Panglima Bukhari

Panglima Kesultanan Banjar
Revisi sejak 22 Desember 2024 10.43 oleh Badak Jawa (bicara | kontrib) (Mengembalikan suntingan oleh 114.79.5.116 (bicara) ke revisi terakhir oleh 114.79.1.140)

Panglima Bukhari (lahir di Hantarukung, Simpur, tahun 1850 – meninggal di Simpur, (sekarang wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia) 19 September 1899 pada umur 49 tahun) adalah seorang Panglima Perang Banjar yang memimpin perlawanan rakyat yang disebut Amuk Hantarukung yang terjadi pada masa Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari.

Situs Amuk Hantarukung (Makam Tumpang Talu).

Ayah Bukhari bernama Manggir dan ibu bernama Bariah kelahiran Kampung Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Bukhari dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk Cahu (Murung Raya, Kalimantan Tengah) mengikuti pamannya Kasim yang menjadi panakawan (ajudan) dari Sultan Muhammad Seman. Sejak itu Sultan Muhammad Seman menjadikan Bukhari sebagai panakawan (ajudan) Sultan, dan Bukhari ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Barito Hulu.

Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai Pemayung Sultan. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut, menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima.

Menyusun Kekuatan Rakyat

Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan adiknya Santar datang ke Kampung Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk Kampung Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya (pangerak = kepala dusun/ketua RW), Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Kampung Hantarukung, juga penduduk Kampung Amparaya dan Kampung Ulin. Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi. Sikap penduduk dan tindakan Pangerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali garis antara Amandit-Negara tersebut, kemudian dilaporkan oleh Pambakal Imat (pambakal = kepala desa) kepada Kiai (gelar kepala distrik), karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pambakal melaporkan kepada Controleur Belanda di kota Kandangan.

Perlawanan Rakyat 18 September 1899

Penguasa Belanda di Kandangan sangat marah mendengar berita itu sehingga pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan pambakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke desa Hantarukung menemui Pangerak Yuya. Pangerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali garis Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan shalawat nabi maju ke arah Controleur dengan senjata tombak, serapang (trisula) dan lain-lainnya.

Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara (kepala Distrik Negara). Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa asal kelahirannya Hantarukung.

Perlawanan Rakyat 19 September 1899

Peristiwa 18 September 1899 dengan terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di kota Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar pukul 13.00 siang hari pasukan Belanda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut dipimpin oleh Syarif Djamdjam Az-Zahrawi Al-Husaini "putera daerah sendiri" (pejabat gelar kiai serta jagoan dari kalangan elite pribumi di Amandit/Kandangan berasal dari homs, suriah, syam, yang masih berada dipihak Belanda sebelum bertaubat), dengan diperkuat oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap mereka menggempur habis-habisan basis para pemberontak (pejuang) di Hantarukung.[1] Penduduk desa Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi, Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil mengucapkan Allahu Akbar berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang, pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin dan Landuk dan Pengerak Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri. Dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur antara lain Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya.


Silsilah Panglima Perang Pasukan Kolonial Hindia - Belanda :[2]

1. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam

2. Fatimah Az-Zahra' dan Ali bin Abu Thalib

3. Husein Asy-Syahid

4. Ali Zainal Abidin

5. Muhammad Al-Baqir

6. Ja'far Ash-Shadiq

7. Ishaq Al-Mu'tamin

8. Husein Al-Madani

9. Muhammad Ash-Shufi

10. Ahmad Al-Hijazi

11. Muhammad Al-Harani

12. Muhammad Al-Halabi

13. Ali

14. Zuhrah Al-Awwal (datu seluruh keluarga az-zahrawi)

15. Ali

16. Hamzah

17. Husein

18. Zuhrah Ats-Tsani

19. Qawam

20. Zuhrah Ats-Tsalits

21. Syamsuddin

22. Musa

23. Khalid

24. Abdullah

25. Muhammad

26. Ahmad

27. Muhammad

28. Alauddin

29. Zuhrah Ar-Rabi

30. Ali

31. Ahmad

32. Ali

33. Badruddin

34. Abdun Nafi

35. Abdul Qadir An-Nafi'i

36. Abdun Nafi An-Naqib

37. Abdul Qadir

38. Syarif Djamdjam Az-Zahrawi Al-Husaini

Sumber : An-Nasabah As-Sayyid Na'im bin Salim Az-Zahrawi Syam Suriah Homs.

Penangkapan Penduduk oleh Belanda

Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung, Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni: Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati di dalam penjara adalah: Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah: Sahitul, H. Sanaddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan Kandangan yang dikenal dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang yang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan Bawah Tandui di Kampung Hantarukung, Kecamatan Simpur.

Rujukan

  1. ^ Firmansyah, Nanda Iqbal; Mulawarman, Aji Dedi (2020-12-09). "Menembah Gusti sebagai Basis Adab Menuntut Ilmu". Oetoesan Hindia: Telaah Pemikiran Kebangsaan. 2 (2). doi:10.34199/oh.2.2.2020.006. ISSN 2716-344X. 
  2. ^ Firmansyah, Nanda Iqbal; Mulawarman, Aji Dedi (2020-12-09). "Menembah Gusti sebagai Basis Adab Menuntut Ilmu". Oetoesan Hindia: Telaah Pemikiran Kebangsaan. 2 (2). doi:10.34199/oh.2.2.2020.006. ISSN 2716-344X.