Manipulasi internet
Manipulasi internet (Inggris: internet manipulation) dapat diartikan sebagai upaya dalam menguasai atau mengambil alih teknologi digital daring termasuk algoritma dan bot sosial, yang tujuannya untuk suatu promosi, politik, sosial, militer, dan sebagainya.[1] Hal ini dekat hubungannya dengan media sosial atau jejaring sosial.
Algoritma
Berbagai konten telah banyak muncul di media sosial, dan hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak dengan menggunakan jejaring sosial dan mesin pencari untuk mengumpan dan menyesuaikan konten yang ingin dilihat atau dicari pengguna. Manipulasi algoritma salah salah satu cara yang digunakan untuk mengatur konten yang dapat dicari oleh pengguna internet.[2] Namun, algoritma juga dapat mencegah pengguna melakukan pencarian terhadap suatu sudut pandang dan konten. Hal ini akhirnya menimbulkan ruang gema atau gelembung filter, pengguna semakin yakin pada apa yang dia inginkan sebelumnya.[3] Ruang gema dapat diartikan sebagai fenomena sosial yang dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang untuk memperkuat opininya dan dapat mengarahkannya menjadi lebih ekstrem terhadap opini tersebut.[4]
Dampak
Noam Chomsky, seorang ahli linguistik dan pakar politik asal Amerika Serikat berpendapat bahwa media sosial menjadi sarana yang dapat digunakan seseorang atau pihak tertentu untuk memengaruhi opini publik guna mendukung gagasannya. Pengaruh yang dilakukan yakni dengan menerbitkan konten, pendapat dan pandangan yang dianggap sangat kuat. Hal ini adalah sebuah manipulasi.[5] Chomsky berpendapat bahwa manipulasi ini dapat mengalihkan perhatian masyarakat terhadap isu-isu penting. Ketika manipulasi ini dilakukan secara berkelanjutan dan tidak proporsional, maka kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam diskusi yang substansial akan terhambat.[5]
Selain itu, Chomsky juga mengatakan bahwa manipulasi ini berdampak pada keragaman perspektif publik yang tidak sehat. Misalnya, sebuah media hanya terpusat pada beberapa perusahaan besar demi kepentingan ekonomi dan politik, maka perbedaan pendapat dan suara-suara minoritas akan terabaikan.[5] Dampak lain dari manipulasi ini yakni berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap berita di media sosial. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat akan skeptis terhadap isu-isu yang beredar, sekalipun jika hal tersebut adalah sebuah informasi yang sangat penting.[5]
Kasus
Sejak terjadinya Invasi Ukraina oleh Rusia pada tahun 2022, peristiwa ini menjadi berita utama di banyak negara. Akan tetapi, para pengamat beranggapan bahwa Rusia berhasil menyebarkan disinformasi di media sosial, sehingga banyak pihak mendukung. Di dunia barat, berita infowars atau perang berita dapat dikendalikan, sementara di Indonesia, sebagian besar masyarakat mendukung invasi tersebut. Dedy Rudianto dari Evello, sebuah platform pemantauan big data di Jakarta mengatakan bahwa 95% pengguna TikTok dan 73% pengguna Instagram di Indonesia, mendukung Rusia. Internet Reserch Agency adalah lembaga informasi milik Rusia berbasis di Kota Sankt-Peterburg, sebagai pabrik yang memengaruhi opini publik untuk mendukung Rusia.[6]
Dalam laporan BBC bertajuk BBC Monitoring pada 12 November 2022, sebuah tim melakukan eksperimen pencarian informasi di Rusia dengan menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN). Eksperimen yang dilakukan oleh tim, menunjukkan hasil berbeda terkait kata kunci Ukraina, melalui mesin pencari antara Yandex dan Google. Sebagai contoh, pembunuhan masal telah terjadi di Bucha, Ukraina. Melalui mesinpencari Yandex, informasi yang muncul atau diurutan teratas adalah sebuah blog yang isinya menyangkal jika Rusia disalahkan, sementara pada mesin pencari Google, menampilkan informasi pembunuhan massal tersebut. Menurut laporan Roskomsvoboda, sebuah lembaga pengawas hak digital, ribuan situs web telah diblokir pemerintah Rusia, termasuk situs media independen dan kelompok Hak Asasi Manusia.[7]
Referensi
- ^ Woolley, Samuel; Howard, Philip N. (2019). Computational Propaganda: Political Parties, Politicians, and Political Manipulation on Social Media. Oxford University Press. ISBN 978-0190931414.
- ^ "Dianggap Berbahaya, 4 Alasan Media Sosial Harus Dipisahkan Dengan E-Commerce". www.metrotvnews.com. Diakses tanggal 13 Desember 2024.
- ^ Sacasas, L. M. (2020). "The Analog City and the Digital City". The New Atlantis (dalam bahasa Inggris) (61): 3–18. ISSN 1543-1215. JSTOR 26898497. Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ "Memahami Echo Chamber atau Ruang Gema dalam Media Sosial". kumparan.com. 23 Agustus 2023. Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ a b c d Ardiansyah (3 Juni 2023). "Manipulasi Media, Pengaruh dan Dampaknya". geotimes.id. Diakses tanggal 12 Desember 2024.
- ^ Manan, Jimmy (26 April 2022). "Rusia Sukses Lancarkan Propaganda di Media Sosial Soal Konflik Ukraina". www.voaindonesia.com. Diakses tanggal 13 Desember 2024.
- ^ Robinson, Adam; Robinson, Olga (12 November 2022). "Perang Ukraina: Mesin pencarian internet yang 'memanipulasi' kekejaman Kremlin". www.bbc.com. Diakses tanggal 13 Desember 2024.