arung Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai Patola (salah satu dari tiga panglima besar Wajo).[2]

Sedikit sekali detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo.[3][4] Sebuah riwayat yang dicatat di kemudian hari oleh Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa puan (tempat sirih) bagi Arung Matoa Wajo La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri Arumpone La Patauʼ di Cenrana, Bone.[a] Ketika itu La Maddukelleng kemungkinan masih remaja (usia 13-14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai dikhitan. Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam.[6] Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala Arung Matoa Wajo. La Maddukelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo.[3] Sesampainya di Tosora (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi sang arung matoa melindungi La Maddukelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo.[3] Sang arung matoa lalu mengingatkan bahwa sesuai perjanjian Persekutuan Tellumpoccoe di Timurung (antara Bone, Wajo dan Soppeng), mereka tak seharusnya meragukan perkataan satu sama lain.[7] Khawatir bahwa Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, La Maddukelleng pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo.[3]

Petualangan di perantauan

sunting

Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ mengisahkan bahwa sebelum La Maddukelleng berangkat merantau, sang arung matoa menanyakan padanya bekal apa yang ia bawa untuk merantau. La Maddukelleng menjawab bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman pedangnya, dan ujung kemaluannya.[8][9] Ketiga hal ini lazim disebut sebagai tellu cappaʼ ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis, dan masing-masingnya merupakan kiasan bagi diplomasi, kekuatan militer, serta jalinan pernikahan, yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau. Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng untuk memenuhi ambisi politiknya.[10]

Pada masa pemerintahan Arung Matoa La Salewangeng (1715-1736), dibentuklah sebuah sistem serupa koperasi yang memudahkan rakyat Wajo untuk mendapat modal dagang, sehingga perniagaan Wajo berkembang pesat, dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara.{sfnp|Wellen|2009|p=???}} Ketika La Maddukelleng meninggalkan Wajo, ia kemungkinan mengunjungi komunitas-komunitas rantau ini sebelum akhirnya menetap di Pasir, Kalimantan Timur. Di sana, ia dengan cepat menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, hingga mampu menikahi putri dari penguasa Pasir. Namun, perselisihan yang terjadi kemudian antara La Maddukelleng dan keluarga bangsawan Pasir pecah menjadi perang pada pertengahan 1720-an. Penguasa Pasir dipaksa turun dari takhtanya, dan La Maddukelleng mendaulat dirinya sendiri sebagai Sultan Pasir.[11] Ia lalu menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Pasir yang melarikan diri ke sana. Orang-orang Kutai yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan, dan kota mereka dibakar habis oleh La Maddukelleng.[12][13]

La Maddukelleng memiliki adik bergelar Daeng Matekko yang juga merupakan seorang perantau. Daeng Matekko awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum kemudian berpindah ke kawasan Selat Melaka dan turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang Melayu, komunitas Bugis Riau, serta Raja Kecik dari Minangkabau. Pada tahun 1731, Daeng Matekko diserang oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor, tetapi serbuan balasan yang ia lakukan dengan bantuan Raja Kecik memaksa To Passarai mundur dan melarikan diri ke Kalimantan.[14] Sebagai balasan lebih lanjut atas penyerangan yang dilakukan To Passarai kepada adiknya, La Maddukelleng pun menyergap pasukan To Passarai di Tabonio, Kalimantan Selatan.[15][b] Menurut Wellen, kolaborasi kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.[16]

Kembali ke Sulawesi Selatan

sunting

Kepulangan La Maddukelleng ke Wajo merupakan puncak dari interaksi antara komunitas rantau Wajo dan tanah air mereka.[17] Keuntungan dari perniagaan Wajo yang dimotori oleh komunitas rantau pada masa pemerintahan La Salewangeng digunakan untuk memperkuat benteng pertahanan dan membangun gudang senjata. Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ secara khusus menyebut bahwa La Maddukelleng dipanggil pulang oleh sang arung matoa untuk membantu membebaskan tanah airnya dari pengaruh Bone, karena Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer. Walaupun begitu, beberapa riwayat dari sumber-sumber lainnya menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.

