Masjid Al-Mukarramah Nanga Silat

Masjid di Kalimantan Barat
Revisi sejak 21 Desember 2024 11.55 oleh Brayenday (bicara | kontrib)

Masjid Jami al-Mukarramah yang berlokasi di Desa Banua Halat, Tapin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini, memang jauh dari keramaian hiruk-pikuk kota. Berbeda dengan Masjid Sabilal Muhtadin yang berlokasi di jantung kota Banjarmasin. Meskipun demikian, masjid ini telah mengukir sejarah masa lampau yang gemilang, tepatnya ketika perang fisik berlangsung di Pulau Bomeo ini. Bentuk bangunannya mirip kubah sehingga kesan keasliannya pun masih lekat pada masjid ini.

Orang pertama yang membuat sekaligus menjadi pelopor pembangunan masjid ini ialah Haji Mungani Salingnata. Untuk merealisasikan gagasannya itu, ia bersama anaknya berangkat ke sebuah hutan belantara yang jaraknya dari Desa Banua Halat kurang lebih enam kilo meter. Di hutan inilah ia mencari kayu ulin untuk tiang utama (soko- guru) masjidnya.

Menurut cerita, di hutan ini hanya tiga pohon saja yang kayunya dapat dipergunakan untuk tiang masjid. Untuk mencukupinya, Haji Mangani menelusuri hutan yang lain. Maka, pada sekitar tahun 1840 M, yaitu pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Muda Abdurrahman, dimulailah pembangunan masjid ini.

Dengan selesainya pembangunan masjid ini maka secara tidak langsung terpenuhi pula kebutuhan masyarakat untuk memiliki sarana ibadah dan pendidikan guna memperdalam berbagai pengetahuan agama Islam. Selain itu, masjid ini pun menjadi pusat berbagai kegiatan kemasyarakatan.

Keadaan ini berlangsung terus sampai pada masa timbulnya perlawanan para pejuang Kalimantan Selatan terhadap penjajah Belanda, yang senantiasa berusaha menghapuskan Kerajaan Banjar.

Malah pada saat penduduk mengetahui bahwa pihak Belanda berhasil mengasingkan Pangeran Hidayatullah beserta keluarganya ke Cianjur, Jawa Barat, perlawanan kepada Belanda menyebar sampai ke hulu sungai, yang dilancarkan oleh H.M. Syahid, Bukhari, Antaluddin, Panglima Batur, Temenggung, dan lain-lain. Puncak perlawanan rakyat itu dipimpin oleh Sukuari yang kemudian terkenal sebagai Perang Hartarukung.

Dibakar Belanda

Karena perlawanan rakyat umumnya dipimpin oleh ulama maka dengan sendirinya tempat ibadah umat Islam (masjid) itu dicurigai

Belanda. Termasuk Masjid al-Mukarramah ini. Dengan berbagai tipu daya yang dilancarkan, pada sekitar tahun 1890 M, Masjid al- Mukaramah dibakar Belanda.

Dengan dibakarnya masjid tersebut, keyakinan dan iman pen¬duduk semakin berkobar. Mereka bertekad akan membangun kembali masjid yang telah dibakar itu. Gagasan itu, setelah melalui musyawarah, memperoleh dukungan kepala desa dan tokoh masyarakat, seperti Haji Bukhari dan Haji Mas’ud.

Alhasil, pada tahun 1331 H/1910 M, masjid berukuran 12 x 12 m tersebut berhasil dibangun kembali. Pelaksanaan pembangunan ini dipercayakan kepada tukang kayu Haji Matsaman, dan berhasil diselesaikan pada 28 Rabiul Akhir 1335 H/1914 M.[1]

Arsitektur

Mendeskripsikan geometri arsitektur masjid meliputi geometri area kandang masjid, yaitu atap, dinding, dan lantai. Menurut wawancara dengan Habib Alwi, masjid ini telah  mengalami renovasi sebanyak tiga kali, namun bentuk aslinya tetap tidak berubah. Renovasi tersebut hanya menambah luas masjid sebanyak 4.444 m untuk menampung pertambahan jumlah jamaah dan peziarah. Selain itu, di area masjid juga dilakukan pekerjaan renovasi sebanyak 4.444 unit akibat terdampak tingginya muka air laut. Saat terjadi perampokan tahun, air  masuk ke dalam masjid. Bulan Ramadhan,  Idul Fitri dan Sholat Idul Adha. (2) Puasa Habib pada bulan Ramadhan, peringatan puasa Habib dan  Maulid Nabi  Muhammad SAW, dan (3) Buka Puasa Bersama. Menurut informasi dari Habib Alwi, jumlah  jamaah Tarawei di masjid ini paling banyak terjadi pada awal Ramadhan, saat masjid penuh dan jamaah berkumpul di luar masjid. Komunitas terpadat adalah dengan sekitar 2000 penganut. Jamaah memenuhi mulai dari Masjid hingga aula, trotoar bahkan jalur lambat Jalan Lodan. Sekitar 5.000 orang mengikuti salat Idul Fitri pada tahun yang memenuhi masjid dan jalan, bahkan mencapai jembatan pada tahun.

Hal serupa juga terjadi pada upacara peringatan angkutan ke-Habib. Pengangkutan ketiga Habib tersebut dilakukan dua kali pada tahun, yaitu pada bulan Maulid yang bertepatan dengan peringatan Maulid, dan pada bulan Ramadhan, tepatnya pada tanggal 12 Ramadhan.

Haul Habib yang digelar bersamaan dengan  peringatan Maulid ini dihadiri 5.000 komunitas, seperti  saat Idul Fitri. Sementara itu, sekitar 2.000 hingga 2.500 orang mengikuti 4.444 Sekolah Habib yang diselenggarakan selama Ramadhan. Peninggian lantai dilakukan sehubungan dengan renovasi dan perluasan masjid.

Bentuk masjid  pertama masih dapat dilihat sampai sekarang. Masjid tipe yang  pertama sering disebut dengan “Sembilan Pilar” karena terdapat sembilan pilar  yang menopang atapnya. Masjid ini terletak di nomor, bersebelahan dengan makam Habib. Awalnya, masjid ini memiliki 4.444 sembilan tiang dan atap datar. diperluas ke depan, ditambah musala utama seluas kurang lebih 100 meter persegi dengan atap kubah dan lengkungan di atas pintu Prancis. ini dibuat untuk menciptakan desain berbeda pada Masjid asli agar dapat dikenali melalui perluasannya.

Perluasan juga dilakukan pada bagian  samping dan belakang makam. Sisi makam diperluas untuk memberikan ruang yang  cukup bagi  peziarah dan tempat salat berjamaah wanita. Bagian belakang  dan  luar makam sering disebut sebagai aula atau serambi, namun sebenarnya merupakan sejenis teras masjid, digunakan  sebagai tempat ibadah dan tempat kegiatan masyarakat masu.

Sembilan tiang dan musala utama sudah penuh dan digunakan masyarakat. Aula atau serambi ini berukuran sangat besar, kurang lebih 300 meter persegi.[1]

  1. ^ Ashadi, Anisa, Finta Lissimia, Ashadi, Anisa, Finta Lissimia (17 Oktober 2018). "PERUBAHAN BENTUK ARSITEKTUR MASJID BERSEJARAH ALMUKARROMAH KAMPUNG BANDAN DI JAKARTA". https://repository.umj.ac.id/450/12/Prosiding%202018.pdf.  line feed character di |title= pada posisi 46 (bantuan); Hapus pranala luar di parameter |journal= (bantuan)