Pabrik Senjata Barata
Senjata-senjata seperti granat, bom atau senapan juga digunakan oleh rakyat Indonesia untuk melawan penjajah di Tatar Sunda. Senjata-senjata tersebut dibuat sendiri oleh pabrik yang berhasil direbut para pejuang kemerdekaan Indonesia. Atau hasil pampasan perang saat menguasai suatu wilayah.
Salah satunya sebuah pabrik senjata yang telah didirikan di Sukabumi, Jawa Barat bernama "Pabrik Senjata" Braat Sukabumi. Selain granat, maka senjata yang diciptakan adalah bom pipa besi yang terbuat dari potongan pipa besi yang digunakan untuk saluran air.
Pipa besi yang sudah dipotong-potong kemudian diisi dengan berbagai benda tajam yang kemudian diledakkan dengan pemicu. Bom ini harus diledakkan dengan cara melemparkannya dari jarak dekat, maka dari itu tidak hanya musuh saja yang terkena ledakan bom ini, kalau tidak hati-hati tapi juga pelempar bomnya.
Keberhasilan menguasai Pabrik Senjata Barata ini sangat bermanfaat saat Perang Convoy (Convoy Ambush) di Bojongkokosan yang membuat kewalahan tentara sekutu seperti tertuang dalam berita koran tanggal 10 Desember 1945. "RAF flatten Java Township" dan "Convoy Ambush : British casualities, air reprisal a township flattened." pengerahan pesawat Inggris untuk menggempur Cibadak dan Sukabumi dengan bom 500lb.
Untuk menghadapi kekuatan Sekutu yang akan memasuki Sukabumi, dilakukan konsolidasi dengan Badan Perjuangan, Pemerintahan Sipil, Jawatan-Jawatan, Kyai dan Alim Ulama dari kalangan pondok pesantren dan lainnya (Kosasih, wawancara tanggal 27 Agustus 1999). Di bidang senjata, Pabrik Militer Barata di bawah pimpinan Kapten Saleh Norman meningkatkan produktivitasnya, yaitu memperbaiki senjata yang rusak dan membuat granat sebanyak-banyaknya (Iskandar, 1997: 240).
Sejarah PT Barata
Sebelum Indonesia merdeka, di Hindia Belanda telah berdiri beberapa pabrik senjata sebagai Industri strategis milik Belanda yang bertugas memasok kebutuhan senjata mereka. Beberapa di antaranya adalah NV de Broom (1865), NV de Vulcaan (1913), NV de Industrie (1887), NV Braat (1901), dan NV Molenvliet (1920).
Setelah Indonesia merdeka, sebagian besar perusahaan tersebut kemudian dinasionalisasi menjadi perusahaan nasional pada masa Kabinet Djuanda, di antaranya PN Boma, PN Bisma, PN Indra, PN Barata, PN Sabang Merauke, dan PN Peprida.
Pada tahun 1960-an, pemerintah menggalakkan pengembangan industri dan manufaktur. Perusahaan-perusahaan nasional tersebut kemudian berkembang menjadi Boma Bisma Indra (1971), Barata Indonesia (1971), Krakatau Steel (1971), Inti (1974), PAL Indonesia (1980), Pindad (1983), LEN Industri (1992), dan Dahana (1973).
Pada tahun 2005, pihak Departemen Pertahanan mulai merancang untuk membangkitkan kembali kinerja industri strategis nasional. Kemudian, disepakati perubahan sebutan dari industri strategis menjadi industri pertahanan.