Bonih Omei

Revisi sejak 30 November 2024 06.20 oleh Abrarcombi3 (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Manuldok omei''' adalah proses menanam kembali benih padi yang telah disemai di tempat persemaian khusus ke petakan sawah. Tradisi ini merupakan tahapan penting dalam pertanian masyarakat Mandailing, yang dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan keberhasilan pertumbuhan padi. Proses ini diawali dengan manamei omei, yaitu penyemaian benih padi di area khusus yang disebut bedengan. Setelah benih tumbuh dengan baik, memiliki daun yang sempurna, batang yang ku...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Manuldok omei adalah proses menanam kembali benih padi yang telah disemai di tempat persemaian khusus ke petakan sawah. Tradisi ini merupakan tahapan penting dalam pertanian masyarakat Mandailing, yang dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan keberhasilan pertumbuhan padi.

Proses ini diawali dengan manamei omei, yaitu penyemaian benih padi di area khusus yang disebut bedengan. Setelah benih tumbuh dengan baik, memiliki daun yang sempurna, batang yang kuat, dan terbebas dari hama, kegiatan manuldok omei dilakukan. Bibit dicabut dari bedengan persemaian dengan hati-hati untuk menjaga agar akar tetap utuh dan tidak rusak.[1]

Proses Manuldok Omei

Manuldok omei melibatkan pemindahan bibit padi dari bedengan ke petakan sawah. Setiap bibit ditanam dengan menekankan batangnya ke tanah, memastikan posisinya tegak. Kedalaman tanam umumnya sekitar 2 cm agar bibit tidak mudah hanyut oleh air. Jika petani belum terbiasa menanam satu bibit per lubang, mereka dapat menanam 2-3 bibit untuk setiap lubang tanam.

Pengaturan jarak tanam dilakukan menggunakan caplak, alat tradisional untuk memastikan pola tanam yang seragam. Jarak antar tanaman biasanya berkisar 20 cm x 20 cm atau 25 cm x 25 cm. Dalam beberapa kasus, pola tanam dengan model 2:1 juga diterapkan, yaitu jarak tanam berselang dua baris dengan satu baris kosong (sekitar 40 cm x 20 cm x 10 cm). Baris kosong tersebut disebut unit, yang berfungsi sebagai ruang untuk sirkulasi udara dan mempermudah pengelolaan lahan.[2]

Referensi

  1. ^ Daniswari, Dini (2024-10-22). "Mengenal Tradisi Marsialapari, Gotong Royong Masyarakat Mandailing". Kompas.com. 
  2. ^ Nasution, Askolani; Siregar, Tikwan Raya; Hutasuhut, Anharuddin; Hamdani, Nasrul; Sinulingga, Jekmen; Rehulina, Eka Dalanta; Sekali, Mehamat Karo; Herlina, Herlina; Padang, Melisa (2021). Sibrani, Robert, ed. Ensiklopedia kebudayaan Kawasan Danau Toba. Banda Aceh: Balai Pelestarian dan Nilai Budaya Aceh. ISBN 978-623-6107-05-8.