Bakar Batu

Upacara Adat di Indonesia
Revisi sejak 15 Desember 2024 09.09 oleh Envapid (bicara | kontrib)

Tradisi Bakar Batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua Pegunungan yang berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur, kelulusan, bersilaturahmi (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan seperti kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Lanny Jaya, Nduga, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo dll.

Bakar Batu (Kit Oba Isogoa) di Lembah Baliem, Jayawijaya, Papua

Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya Barapen (Biak), Lago Lakwi (Lani, Tolikara) atau Logo Lakwi (Dani, Puncak), Mogo Gapil (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena, Jayawijaya), Kelayogotago (Damal), Kerep Kan (Nduga), dan Hupon (Pegunungan Bintang).[1]

Ritual

 
Ritual bakar batu.

Ritualnya sebagai berikut:

  1. Batu ditumpuk di atas perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara).
  2. Bersamaan dengan itu, warga yang lain menggali lubang yang cukup dalam.
  3. Batu panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang.
  4. Di atas batu panas itu ditumpuk daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi yang sudah diiris-iris.
  5. Di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas lagi dan ditutup daun.
  6. Di atas daun, ditaruh ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayuran lainnya dan ditutup daun lagi.
  7. Di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun pisang dan alang-alang.

Babi yang akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu. Bila babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati, maka pertanda acara tidak bakalan sukses. Setelah matang, biasanya setelah dimasak selama 1 jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan bersama di lapangan tengah kampung, sehingga bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua.

Hingga saat ini tradisi bakar batu masih terus dilakukan dan berkembang juga untuk digunakan menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung, seperti bupati, walikota, gubernur, presiden dan tamu penting lainnya.

Kehalalan

Di sebagian masyarakat pedalaman Papua yang beragama Islam atau saat menyambut tamu muslim, daging babi bisa diganti dengan daging ayam, bebek, domba atau kambing atau bisa pula dimasak secara terpisah dengan babi.

Hal seperti ini contohnya dipraktikkan oleh masyarakat adat Walesi di Kabupaten Jayawijaya untuk menyambut Bulan Ramadhan[2]

Pranala luar

  1. Perpustaakan Digital Budaya Indonesia (http://budaya-indonesia.org/Upacara-Bakar-Batu/)
  2. Travel Detik.com (http://travel.detik.com/read/2013/03/08/101211/2189255/1383/bakar-batu-pesta-makanan-lezat-dan-sehat-di-papua)
  3. Kompasiana: Tradisi Bakar Batu Muslim Papua Memelihara Tradisi Menjaga Akidah (http://travel.detik.com/read/2013/03/08/101211/2189255/1383/bakar-batu-pesta-makanan-lezat-dan-sehat-di-papua)
  4. Festival Lembah Baliem (https://festivallembahbaliem.id/[pranala nonaktif permanen])

Referensi

  1. ^ Makatita, Ahmad; Wahid, Maulana; Nugroho, Ahmad (2022). "Nilai-Nilai Kosmopolitanisme Islam Dalam Tradisi Bakar Batu di Jayawijaya, Papua". Transformasi. 4 (1). Diakses tanggal 2024-05-25. 
  2. ^ Bakar Batu, Tradisi Muslim Papua Sambut Bulan Suci Ramadhan. dari situs berit Detik