Panglima Bukhari
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Panglima Bukhari (lahir di Hantarukung, Simpur, tahun 1850 – meninggal di Simpur, (sekarang wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia) 19 September 1899 pada umur 49 tahun) adalah seorang Panglima Perang Banjar yang memimpin perlawanan rakyat yang disebut Amuk Hantarukung yang terjadi pada masa Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari.
Ayah Bukhari bernama Manggir dan ibu bernama Bariah kelahiran Kampung Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Bukhari dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk Cahu (Murung Raya, Kalimantan Tengah) mengikuti pamannya Kasim yang menjadi panakawan (ajudan) dari Sultan Muhammad Seman. Sejak itu Sultan Muhammad Seman menjadikan Bukhari sebagai panakawan (ajudan) Sultan, dan Bukhari ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Barito Hulu.
Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai Pemayung Sultan. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut, menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima.
Menyusun Kekuatan Rakyat
Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan adiknya Santar datang ke Kampung Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk Kampung Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya (pangerak = kepala dusun/ketua RW), Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Kampung Hantarukung, juga penduduk Kampung Amparaya dan Kampung Ulin. Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi. Sikap penduduk dan tindakan Pangerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali garis antara Amandit-Negara tersebut, kemudian dilaporkan oleh Pambakal Imat (pambakal = kepala desa) kepada Kiai (gelar kepala distrik), karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pambakal melaporkan kepada Controleur Belanda di kota Kandangan.
PERTEMPURAN DI GUNUNG MADANG (PERANG BANJAR)
a. Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang Benteng Batu Tongko di bawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b. Di Martapura di bawah pimpinan Pangeran Muda dan kawan-kawan
c. Di Pengaron di bawah pimpinan Syarif Sambas As-Siraji Al-Hasani
d. Di Benua Amandit di bawah Demang Lehman
e. Di Benua Alai di bawah Pangeran Hidayatullah
f. Di Balangan di bawah Tumenggung Abdul Jalil
g. Di Tabalong di bawah Pangeran Antasari.
Sebuah nama yang disebut terlibat dalam Perang Banjar bersama-sama Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman dan H. Buyasin adalah Syarif Sambas As-Siraji Al-Hasani ketika meletus Perang Banjar merupakan salah satu pimpinan penyerangan terhadap benteng Pengaron, dan bergerilya di wilayah Riam Kanan, Riam Kiwa, Martapura dan Rantau.
Pecahnya Perang Banjar di Kalimantan Selatan tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa di Tambai (Serambi) Mekah, yang kemudian menjadi julukan Kota Martapura. Pergerakan nativisme di Tambai Mekah merupakan titik awal perlawanan yang memunculkan tokoh sentral Perang Banjar, yakni Pangeran Antasari. Titik berat tulisan ini adalah kehadiran tokoh-tokoh keturunan “Sayyidina Ali” dalam episode Perang Banjar di Tambai Mekah.`
Sebelum adanya gerakan nativisme, Tambai Mekah bernama Desa Kumbayau. Sebuah desa yang berada dipinggir Sungai Muning. Sungai ini merupakan anak Sungai Nagara di Kalimantan Selatan yang bermuara pada Sungai Barito di Kalimantan Tengah.
Namun ternyata tidak disangka, gerakan ini berakibat besar yang mampu menarik perhatian rakyat Banua Lima, bangsawan Banjar, dan Belanda. Tidak main-main pengaruh gerakan ini mampu menarik simpatik dan dukungan rakyat dan dimanfaatkan oleh Syarif Djamjam Az-Zahrawi Al-Husaini untuk “memukul” pihak Belanda.
Pemimpin gerakan tersebut bernama Syarif Djamdjam Az-Zahrawi Al-Husaini yang dulu pernah berada dipihak belanda setelah itu berbalik arah menyerang belanda.
Kedahsyatan Perang Banjar Barito 1859-1906 di antaranya terlihat dari banyaknya korban tewas, baik di pihak Belanda maupun pejuang dan rakyat Banjar Barito. Para pemimpin pejuang bersama rakyat Banjar Barito saat itu benar-benar militan dan memiliki semangat juang yang tinggi untuk berperang Fi Sabilillah melawan penjajah. Mereka teguh memegang prinsip Haram manyarah lawan Walanda waja sampai ka puting. Salah satu episode Perang Banjar Barito, yaitu tenggelamnya kapal perang Onrust disertai tewasnya sejumlah pemimpin dan anggota pasukan Belanda di Sungai Barito, sangat memukul Pemerintah Belanda sehingga dijadikan sebagai Hari Berkabung Nasional di negerinya. Belanda hampir menyerah dan putus asa sehingga ditempuhlah rekayasa tipu muslihat dan cara-cara licik untuk mengakhiri perang. Banyaknya pejuang kita yang dibuang atau rakyat terpaksa bermigrasi ke luar Kalimantan untuk mencari daerah aman, menunjukkan pula betapa dahsyat dan eskalatifnya Perang Banjar Barito.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam Perang Banjar di Tambai Mekah:
Pangeran Antasari
Syarif Djamdjam Az-Zahrawi Al-Husaini
Aling
Nuramin dan Saranti
Sultan Kuning
Sa'id
Ibrahim
Sadiq
Samman
Thahir
Sulaiman
Pangeran Tjaka Soema
Pembakal Abdul Hamid
Pangeran Kasoema Djaya
Hasan
Muhammad Yusuf
Raden 'Ardi Kasoema
Kamaluddin
Zaini
Maimunah
Nafisah
Desa Kumbayau tempat Aling dan keluarganya bermukim disebut dengan tambai (serambi) Mekah.
