Risywah
Risywah (bahasa Arab: رشوة, translit. Rishwah) adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada tindakan suap atau pemberian sesuatu untuk memperoleh keuntungan tertentu secara tidak sah atau tidak adil. Dalam pandangan syariat Islam, risywah termasuk perbuatan tercela dan dilarang keras karena merusak keadilan, kejujuran, dan integritas masyarakat.
Definisi
Secara bahasa, risywah berasal dari kata Arab “ra-sha-wa” (ر ش و), yang berarti "mengikat" atau "menghubungkan sesuatu untuk mendapatkan manfaat." Dalam istilah syariat, risywah diartikan sebagai pemberian yang diberikan untuk mencapai tujuan tertentu melalui cara yang tidak dibenarkan, seperti memengaruhi keputusan hukum, kebijakan, atau penghakiman.
adapun menurut istilah lain Risywah adalah sesuatu yang diberikan untuk membatalkan kebenaran atau untuk menegakkan atau melakukan kebatilan (kepalsuan; kezhaliman)[Catatan 1]
Dalil Larangan dalam Al-Qur'an dan Hadis
Penyebutan didalam Al-Qur'an
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
— (Surah Al-Baqarah: 188).
Larangan Risywah juga diambil dari celaan Allâh kepada kaum Yahudi yang biasa mengambil suap. Allâh berfirman:
Mereka (orang-orang Yahudi) itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan suht (yang haram).
— [Al-Maidah/5: 42]
Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan mengatakan,[Catatan 2]
“Ibnu Katsir, Abu Ja’far, dan Ulama Bashrah, dan al-Kisa’i, membaca dengan suhut –dengan huruf ha’ yang didhammahkan -, Ulama lainnya membacanya dengan suht –huruf ha’ dibaca sukun-, artinya haram. (Ayat) ini turun tentang para hakim Yahudi, Ka’b al-Asyraf dan semacamnya, mereka menerima suap dan memutuskan hukum untuk memenangan orang yang menyuap mereka”.
Penyebutan dalam Hadis
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Nabi Islam Muhammad bersabda,[Catatan 3]
“Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap”. (HR. Ahmad, no. 6984; Ibnu Majah, no. 2313. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth)
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam melaknat pemberi suap dan penerima suap.
Dari Tsaubân, Ia berkata,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata,[Catatan 6]
“Definisi dosa besar yang terbaik adalah: dosa yang ada had (hukuman tertentu dari agama) di dunia, atau ancaman di akhirat, atau peniadaan iman, atau mendapatkan laknat atau kemurkaan (Allâh) padanya”.
Al-Fayyumi rahimahullah berkata,[Catatan 7]
“Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya, agar hakim itu memenangkannya, atau agar hakim itu mengarahkan hukum sesuai dengan yang diinginkan pemberi risywah”.
Ibnul Atsîr rahimahullah berkata,[Catatan 8]
“Risywah (suap) adalah sesuatu yang menghubungkan kepada keperluan dengan bujukan”.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap dan penerima suap di dalam hukum.
Catatan
- ^ al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219
- ^ Tafsir al-Baghawi, 3/58
- ^ HR. Ahmad, no. 6984; Ibnu Majah, no. 2313. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth
- ^ (HR. Ahmad, no. 6532, 6778, 6830, ; Abu Dawud, no. 3582; Tirmidzi, no. 1337 ; Ibnu Hibban, no. 5077. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh Al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth)
- ^ (HR. Ahmad, no. 22452; Ibnu Abi Syaibah, no. 21965. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Shahîh lighairihi tanpa kata ‘dan perantaranya’, ini sanadnya dha’if
- ^ Taisîr Karîmirrahmân, surat an-Nisa’/4:31
- ^ Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219
- ^ Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219
- ^ (HR. Ahmad, no. 9011, 9019; Abu Dawud, no. 3582; Ibnu Hibban, no. 5076. Hadits ini dinilai shahih oleh syaikh al-Albani; dan dinilai hasan oleh syaikh Syu’aib al-Arnauth)