Amak Lampis

Revisi sejak 29 Desember 2024 08.13 oleh Dahlbs14 (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Amak Lampis''' atau Tikar lapis dua adalah sebuah tikar khusus dari tanah mandailing, ini menjadi elemen unik dalam adat Suku Mandailing, terutama sebagai alas duduk yang digunakan dalam berbagai upacara adat. Tikar ini memiliki peran penting, terutama untuk tempat duduk para petinggi adat atau raja yang bergelar ''harajaon''. Ciri khas amak lampis terletak pada ketebalan dan ornamennya, yang membedakannya dari alas duduk biasa yang digunakan masyarakat um...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Amak Lampis atau Tikar lapis dua adalah sebuah tikar khusus dari tanah mandailing, ini menjadi elemen unik dalam adat Suku Mandailing, terutama sebagai alas duduk yang digunakan dalam berbagai upacara adat. Tikar ini memiliki peran penting, terutama untuk tempat duduk para petinggi adat atau raja yang bergelar harajaon. Ciri khas amak lampis terletak pada ketebalan dan ornamennya, yang membedakannya dari alas duduk biasa yang digunakan masyarakat umum.[1]

Proses pembuatan

Amak lampis dibuat dari anyaman daun pandan dengan desain dan ornamen yang khas. Proses pembuatannya mencerminkan tradisi masyarakat Mandailing yang kaya akan seni kerajinan tangan. Daerah yang terkenal sebagai penghasil amak lampis adalah perkampungan Malintang Julu, Malintang, Huta Baringin, dan Tangga Bosi di Kabupaten Mandailing Natal.[2]

Salah satu ciri khas amak lampis adalah penggunaan warna-warna tertentu seperti kuning, hijau, merah, hitam, dan biru, yang memiliki filosofi mendalam dalam budaya Mandailing. Selain itu, tikar ini dibuat dengan jumlah lapisan yang ganjil, mulai dari satu hingga tujuh lapisan, sebagai bagian dari aturan adat.

Dari segi ukuran, amak lampis biasanya memiliki panjang 1,5 hingga 2 meter dengan lebar 0,5 hingga 1 meter. Ukuran ini disesuaikan untuk memberikan kenyamanan dan menunjukkan status sosial seseorang dalam acara adat.

Amak lampis tidak hanya berfungsi sebagai alas duduk, tetapi juga sebagai simbol penghormatan dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tikar ini menggambarkan keindahan seni dan makna mendalam dari adat istiadat Mandailing yang hingga kini tetap lestari.[3]

Referensi

  1. ^ Hasibuan, Halomoan Adil (2024-06-12). "Etnomatematika: Eksplorasi Amak Lampisan Mandailing dalam Pembelajaran Matematika". researchgate. 
  2. ^ Batubara, Dahlan (2013-05-26). "RUPIAH DARI MAMBAYU". Mandailing Online. Diakses tanggal 2024-12-29. 
  3. ^ Fachrudin, Chalida (1985). ARTI LAMBANG DAN FUNGSI TATA RIAS PENGANTIN DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI BUDAYA DAERAH SUMATERA UTARA (PDF). Medan: DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAY AAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH 1984 I 1985.  line feed character di |publisher= pada posisi 38 (bantuan)