Anti-Syiah

prasangka, kebencian, diskriminasi atau kekerasan yang ditujukan terhadap Muslim Syiah
Revisi sejak 20 Desember 2024 16.31 oleh Badak Jawa (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Sektarianisme menggunakan HotCat)

Anti-Syiah adalah prasangka buruk atau kebencian terhadap Muslim Syiah karena agama dan warisannya. Istilah ini pertama dicetuskan oleh pengamat hak syiah pada tahun 2011, namun sebenarnya sudah lama sekali digunakan di berbagai penelitian resmi dan artikel ilmiah.[1][2]

Perdebatan seputar siapa yang berhak menggantikan Muhammad berujung pada terbelahnya Islam menjadi dua sekte utama, Sunni dan Syiah. Sunni mengikuti kekhalifahan dan percaya bahwa Muslim manapun yang taat bisa menjadi penerus Nabi apabila disetujui oleh rekan sejawatnya. Kaum Syiah percaya bahwa hanya manusia yang dipilih Allah dan diumumkan Nabi yang bisa menjadi penerusnya, karena itu Imam Ali menjadi pemegang otoritas keagamaan untuk penganut Syiah. Dengan kekuasaan militer yang besar dan memegang kendali atas pemerintahan Umayyah, banyak penguasa Sunni yang menganggap Syiah sebagai ancaman, baik bagi kewenangan politik maupun kewenangan religius mereka.[3]

Penguasa Sunni di kekhalifahan Umayyah berupaya memarginalkan minoritas Syiah, lalu kekhalifahan Abbasiyah mengkhianati sekutu-sekutu Syiahnya dan memenjarakan, menindas, dan membunuh warga Syiah. Penindasan Syiah oleh para koreligionis (umat sealiran) Sunni sepanjang sejarah selalu identik dengan aksi-aksi brutal dan genosidal. Dengan jumlah 10-15% dari seluruh populasi Muslim dunia, sampai saat ini kaum Syiah tidak termarginalkan di sejumlah negara yang didominasi Arab Sunni tanpa diberi hak mempraktikkan agama mereka dan mengadakan perkumpulan.[4]

Masa lampau

Umayyah

Cucu Muhammad, Imam Husain, menolak mengakui legitimasi kekhalifahan Yazid. Tidak lama kemudian, pada tahun 680 M, Yazid mengirimkan ribuan tentara Umayyah untuk mengepung karavan Hussein. Pada Pertempuran Karbala, setelah menghadang serbuan tentara Umayyah selama enam hari, Hussein dan 72 rekannya dibantai, dipenggal, dan kepalanya dikirim balik ke khalifah di Damaskus. Meski kematian Imam Hussein menutup kemungkinan adanya ancaman langsung terhadap kekhalifahan Umayyah, ajaran Syiah justru menjadi lebih mudah diterima masyarakat sebagai bentuk pemberontakan moral terhadap Umayyah dan semua tuntutan mereka.[5]

"Dengan kehidupan yang damai di Alexandria, para filsuf Yunani bisa melanjutkan karya-karya mereka. Kekacauan politik di daerah timur adalah kasus yang baru. Muawiyah menunjuk al-Mughirah ibn-Shuvah sebagai gubernur al-Basrah, dan setelah Mughirah wafat, Yazid menjadi penguasa Arabia, Irak, dan Persia. Ia berkuasa bersama 4.000 agen rahasianya. Tujuan utama dari 4.000 orang tersebut adalah mengungkap orang-orang Syiah dan mengadili mereka yang dalam hal ini berarti hukuman mati. Walaupun Damaskus tampak damai-damai saja, separuh wilayah kekhalifahan di sebelah barat justru penuh pertumpahan darah."[6]

Abbasiyah (750-1258)

