Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021
Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 atau Ordinansi Berita Palsu adalah sebuah ordinansi darurat yang diadopsi dalam perundang-undangan Malaysia pada tahun 2021.
Pengesahan
Pada bulan Januari 2020, Sultan Abdullah selaku Raja Malaysia mengumumkan keadaan darurat nasional di Malaysia. Pengumuman keadaan darurat bertujuan untuk menghentikan penyebaran COVID-19.[1] Pada Maret 2020, terjadi peralihan pemerintahan dari Koalisi Pakatan Harapan ke Koalisi Perikatan Nasional. Setelah peralihan pemerintahan, pengenalan kembali Undang-Undang Anti-Berita Palsu dilakukan oleh Koalisi Perikatan Nasional. Tujuannya untuk menangani penyebaran berita palsu terutama selama berlangsungnya Pandemi COVID-19 di Malaysia.[2]
Kongres India Malaysia mendesak Pemerintah Malaysia agar Undang-Undang Anti-Berita Palsu diperkenalkan kembali. Desakan ini dimulai setelah terjadinya serangkaian penangkapan pelaku penyebaran disinformasi tentang Pandemi COVID-19 di Malaysia.[2] Di sisi lain, penetapan COVID-19 sebagai suatu keadaan darurat di Malaysia kemudian berakibat pada penangguhan fungsi Parlemen Malaysia sejak bulan Januari 2021.[3] Penangguhan fungsi Parlemen Malaysia ditetapkan melalui Proklamasi Darurat 2021. Parlemen Malaysia ditanggukan fungsinya mulai 11 Januari 2021 hingga 1 Agustus 2021.[4]
Kondisi penangguhan fungsi Parlemen Malaysia membuat penerapan kembali atas Undang-Undang Anti-Berita Palsu mengalami penundaan.[5] Namun Koalisi Perikatan Nasional selaku perwakilan Pemerintah Malaysia akhirnya mengesahkan Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 pada bulan Maret 2021 tanpa persetujuan dari Parlemen Malaysia. Alasannya karena telah terjadi lonjakan kasus penularan COVID-19 yang menyebabkan banyak kematian di Malaysia. Lonjakan ini membuat akses informasi yang sifatnya terbuka menjadi sesuatu yang penting bagi publik di Malaysia.[3] Pengumuman dilakukan oleh Muhyiddin Yassin sebagai wakil Pemerintah Malaysia.[6] Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 disebut juga sebagai Ordinansi Berita Palsu.[7]
Susunan isi
Ordinansi Berita Palsu memuat ketentuan-ketentuan yang saling tumpang tindih dengan undang-undang lain di Malaysia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia, Undang-Undang Percetakan dan Penerbitan 1984, Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998, dan Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018.[8] Ketentuan-ketentuan di dalam Ordinansi Berita Palsu hampir seluruhnya mengulang ketentuan utama yang terdapat dalam Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 yang telah dicabut statusnya sebagai undang-undang oleh Parlemen Malaysia pada Oktober 2019.[1]
Pemidanaan
Ordinansi Berita Palsu menetapkan status kriminalisasi pada tindakan-tindakan berupa pembuatan, penawaran, penerbitan atau publikasi berita palsu. Definisi berita palsu dijelaskan pada Pasal 2 dalam Ordinansi Berita Palsu ialah segala jenis berita, informasi, data atau laporan yang seluruh atau sebagian isinya merupakan pernyataan yang salah terkait COVID-19 atau pengumuman keadaan darurat. Kriminalisasi berlaku terhadap pelaku jika penyebaran berita palsu dilakukan dalam bentuk fitur, rekaman visual, rekaman audio, atau dalam bentuk apa pun yang dapat menyiratkan perkataan atau gagasan.[9]
Pasal 4 dalam Ordinansi Berita Palsu menetapkan hukum berupa denda atau pemenjaraan bagi pelaku penyebar berita palsu di Malaysia yang telah terbukti bersalah. Selain itu, pelaku penyebaran berita palsu di Malaysia juga dapat dikenakan denda dan pemenjaraan sekaligus. Denda yang dibayar oleh pelaku maksimal sebanyak RM 100.000. Sedangkan hukuman penjara maksimal selama tiga tahun. Jika pelanggaran masih berlanjut setelah pemberian hukuman, maka pelaku penyebaran berita pallsu didenda paling banyak RM 1.000 setiap hari hingga penyebaran berita palsu dihentikan.[9]
Referensi
Catatan kaki
- ^ a b ARTICLE 19 2021, hlm. 6.
- ^ a b Leong 2021, hlm. 12.
- ^ a b ARTICLE 19 2021, hlm. 3.
- ^ Leong 2021, hlm. 13.
- ^ Leong 2021, hlm. 12-13.
- ^ Asia Centre 2022, hlm. 15.
- ^ Asia Centre 2022, hlm. 1.
- ^ Asia Centre 2022, hlm. 13.
- ^ a b Asia Centre 2022, hlm. 16.
Daftar pustaka
- ARTICLE 19 (Juni 2021). Malaysia: Emergency (Essential Powers) (No. 2) Ordinance 2021 (Fake News Ordinance) (PDF) (dalam bahasa Inggris). ARTICLE 19.
- Asia Centre (2022). Youth and Disinformation in Malaysia: Strengthening Electoral Integrity (PDF) (dalam bahasa Inggris). Bangkok: Asia Centre.
- Leong, Pauline Pooi Yin (Juni 2021). Digital Mediatization and the Sharpening of Malaysian Political Contests (PDF) (dalam bahasa Inggris). ISEAS Publishing. ISBN 978-981-495-187-6.