Bratamanggala

Revisi sejak 20 Desember 2024 16.25 oleh Ariandi Lie (bicara | kontrib) (Added {{Underlinked}} tag())

Kolonel Bratamanggala (Kobra) adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang memiliki peran penting dalam sejarah bangsa.

Ia dikenal sebagai pahlawan perang kemerdekaan yang berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang, serta sebagai komandan pasukan Teratai yang terlibat dalam pemberontakan PRRI dan DI/TII pada era 1950-an.

Kehidupan awal dan karier militer

Kolonel Bratamanggala lahir pada tahun 1914 di Surakarta, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang memiliki hubungan dekat dengan Keraton Surakarta.

Ia menempuh pendidikan di Sekolah Raja (Kweekschool) dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan (STIP) di Bandung. Pada tahun 1936, ia bergabung dengan Tentara Sukarela Indonesia (PETA) yang dibentuk oleh Jepang untuk melawan Belanda.

Ia menjadi salah satu anggota PETA yang berani melakukan pemberontakan melawan Jepang pada tahun 1945, yang dikenal sebagai Peristiwa Madiun. Ia berhasil lolos dari pengejaran Jepang dan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Ia kemudian menempati berbagai posisi strategis dalam TNI, seperti komandan batalyon, komandan resimen, dan komandan brigade. Ia juga terlibat dalam berbagai operasi militer, seperti Operasi 17 Agustus, Operasi Seroja, Operasi Trikora, dan Operasi Dwikora.

Ia mendapatkan banyak penghargaan dan bintang jasa (9 bintang jasa) atas jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Keterlibatan dalam pemberontakan

Pada tahun 1958, Kolonel Bratamanggala ditunjuk sebagai komandan pasukan Teratai, sebuah unit khusus yang bertugas untuk menghadapi pemberontakan PRRI dan DI/TII yang terjadi di Sumatera dan Sulawesi. Dikenal sebagai Kobra.

Pasukan Teratai merupakan pasukan elit yang terdiri dari anggota-anggota TNI yang memiliki kemampuan khusus, seperti terjun payung, sabotase, dan intelijen. Namun, dalam menjalankan tugasnya, Kolonel Bratamanggala mengalami konflik dengan pihak-pihak tertentu di pemerintah pusat.

Ia merasa bahwa pemberontakan PRRI dan DI/TII tidak bisa diselesaikan dengan cara militer semata, tetapi harus melibatkan dialog politik dan rekonsiliasi nasional. Ia juga merasa bahwa pemberontak-pemberontak tersebut adalah saudara-saudaranya yang juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Oleh karena itu, ia memutuskan untuk melakukan kontak rahasia dengan para pemimpin pemberontakan, seperti Kolonel Ahmad Hussein (PRRI) dan Kahar Muzakkar (DI/TII). Ia berusaha untuk membujuk mereka agar mau menghentikan perlawanan dan kembali ke pangkuan NKRI.

Tindakan Kolonel Bratamanggala ini tentu saja menimbulkan kecurigaan dan kemarahan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan pendekatannya. Ia dituduh sebagai pengkhianat yang membantu musuh negara.

Pada tahun 1960, ia ditangkap oleh aparat keamanan dan disidang oleh pengadilan militer. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan makar dan dihukum mati.

Hukuman mati tersebut kemudian dikonversi menjadi hukuman penjara seumur hidup oleh Presiden Soekarno. Namun, nasib Kolonel Bratamanggala tidak berubah banyak. Ia tetap mendekam di penjara tanpa mendapatkan pengampunan atau rehabilitasi. Ia meninggal dunia pada tahun 1974 di dalam selnya.

Penilaian sejarah

Kolonel Bratamanggala adalah salah satu tokoh sejarah yang memiliki banyak kontroversi. Di satu sisi, ia dihormati sebagai pahlawan perang kemerdekaan yang berani dan berjasa.

Di sisi lain, ia dicap sebagai pengkhianat yang membantu pemberontak dan melawan negara. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Kolonel Bratamanggala adalah seorang idealis yang memiliki visi untuk menciptakan perdamaian dan persatuan nasional.