Masjid Al-Mukarramah Nanga Silat
Masjid Jami al-Mukarramah yang berlokasi di Desa Banua Halat, Tapin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini, memang jauh dari keramaian hiruk-pikuk kota. Berbeda dengan Masjid Sabilal Muhtadin yang berlokasi di jantung kota Banjarmasin. Meskipun demikian, masjid ini telah mengukir sejarah masa lampau yang gemilang, tepatnya ketika perang fisik berlangsung di Pulau Bomeo ini. Bentuk bangunannya mirip kubah sehingga kesan keasliannya pun masih lekat pada masjid ini.
Orang pertama yang membuat sekaligus menjadi pelopor pembangunan masjid ini ialah Haji Mungani Salingnata. Untuk merealisasikan gagasannya itu, ia bersama anaknya berangkat ke sebuah hutan belantara yang jaraknya dari Desa Banua Halat kurang lebih enam kilo meter. Di hutan inilah ia mencari kayu ulin untuk tiang utama (soko- guru) masjidnya.
Menurut cerita, di hutan ini hanya tiga pohon saja yang kayunya dapat dipergunakan untuk tiang masjid. Untuk mencukupinya, Haji Mangani menelusuri hutan yang lain. Maka, pada sekitar tahun 1840 M, yaitu pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Muda Abdurrahman, dimulailah pembangunan masjid ini.
Dengan selesainya pembangunan masjid ini maka secara tidak langsung terpenuhi pula kebutuhan masyarakat untuk memiliki sarana ibadah dan pendidikan guna memperdalam berbagai pengetahuan agama Islam. Selain itu, masjid ini pun menjadi pusat berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Keadaan ini berlangsung terus sampai pada masa timbulnya perlawanan para pejuang Kalimantan Selatan terhadap penjajah Belanda, yang senantiasa berusaha menghapuskan Kerajaan Banjar.
Malah pada saat penduduk mengetahui bahwa pihak Belanda berhasil mengasingkan Pangeran Hidayatullah beserta keluarganya ke Cianjur, Jawa Barat, perlawanan kepada Belanda menyebar sampai ke hulu sungai, yang dilancarkan oleh H.M. Syahid, Bukhari, Antaluddin, Panglima Batur, Temenggung, dan lain-lain. Puncak perlawanan rakyat itu dipimpin oleh Sukuari yang kemudian terkenal sebagai Perang Hartarukung.
Dibakar Belanda
Karena perlawanan rakyat umumnya dipimpin oleh ulama maka dengan sendirinya tempat ibadah umat Islam (masjid) itu dicurigai
Belanda. Termasuk Masjid al-Mukarramah ini. Dengan berbagai tipu daya yang dilancarkan, pada sekitar tahun 1890 M, Masjid al- Mukaramah dibakar Belanda.
Dengan dibakarnya masjid tersebut, keyakinan dan iman pen¬duduk semakin berkobar. Mereka bertekad akan membangun kembali masjid yang telah dibakar itu. Gagasan itu, setelah melalui musyawarah, memperoleh dukungan kepala desa dan tokoh masyarakat, seperti Haji Bukhari dan Haji Mas’ud.
Alhasil, pada tahun 1331 H/1910 M, masjid berukuran 12 x 12 m tersebut berhasil dibangun kembali. Pelaksanaan pembangunan ini dipercayakan kepada tukang kayu Haji Matsaman, dan berhasil diselesaikan pada 28 Rabiul Akhir 1335 H/1914 M.[1]