Jurnalisme komik
Jurnalisme komik adalah cara penyampaian berita menggunakan media komik sebagai cara alternatif untuk memaparkan persoalan rumit tanpa mereduksi nilai berita dengan cara yang menarik bagi pembaca[1] dengan menggabungkan elemen-elemen komik, narasi, foto berdasarkan data dan fakta yang didapatkan melalui metode-metode jurnalistik.[2]
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Mirani Pramitasari (Kontrib • Log) 5 hari 734 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Sejarah
Komik pada tahun 1800 an menempati kolom khusus di surat kabar yang diinisiasi oleh Rudolf Topffer. Seiring berjalannya waktu, komik hanya dianggap sebagai hiburan saja, padahal komik juga dapat berfungsi untuk menyisipkan muatan-muatan yang politis dengan cara yang seru. Meskipun pada akhirnya media cetak semakin ditinggalkan oleh pembaca karena medianya sudah beralih ke digital, kehadiran komik tetap eksis, bahkan seperti dihidupkan kembali dengan menggabungkan unsur-unsur komik itu sendiri ditambah dengan sentuhan multimedia dengan unsur-unsur jurnalistik. Keberadaan komik ini memiliki fungsi untuk membahas masalah-masalah yang terpinggirkan dari media arus utama.[1]
Seiring perkembangan zaman, laporan jurnalistik yang disajikan dalam bentuk komik tidak hanya terpampang di media cetak saja, tetapi juga di laman web, media sosial.[3]
Para jurnalis komik
Di Indonesia, ada beberapa jurnalis komik yang terkenal dengan karyanya yaitu GM Sudarta yang dikenal karena rubrik khusus yang bernama Oom Pasikom, lalu ada pula Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad yang terkenal karena memanfaatkan media kartun Benny and Mice untuk mengkritik pemerintah dan juga masyarakat.[3] Lalu ada pula Dwi Koendoro Brotoatmodjo yang terkenal lewat karyanya Panji Koming di harian Kompas. Ia menyampaikan parodi dan sindiran terhadap isu-isu aktual yang masih hangat diperbincangkan oleh masyarakat dan juga kritik-kritik sosial terhadap pemerintah.[4]
Di luar negeri, ada Joe Sacco sebagai salah seorang pembuat buku komik tentang konflik Palestina yang berjudul Palestine: In the Gaza Strip pada tahun 1996. Apa yang ada dalam novel tersebut merupakan data dan fakta yang ia gali dalam waktu yang relatif lama dengan turun langsung melihat kondisi di lapangan serta mewawancarai beberapa narasumber.[2]
Strategi
Pemanfaatan komik sebagai medium bercerita membuat para pembaca berita lebih mudah mengerti atas isu-isu yang cukup rumit, tidak seperti penyajian berita konvensional yang cukup menguras waktu dan pikiran untuk mencernanya. Elemen-elemen visual yang ditonjolkan dalam komik menjadi suatu kekuatan utama untuk memaparkan cerita secara ringkas dan efisien, tetapi di sisi lain, para pembuat komik harus tetap hati-hati dalam membuatnya agar kejadian dan peristiwa yang disampaikan tidak berubah menjadi terlampau sederhana sehingga pemgaburkan atau bahkan mengurangi makna berita itu sendiri.[1]
Jurnalisme komik fokus pada kedalaman cerita yang diangkat sehingga berita-berita aktual kurang pas disajikan dalam bentuk komik. Jurnalisme komik lebih cocok digunakan sebagai medium laporan jurnalistik yang memakan waktu dalam proses reportasenya.[1]
Referensi
- ^ a b c d "Remotivi - Yang Unik dari Jurnalisme Komik". Remotivi. Diakses tanggal 2024-12-17.
- ^ a b Ikhwan, Muhammad (2022-02-01). Manajemen Media Kontemporer: Mengelola Media Cetak, Penyiaran, dan Digital. Prenada Media. hlm. 330. ISBN 978-623-384-124-5.
- ^ a b "KomikFaktap Kenalkan Potensi Jurnalisme Komik di Seminar FORMASI". ULTIMAGZ (dalam bahasa Inggris). 2019-04-13. Diakses tanggal 2024-12-18.
- ^ Setiawan, Robertus Rony (2020-08-01). Bunga yang Tak Dikehendaki: Senarai Kisah-Kisah Manusiawi. rehal.id. hlm. 154. ISBN 978-623-93861-1-5.