Para khalifah Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad memenjarakan dan membunuh Imam-Imam Syiah dan mendorong ulama Sunni untuk menetapkan ortodoksi Sunni dan membatasi pengaruh Syiah. Pada dasawarsa terakhir abad ke-10, terjadi kekerasan anti-Syiah di dalam dan sekitar Baghdad. Kaum Syiah diserang di masjid-masjidnya dan sering dibunuh atau dibakar hidup-hidup ketika hari Asyura. Pada tahun 971 M, pasukan Romawi Timur menyerang kekhalifahan Abbasiyah. Tanggapan pertama para pasukan khalifah dan warga Sunni yang marah adalah menyalahkan kaum Syiah. Rumah-rumah Syiah di Al-Karkh (sekarang berada di Irak) dibakar. Pola kekerasan ini diulang terus-menerus sampai sekarang. Penganut Syiah adalah garis depan frustrasi masyarakat atas kegagalan para penguasa Sunni. Mereka biasanya diperlakukan sebagai musuh dalam negeri dan menjadi pihak pertama yang dicurigai andai ada ancaman terhadap pemerintahan Sunni. Pada pertengahan abad ke-11, sudah lazim bagi oknum-oknum Sunni untuk menjarah kota al-Karkh setiap hari Sabtu. Perilaku anti-Syiah ini diperburuk oleh ajaran Sunni dari mazhab Hambali. Mazhab Hambali menetapkan umat Syiah sebagai penolak kebenaran.[7]

Baghdad

Setelah bangsa Mongol mengepung Baghdad tahun 1258, kekerasan terhadap umat Syiah semakin sering terjadi, sama seperti menyalahkan kaum Syiah atas segala masalah eksternal negerinya.[8]

Kesultanan Seljuk/Utsmaniyah

Menanggapi pertumbuhan Syiah dan meningkatnya pengaruh kaum Safawiyah, Kesultanan Utsmaniyah menjatuhkan hukuman mati untuk penganut Syiah di Anatolia. Ribuan penganut Syiah dibantai di seluruh Kesultanan Utsmaniyah, termasuk kaum Alevi di Turki, Alawi di Suriah, dan umat Syiah di Lebanon.[9]

India

Syiah di India ditindas oleh sejumlah penguasa Sunni dan Kaisar Mughal yang berujung pada gugurnya cendekiawan-cendekiawan Syiah India seperti Qazi Nurullah Shustari (juga dikenal sebagai Shaheed-e-Thaalis, martir ketiga) dan Mirza Muhammad Kamil Dehlavi (juga dikenal sebagai Shaheed-e-Rabay, martir keempat), dua dari lima martir Islam Syiah. Umat Syiah juga mengalami penindasan di Kashmir, India, selama berabad-abad akibat influks Muslim Sunni ke daerah itu yang mengakibatkan pembantaian penganut Syiah. Banyak penganut Syiah yang kemudian mengungsi dari kawasan tersebut.[10]

Umat Syiah di Kashmir pada tahun-tahun berikutnya harus menjalani masa-masa terburuk sepanjang sejarah mereka. Perampasan, penjarahan, da pembunuhan yang disebut Taaraj meluluhlantakkan komunitas Syiah. Sejarah mencatat sedikitnya terjadi 10 Taaraj (Taraj-e-Shia) antara abad ke-15 sampai abad ke-19, yaitu pada tahun 1548, 1585, 1635, 1686, 1719, 1741, 1762, 1801, 1830, dan 1872. Pada waktu itu, kampung-kampung Syiah dijarah, penduduknya dibantai, perpustakaan dibakar, dan tempat-tempat suci mereka dirusak. Selama periode ini berlangsung, penduduk penganut Syiah menjalankan praktik Taqiyah demi melindungi diri dan kehormatan wanitanya.[11]

Desa-desa perlahan menghilang dari peta. Anggota komunitas Syiah di sana pindah mencari perlindungan ke utara atau membaur dengan kepercayaan kaum mayoritas. Penindasan yang dialami penganut Syiah di Kashmir selama berada di bawah kekuasaan asing bukan hal yang baru bagi mereka. Banyak penganut sejati Syiah, seperti Sa’adaat atau keturunan Nabi Muhammad dan pendakwah lain yang memainkan peran penting dalam penyebaran ajaran ini di Kashmir, meninggalkan tanah kelahirannya setelah menghadapi situasi serupa.

Cina

Kebanyakan budak asing di Xinjiang adalah orang Tajik gunung penganut Syiah Ismaili. Mereka disebut Ghalcha oleh umat Muslim Turkik Sunni dan sering diperbudak karena dianggap berbeda dengan penduduk Turkik Sunni.[12] Muslim Syiah dijual seperti budak di Khotan. Muslim di Xinjiang justru melanggar ajaran-ajaran Islam dengan memperjualbelikan budak Muslim.[13]