Silsilah Panglima Perang Kesultanan Banjar :
1. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam
2. Fatimah Az-Zahra' dan Ali bin Abu Thalib
3. Hasan Al-Mujtaba
4. Zaid Al-Ablaj
5. Hasan Al-Anwar
6. Qasim
7. Abdurrahman Asy-Syajari
8. Ja'far
9. Muhammad
10. Ali
11. Husein
12. Hasan
13. Muhammad
14. Abdullah
15. Muhammad
16. Sirajuddin
17. Abdullah
18. Muhammad
19. Ahmad
20. Muhammad
21. Yahya As-Siraji (datuk seluruh keluarga as-siraji)
22. Ahmad
23. Ali
24. Ahmad
25. Ali
26. Daud
27. Yahya
28. Ahmad
29. Sholeh
30. Ali
31. Hasan
32. Amir
33. Ali
34. Muhammad
35. Amir
36. Ali
37. Husein
38. Syarif Sambas As-Siraji Al-Hasani
Sumber : An-Nasabah Asy-Syarif Ihab bin Ya'qub Al-Kutbi Al-Hasani Makkah Al-Mukarramah.
Perlawanan Rakyat 18 September 1899
Penguasa Belanda di Kandangan sangat marah mendengar berita itu sehingga pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan pambakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke desa Hantarukung menemui Pangerak Yuya. Pangerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali garis Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan shalawat nabi maju ke arah Controleur dengan senjata tombak, serapang (trisula) dan lain-lainnya.
Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara (kepala Distrik Negara). Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa asal kelahirannya Hantarukung.
Perlawanan Rakyat 19 September 1899
Peristiwa 18 September 1899 dengan terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di kota Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar pukul 13.00 siang hari pasukan Belanda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut dipimpin oleh Syarif Djamdjam Az-Zahrawi Al-Husaini "putera daerah sendiri" (pejabat gelar kiai serta jagoan dari kalangan elite pribumi di Amandit/Kandangan berasal dari homs, suriah, syam, yang masih berada dipihak Belanda sebelum bertaubat), dengan diperkuat oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap mereka menggempur habis-habisan basis para pemberontak (pejuang) di Hantarukung.[1] Penduduk desa Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi, Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil mengucapkan Allahu Akbar berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang, pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin dan Landuk dan Pengerak Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri. Dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur antara lain Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya.
Silsilah Panglima Perang Pasukan Kolonial Hindia - Belanda :[2]
1. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam
2. Fatimah Az-Zahra' dan Ali bin Abu Thalib
3. Husein Asy-Syahid
4. Ali Zainal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Ja'far Ash-Shadiq
7. Ishaq Al-Mu'tamin
8. Husein Al-Madani
9. Muhammad Ash-Shufi
10. Ahmad Al-Hijazi
11. Muhammad Al-Harani
12. Muhammad Al-Halabi
13. Ali
14. Zuhrah An-Naqib (datu seluruh keluarga az-zahrawi)
15. Ali
16. Hamzah
17. Husein
18. Zuhrah Ats-Tsani
19. Qawam
20. Zuhrah
21. Syamsuddin
22. Musa
23. Khalid
24. Abdullah
25. Muhammad
26. Ahmad
27. Muhammad
28. Alauddin
29. Zuhrah
30. Ali
31. Ahmad
32. Ali
33. Badruddin
34. Abdun Nafi
35. Abdul Qadir An-Nafi'i
36. Abdun Nafi
37. Abdul Qadir
38. Syarif Djamdjam Az-Zahrawi Al-Husaini
Sumber : An-Nasabah As-Sayyid Na'im bin Salim Az-Zahrawi Syam Suriah Homs.
Penangkapan Penduduk oleh Belanda
Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung, Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni: Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati di dalam penjara adalah: Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah: Sahitul, H. Sanaddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan Kandangan yang dikenal dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang yang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan Bawah Tandui di Kampung Hantarukung, Kecamatan Simpur.
Rujukan
- M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
- ^ Firmansyah, Nanda Iqbal; Mulawarman, Aji Dedi (2020-12-09). "Menembah Gusti sebagai Basis Adab Menuntut Ilmu". Oetoesan Hindia: Telaah Pemikiran Kebangsaan. 2 (2). doi:10.34199/oh.2.2.2020.006. ISSN 2716-344X.
- ^ Firmansyah, Nanda Iqbal; Mulawarman, Aji Dedi (2020-12-09). "Menembah Gusti sebagai Basis Adab Menuntut Ilmu". Oetoesan Hindia: Telaah Pemikiran Kebangsaan. 2 (2). doi:10.34199/oh.2.2.2020.006. ISSN 2716-344X.