Dalam versi Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ, disebutkan bahwa Wajo mengirimkan Arung Taʼ, La Delle, untuk memberikan surat rahasia dari Arung Matoa La Salewangeng yang berisikan permohonan agar La Maddukelleng kembali ke Wajo.[c] Pasukan La Maddukelleng pun meninggalkan Pasir bersama Arung Taʼ, To Assa (kapitan laut pasukan La Maddukelleng), dan POWJGOIAHRG, disertai oleh armada besar yang beranggotakan orang Bugis, Pasir, serta....

Pada

Masa kepemimpinan di Wajo

sunting

Pembebasan Wajo dari pengaruh Bone

sunting

Pengepungan Makassar

sunting

Akhir masa jabatan

sunting

Masa tua

sunting

Perang Peneki

sunting

Perdebatan mengenai tuntutan hukuman dan kematian

sunting

Penilaian dan peninggalan sejarah

sunting

Sebagai penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998. Meski begitu, menurut Wellen, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh "purwa-nasionalis" yang "berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih" tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Naskah Bugis tentang pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai "penghasut perang" yang "tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco". Bahkan, ia mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda.[19]

Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam imaji orang-orang dari daerahnya.[20] Bagi orang-orang Wajo, La Maddukelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda.[21] Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bepergian, dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali hak-hak kemerdekaan ini.[22] Begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng tumbuh semakin kuat dan mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo, sehingga rakyatnya berbalik melawan dan memintanya mundur.

Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukelleng dan bangsawan Pasir alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Tradisi lokal juga menempatkan La Maddukelleng sebagai leluhur bagi para penguasa di Kalimantan, termasuk di antaranya Aji Imbut yang kelak menjadi Sultan Kutai. Walaupun sebagian detailnya tidak bersesuaian dengan sumber-sumber Bugis maupun Belanda, tradisi semacam ini setidaknya dapat menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut.[23]


Keterangan

sunting
  1. ^ Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, bagian kisah ini sedikit janggal, karena masa pemerintahan La Patauʼ dan La Salewangeng sebetulnya tidak beririsan; La Patauʼ mangkat pada tahun 1714, sementara La Salewangeng baru menjabat sebagai arung matoa pada tahun 1715.[3] Namun, Abidin berpendapat bahwa La Salewangeng memerintah dari tahun 1712.[5]
  2. ^ Sebagian catatan lontara menyebutkan bahwa La Maddukelleng membunuh To Passarai, tetapi ada pula yang menyebut bahwa ia hanya menyergap dan merampas harta To Passarai.
  3. ^ Tentunya jika suratnya rahasia, isinya tidak mungkin diketahui oleh penulis LSW; riwayat ini kemungkinan ditambahkan oleh penulis lontaraʼ berdasarkan tradisi lisan semasa.[18]

Rujukan

sunting

Sitiran

sunting
  1. ^ Noorduyn 1972, hlm. 61.
  2. ^ Abidin (2017), hlm. 281, 283, 301.
  3. ^ a b c d e Wellen (2014), hlm. 138.
  4. ^ Noorduyn (1955), hlm. 127.
  5. ^ Abidin (2017), hlm. 279.
  6. ^ Abidin (2017), hlm. 281.
  7. ^ Abidin (2017), hlm. 283.
  8. ^ Wellen 2014, hlm. 88.
  9. ^ Abidin (2017), hlm. 283-284.
  10. ^ Wellen 2014, hlm. 88, 95.
  11. ^ Wellen 2014, hlm. 95, 139.
  12. ^ Abidin (2017), hlm. 286-287.
  13. ^ Wellen 2014, hlm. 139.
  14. ^ Wellen (2014), hlm. 98-100, 191.
  15. ^ Noorduyn (1955), hlm. 129.
  16. ^ Wellen (2014), hlm. 101-102.
  17. ^ Wellen (2014), hlm. 137.
  18. ^ Wellen (2014), hlm. ???.
  19. ^ Wellen (2018), hlm. 48, 68.
  20. ^ Noorduyn (1953), hlm. 144.
  21. ^ Noorduyn (1972), hlm. 61-63.
  22. ^ Reid (1998), hlm. 147-148.
  23. ^ Wellen (2014), hlm. 96-97, 132-134.

Daftar pustaka

sunting