Masa kini


Arab Saudi

Di Arab Saudi masa kini, para penguasa Salafi membatasi partisipasi politik penganut Syiah di pemerintahan. Elit-elit pemerintahan diuntungkan oleh hubungan mereka dengan pihak penguasa yang sebaliknya mengharapkan agar mereka bisa mengontrol masyarakatnya.[14] Umat Syiah Saudi berjumlah 15% dari 28 juta penduduk Saudi (perkiraan tahun 2012).[15][16] Meski beberapa di antaranya tinggal di Madinah (dikenal dengan sebutan Nakhawila), Makkah, dan bahkan Riyadh, mayoritasnya lebih terpusat di seputaran oasis al-Hasa dan Qatif di Provinsi Timur yang kaya minyak. Selama bertahun-tahun, mereka menghadapi diskriminasi religius dan ekonomi. Mereka sering dicap sesat, pengkhianat, dan non-Muslim. Kaum Syiah dituduh melakukan sabotase, termasuk pengeboman pipa minyak tahun 1988. Sejumlah warga Syiah bahkan sampai dieksekusi. Menanggapi militansi Iran, pemerintah Saudi secara kolektif menghukum komunitas Syiah di Arab Saudi dengan membatasi kebebasan mereka dan memarginalkan mereka secara ekonomi. Ulama Wahabi diizinkan untuk menghalalkan kekerasan terhadap kaum Syiah. Setelah itu, beberapa fatwa disahkan oleh ulama ternama Saudi, Abdul-Aziz ibn Baz, yang menyatakan Syiah sebagai aliran sesat. Adul-Rahman al-Jibrin, anggota Dewan Ulama Tinggi bahkan menghalalkan pembunuhan terhadap kaum Syiah. Seruan ini dicantumkan kembali dalam literatur religius Wahabi pada tahun 2002.[16]

Tidak seperti Irak dan Lebanon yang penduduk Syiahnya makmur, Arab Saudi tidak memiliki elit politik dari kalangan Syiah. Tidak ada menteri kabinet yang menganut Syiah. Mereka tidak diizinkan berdinas di angkatan bersenjata dan jasa keamanan. Tidak ada wali kota atau kepala polisi Syiah. Ada tiga ratus sekolah perempuan Syiah di Provinsi Timur; tak satupun di antaranya dikepalai oleh seorang Syiah.[16]

Pemerintah membatasi nama yang boleh digunakan anak-anak Syiah agar mereka tidak mau menunjukkan identitas mereka. Buku-buku teks Saudi, yang menuai kritik karena anti-Semitismenya, sama antinya terhadap Syiah. Buku-buku tersebut menyebut keyakinan Syiah sebagai bentuk aliran sesat yang lebih parah daripada Kristen dan Yahudi. Guru penganut Wahabi sering memberitahu murid-murid perempuan Syiah bahwa mereka adalah penganut aliran sesat.[17]

Di kota Dammam, distrik yang dipadati penduduk Syiah Asyura ditutup dan tidak ada azan Syiah. Tidak ada pemakaman Syiah untuk hampir seperempat dari 600.000 warga Syiah yang tinggal di sana. Hanya ada satu masjid untuk 150.000 warga Syiah di kota itu. Pemerintah Saudi sering dianggap aktif menindas kaum Syiah karena ideologi Wahabi yang menolak mentah-mentah keyakinan Syiah.[18]

Pada Maret 2011, polisi melepaskan tembakan ke pengunjuk rasa di Qatif. Setelah kerusuhan Syiah bulan Oktober 2011, pemerintah Saudi berjanji meredam keributan apapun di Provinsi Timur dengan "tangan besi."[19]

Apartheid

Arab Saudi sering dituduh melakukan apartheid terhadap warga negaranya yang menganut aliran Syiah.[20] Mohammad Taqi menulis bahwa

Rezim Saudi juga sangat paham bahwa penderitaan kaum Syiah bukan masalah doktrin, melainkan masalah sosio-ekonomi yang diakibatkan oleh penindasan religius dan marginalisasi politik yang berkaitan dengan apartheid.[21]

Bahrain

Lebih dari dua per tiga populasi Bahrain adalah Muslim Syiah. Keluarga Al Khalifa yang saat ini berkuasa dan menganut Islam Sunni tiba di Bahrain dari Qatar pada akhir abad ke-18. Kaum Syiah menuduh bahwa Al Khalifa gagal meraih legitimasi di Bahrain dan membentuk sistem "apartheid politik berbasis diskriminasi rasial, sektarian, dan kesukuan."[22] Vali Nasr, pakar Timur Tengah dan dunia Islam ternama mengatakan, "Bagi kaum Syiah, kekuasaan Sunni terasa seperti hidup di zaman apartheid".[23]

