Budaya media

Revisi sejak 11 Desember 2024 12.03 oleh Mirani Pramitasari (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Media menggunakan HotCat)

Budaya media adalah budaya yang berlandaskan kepada visual dan audio, sementara media visual dan audio tersebut bisa bermacam-macam seperti televisi, radio, musik, media cetak. Dalam media tersebut, unsur penglihatan dan pendengaran dicampuradukkan untuk mendapatkan emosi dari audiens, baik yang melihat maupun yang mendengar. Budaya media juga terkait dengan relasi kuasa, siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai.[1]

Budaya media sebagai entitas bisnis

Dalam konteks relasi kuasa, media juga kerap dimanfaatkan oleh para pemilik media demi kepentingan ekonomi dan politiknya sehingga sulit bagi media untuk bisa bermanfaat bagi kepentingan publik secara luas.[2]

Budaya media untuk kepentingan publik

Media yang baik dapat berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan kritik dan saran yang membangun kepada pemerintahan dalam segala aspek. Jika iklim demokrasi yang sehat—di mana hukum dan hak asasi manusia dijunjung tinggi— di masyarakat belum terbentuk, maka media berperan sebagai ruang publik yang berfungsi sebagai corong aspirasi masyarakat dalam menyuarakan hal-hal yang harus menjadi perhatian pemerintah.[2]

Pers berperan utama untuk menjembatani pemerintah, masyarakat serta tokoh politik dengan cara menyampaikan kebijakan publik yang telah dirancang oleh pemerintah dan tokoh politik kepada masyarakat, di samping itu juga pers mesti bisa bersikap kritis secara objektif dengan memantau dan mengawasi kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Pers dalam hal ini dapat dilihat sebagai pedang bermata dua. Pers berfungsi sebagai penghubung agar kebijakan pemerintah dapat dipahami oleh masyarakat sehingga transparansi dapat tercipta dan diharapkan masyarakat dapat mengambil keputusan politik dengan tepat. Di sisi lain, cara media menyajikan informasi kepada masyarakat akan mempengaruhi persepsi masyarakat atas pemerintah maupun terhadap suatu peristiwa tertentu. Media harus bijak dalam menyampaikan berita dengan memilih diksi-diksi yang sesuai serta visual yang tidak hiperbola.[3]

Di negara demokrasi liberal, media menjadi ruang pertarungan antara jurnalis, pengusaha dan politisi saling berinteraksi secara dinamis terutama ketika ada agenda atau kepentingan di antara ketiganya. Ketika media dimiliki oleh pengusaha, maka media dimanfaatkan untuk kepentingan bisnisnya, sementara itu, ketika media dimiliki oleh politisi, maka pemberitaan di media lebih condong untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu, bukan kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, ketika media sudah sedemikian terdistorsinya, maka akan semakin banyak bias pemberitaan yang beredar di masyarakat yang pada akhirnya akan memperlemah pilar-pilar demokrasi itu sendiri.[2]

Referensi

  1. ^ M.Si, Azwar (2018-03-01). 4 Pilar Jurnalistik. Prenada Media. ISBN 978-602-422-235-2. 
  2. ^ a b c Ramadlan, Mohammad Fajar Shodiq; Wahid, Abdul; Rakhmawati, Fariza Yuniar; Destrity, Nia Ashton; Hair, Abdul; Harjo, Indhar Wahyu Wira; Utaminingsih, Alifiulahtin (2019-12-31). Media, Kebudayaan, dan Demokrasi: Dinamika dan Tantangannya di Indonesia Kontemporer. Universitas Brawijaya Press. ISBN 978-602-432-919-8. 
  3. ^ Putranto, Dr Algooth (2024-01-18). KOMUNIKASI POLITIK. Cendikia Mulia Mandiri. ISBN 978-623-8382-81-1.