Museum Balla Lompoa

museum di Indonesia
Revisi sejak 18 Desember 2024 07.08 oleh Silentwinner (bicara | kontrib) (Penambahan Deskripsi)

Museum Balla Lompoa

 
Museum Balla Lompoa

Museum Balla Lompoa adalah sebuah museum yang terletak di tengah-tengah Kelurahan Sungguminasa. Museum ini didirikan pada tanggal 11 Desember 1973. Balla Lompoa merupakan arsitek rumah etnis Makassar dapat diartikan rumah besar dalam bahasa Makassar atau istana bagi raja-raja dari Kerajaan Gowa. Museum ini dibangun di areal seluas 7663 m2 tahun 1936 di masa Raja Gowa ke-XXXV. Luas bangunan kayu 1144 m2. Bangunan ini terbuat dari bahan kayu jati bercorak arsitektur tradisional Makassar. Ada juga terdapat teknik modern di beberapa bagian tertentu, misalnya di persambungan kayu menggunakan baut, bahkan bagian dapurnya menggunakan bahan batu bata.[1]

Arsitektur

Sejumlah arsitektur Balla Lompoa memberi gambaran sejumlah peradaban yang masuk secara silih berganti ke Bantaeng. Diantaranya yaitu tiang dengan bentuk oktagon atau segi delapan. Bentuk tiang tersebut disebut menjadi pelambang 8 arah mata angina, yang diketahui menjadi jejak masuknya agama Hindu. Ada juga tiang yang salah satu dari bagiannya dipahat seperti bentuknya bunga teratai. Simbol tersebut konon jejak dari masuknya Kerajaan Budha. Lalu pada sisi atas, tampak kaligrafi yang membingkai tiap sisi ruangan. Jejak tersebut menjadi tanda masuknya agama Islam di wilayah tersebut. Pada bagian atap rumah panggung, di sisi depannya ada sesuatu berbentuk kepala naga serta sisi belakangnya berbentuk ekor naga atau miniaturnya seekor naga. Kepala serta ekor naga tersebut memiliki arti kalau rumah tersebut yang tertinggi serta tak ada yang menyerupainya. Dari depan, rumah ini terbagi menjadi 3 ruangan yang masing-masing memiliki 3 anak tangga.[2]

Koleksi

 
Museum Balla Lompoa Tampak Dari Depan
 
Museum Balla Lompoa Terlihat Dari Sisi samping

Jenis koleksi yang terdapat di Museum Balla Lompoa seperti koleksi sejarah, etnografi, numismatik, dan heraldik. Koleksi histori terdiri dari seperangkat alat-alat kerajaan seperti:

  1. Salokoa mahkota yang terbuat dari bahan emas murni, beratnya 1766 gram. Salokoa adalah wujud kebesaran Raja Gowa yang dipakai pada upacara pelantikan atau penobatan Raja.
  2. Ponto janga-jangaya: gelang tangan dari bahan emas berbentuk naga yang melingkar dengan dua kepala yang mulutnya terbuka. Gelang ini merupakan tanda kebesaran Raja Gowa yang digunakan pada upacara pelantikan/penobatan Raja Gowa.
  3. Kotara, yaitu rantai emas panjang seberat 270 gram. Merupakan tanda kebesaran Raja yang bernama I Tani Samang (yang tidak ada namanya)[1]
  4. Pakaian untuk pejabat dan pemimpin keagamaan (Daengta Kalia) atau disebut juga pakaian KADI. Adapun fungsi dari pakaian KADI yaitu digunakan pada saat memutuskan perkara dalam islam dan menikahkan raja dan keluarganya.
  5. Koleksi baju adat wanita berdasarkan dengan usia dan dibedakan dengan warna.

Waktu kunjung museum

Waktu kunjungan yang disediakan pihak museum dimulai hari Senin sampai dengan Kamis pukul 08.00 - 13.00 WITA. Hari Jumat dibuka pukul 08:00 - 11.00 WITA sedangkan hari Sabtu pukul 08.00 - 12.00 WITA. sedangkan untuk tiket Masuk Museum tidak ditentukan bayarannya atau sukarela saja.[1]

Harga Tiket

Mengenai harga tiket wisata untuk dapat memasuki kawasan Balla Lompoa Banteng ini Anda tak perlu mencemaskannya. Hal itu dikarenakan harga tiket untuk masuk ke wisata tersebut dipatok sangat murah bagi seluruh wisatawan yang datang. [2] Setiap wisatawan hanya akan dikenai tiket masuk dengan harga 5 ribu rupiah saja.

Fasilitas

Museum Balla Lompoa juga dilengkapi dengan fasilitas seperti Ruang Administrasi, Gudang, Ruang Konservasi , Ruang Auditorium, Ruang Pameran Tetap, Ruang Admnistrasi, Ruang Konservasi dan Preparasi.[1]

Jarak tempuh

Alamat Museum Balla Lompoa di Jalan Sultan Hasanuddin No. 44 Sangguminasa Kecamatan Samba Opu. Kabupaten Gowa. Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak tempuh Museum Balla Lompoa dari Bandara Hasanuddin ke museum berjarak sekitar 1 km. Dari Terminal Bis Mallengkeri ke museum 3 km, sedangkan dari Pelabuhan Laut Soekarno Hatta ke museum berjarak sekitar 23 km.[1]

Kegunaan

Museum Balla Lompoa utamanya digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda kerajaan Gowa. Pemerintah Kabupaten Gowa juga menggunakan museum Balla Lompoa sebagai tempat pelaksanaan upacara-upacara adat yang menjadi agenda tahunan yatu ''accera kalompoang.'' Upacara adat ini merupakan kegiatan pencucian benda-benda pusaka kerajaan yang dilaksanakan setiap bulan Zulhijah atau pada hari raya Idul Adha dan telah berlangsung sejak masa pemerintahan Raja Gowa ke-14, yaitu Sultan Alauddin. Masyarakat meyakini bahwa perubahan berat benda pusaka setelah dicuci akan menentukan nasib Kerajaan Gowa (di masa lalu) dan Kabupaten Gowa (di masa kini). Bertambahnya berat benda pusaka dianggap sebagai pertanda baik, sedangkan berkurangnya berat benda pusaka dianggap sebagai pertan buruk. Masyarakat Kabupaten Gowa menganggap musem Balla Lompoa sebagai tempat keramat dan mempunyai kekuatan magis. Kunjungan ke museum Balla Lompoa bagi masyarakat setempat bertujuan untuk meminta berkah kepada Tuhan melalui benda-benda pusaka Kerajaan Gowa. Ini ditandai dengan adanya sebuah kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka. Di dalam kamar tersebut dilengkapi dengan sesajian seperti seperangkat alat makan, lilin merah, foto Syekh Yusuf dan Sultan Hasanuddin, dan pisang raja sebagai persembahan yang digunakan untuk melaksanakan ritual. Di dekat sesajian terdapat ranjang kecil dengan kelambu berwarna merah dan kasur beralas kain berwarna kuning. Pada ranjang kecil itu terdapat kotak kayu yang digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda kerajaan peninggalan Tumanurung.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e Sekretariat Direktorat Jendral Kebudayaan (2012). Album Budaya: Direktori Museum Indonesia (PDF). Jakarta: Sekretariat Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 589. 
  2. ^ a b Muththalib, Abd. "Balla Lompoa Bantaeng, Rumah Adat dengan Arsitektur Bangunan yang Unik". Diakses tanggal 2024-18-12. 
  3. ^ Duli, dkk. (2013). Monumen Islam di Sulawesi Selatan (PDF). Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. hlm. 71. ISBN 978-602-8405-50-8.