Pemberontakan 2011

Sekitar 1.000 warga Bahrain ditahan sejak pemberontakan terjadi dan kelompok pejuang HAM Bahrain dan internasional telah mendokumentasikan ratusan kasus penyiksaan dan pelecehan terhadap tahanan Syiah.[24] Menurut csmonitor.org, pemerintah sudah bertindak melampaui peredaman kebencian politik dan "tampaknya" berusaha "mempermalukan penduduk mayoritas yang menganut Syiah secara psikologis supaya berpindah aliran secara diam-diam."[24]

Apartheid

Diskriminasi terhadap Muslim Syiah di Bahrain cukup parah dan sistematis sampai-sampai beberapa sumber (Time Magazine,[25] Vali Nasr, Yitzhak Nakash, Counterpunch,[26] Bahrain Centre for Human Rights,[27] dll.) perlu memakai istilah "apartheid" untuk menjelaskannya.

Ameen Izzadeen menulis di Daily Mirror bahwa

setelah pembubaran rezim apartheid di Afrika Selatan, Bahrain menjadi satu-satunya negara ketika kaum minoritas memegang kuasa atas kaum mayoritas. Lebih dari 70 persen penduduk Bahrain adalah Muslim Syiah, tetapi mereka diberi sedikit ruang atau bahkan tidak sama sekali untuk mengkritik pemerintah.[28]

Christian Science Monitor menyebut Bahrain mempraktikkan

sejenis apartheid sektarian dengan tidak membolehkan kaum Syiah memegang jabatan pemerintahan atau berdinas di kepolisian dan militer. Faktanya, pasukan keamanan Bahrain diisi orang-orang Sunni dari Suriah, Pakistan, dan Baluchistan yang dipermudah mendapatkan kewarganegaraan Bahrain. Hal ini sangat mengecewakan penduduk asli Bahrain yang menganut Syiah.[29]

Indonesia

Pada tanggal 29 Desember 2011 di Nangkrenang, Sampang, Madura, sebuah pesantren Islam Syiah, rumah penasihat sekolah dan rumah kepala sekolah dibakar oleh penduduk asal desa setempat dan daerah lain. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia yang didominasi aliran Sunni. Sehari setelah aksi ini, seorang ulama Sunni dari Jakarta mengatakan, "Itu salah mereka. Mereka mendirikan pesantren di daerah Sunni. Selain itu, menjadi penganut Syiah adalah kesalahan besar. Ajaran yang sejati adalah Sunni dan Allah hanya menerima Muslim Sunni. Jika kaum Syiah mau hidup damai, mereka harus bertobat dan pindah aliran."[30][31] Amnesty International mencatat berbagai kasus intimidasi dan kekerasan terhadap kaum minoritas agama di Indonesia oleh kelompok-kelompok Islam radikal dan memaksa pemerintah Indonesia melindungi ratusan warga Syiah yang dipaksa pulang kampung ke Jawa Timur.[32]

Malaysia

Malaysia melarang umat Syiah menyebarkan ajaran mereka.[33]

Pakistan

Pakistan mengalami kenaikan jumlah kekerasan terhadap Muslim Syiah di negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Kekerasan yang terjadi menewaskan ribuan laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Syiah dianut oleh sedikitnya 20% total penduduk Pakistan dan berasal dari berbagai latar etnis. Dokter, pebisnis, dan profesional lain di Karachi sering dijadikan target oleh militan Muslim Sunni. Suku Hazara di Quetta kehilangan 800 anggota sukunya. Kebanyakan di antaranya menjadi korban serangan teroris Lashkar-e-Jhangvi dan Sipah-e-Sahaba Pakistan, organisasi militan Muslim Sunni yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan Taliban. Di kawasan utara Pakistan, seperti Parachinar dan Gilgit-Baltistan, militan Muslim terus menyerang dan membunuh penganut Syiah. Dalam insiden tanggal 16 Agustus 2012, sekitar 25 penumpang Syiah dipaksa keluar dari empat bus di jalan Babusar. Mereka hendak pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarganya. Semuanya langsung dieksekusi oleh para militan muslim Sunni Al-Qaeda. Pada hari yang sama, tiga anggota suku Hazara ditembak mati di Quetta, Pakistan.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Anti-Shi'ism". Shia Rights Watch. Diakses tanggal 11 December 2012. 
  2. ^ Kedourie, Elie (1988). "Anti-Shi'ism in Iraq under the Monarchy". Middle Eastern Studies. 24 (2): 249–253. 
  3. ^ "The Origins of the Sunni/Shia split in Islam". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-26. Diakses tanggal 2013-08-23. 
  4. ^ Nasr,Vali (2006). The Shia Revival: How Conflicts Within Islam Will Shape the Future. W.W. Norton & Company Inc. ISBN 978-0-393-06211-3 p. 52-53
  5. ^ Nasr(2006), p. 41
  6. '^ Edwin P. Hoyt Arab Science: Discoveries and Contributions. Thomas Nelson Inc., Publishers. Nashville, New York 1975. pg 28-29
  7. ^ Nasr(2006), p. 52-54
  8. ^ Nasr(2006), p. 53
  9. ^ Nasr(2006)p. 65-66
  10. ^ "Shias of Kashmir – Socio Political Dilemmas". Kashmir Observer. Diakses tanggal 2010-07-01. 
  11. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-04. Diakses tanggal 2013-08-23. 
  12. ^ Ildikó Bellér-Hann (2007). Situating the Uyghurs between China and Central Asia. Ashgate Publishing, Ltd. hlm. 20. ISBN 0-7546-7041-4. Diakses tanggal 2010-07-30. 
  13. ^ Ildikó Bellér-Hann (2008). Community matters in Xinjiang, 1880-1949: towards a historical anthropology of the Uyghur. BRILL. hlm. 138. ISBN 90-04-16675-0. Diakses tanggal 28 December 2010. 
  14. ^ Nasr(2006) p. 84
  15. ^ Saudi Arabia's Shia press for rights retrieved 19 July 2012
  16. ^ a b c Nasr(2006) p. 236
  17. ^ Nasr(2006)p. 237
  18. ^ Nasr(2006) p. 237
  19. ^ Saudis crush dissent and point finger at Iran for trouble in eastern province, Ian Black, guardian.co.uk, 6 October 2011
  20. ^ Patrick Bascio(2007). Defeating Islamic Terrorism: An Alternative Strategy. Branden Books. p. 60. ISBN 978-0-8283-2152-5. [1]. Retrieved March 6, 2010.
  21. ^ Mohammad Taqi, "Saudi Arabia: the prized domino" March 10, 2011, Daily Times (Pakistan)
  22. ^ Nakash, Yitzhak (2006). Reaching for Power: The Shi'a in the Modern Arab World (PDF). Princeton University Press. hlm. 24. 
  23. ^ Bobby Ghosh (5 March 2007). "Behind the Sunni-Shi'ite Divide". Time magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-11. Diakses tanggal 18 March 2012. 
  24. ^ a b Bahrain campaign to humiliate Shiites goes beyond politics, By Caryle Murphy / csmonitor.com/ June 7, 2011
  25. ^ Aryn Baker [2] "Why A Saudi Intervention into Bahrain Won't End the Protests"< March 14, 2011, Time Magazine.
  26. ^ Franklin Lamb [3] Diarsipkan 2011-06-23 di Wayback Machine. " The Obama Doctrine: AWOL in Bahrain," April 15–17, 2011, CounterPunch.
  27. ^ "A Smearing Campaign against the Shiite Bahraini Citizens with the Participation of the Bahraini Crown Prince and the Ambassador of Bahrain in Washington" Diarsipkan 2011-09-29 di Wayback Machine., Bahrain Centre for Human Rights, viewed Mar 31, 2011
  28. ^ Ameen Izzadeen [24] "Bahrain: the butchery of democracy dream," March 18, 32011, Daily Mirror
  29. ^ Raymond Barrett [25] "Bahrain emerging as flashpoint in Middle East unrest," Feb. 15, 2011, Christian Science Monitor.
  30. ^ "Shia Islamic boarding school attacked in Madura". December 29, 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-08. Diakses tanggal 2013-08-23. 
  31. ^ "Arson of Shiite 'pesantren', illiteracy and local leaders". December 31, 2011. 
  32. ^ "Amnesty Int`l urges RI to protect Shiite minority". January 14, 2012. 
  33. ^ https://archive.today/20120724134615/www.dailytimes.com.pk/default.asp?page=2011%5C03%5C10%5Cstory_10-3-2011_pg4_2