Tanja Dezentjé

Revisi sejak 9 Januari 2025 14.53 oleh Underachieved (bicara | kontrib) (memperluas artikel dengan menambahkan detail-detail penting tentang latar belakang keluarga Indo-Eropa Tanja Dezentjé, memperbaiki data biografisnya, dan memperkaya informasi tentang perannya sebagai diplomat untuk Indonesia merdeka, termasuk aktivitasnya di Radio Yogyakarta dan misi-misi diplomatiknya ke berbagai negara.)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Tanja Dezentjé (Tatiana Eleonora Catharina Charlotte Dezentjé, 18 Juli 1916 – 1982)[1] adalah seorang diplomat dan aktivis Indo-Eropa yang berperan penting dalam Revolusi Nasional Indonesia. Setelah mengambil kewarganegaraan Indonesia pada 1946, ia bekerja sebagai penyiar untuk Radio Yogyakarta dan diplomat di bawah Departemen Penerangan Republik Indonesia, memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia di berbagai negara seperti Mesir, India, dan Singapura.[2][3] Pada 2022, ia ditampilkan dalam pameran Revolusi! Indonesia Independent di Rijksmuseum, yang menyoroti perannya sebagai simbol revolusi yang progresif dan emansipatif.[4]

Masa muda

sunting

Tanja lahir pada 18 Juli 1916 di Den Haag. Ayahnya, Henri Charles Dezentjé, seorang pewaris keluarga kaya pemilik perkebunan gula di Hindia Belanda, meninggal karena kanker saat Tanja masih anak-anak. Ibunya, Eleonora Kinzler, seorang emigran Rusia Putih, membawa Tanja pindah ke Argentina untuk tinggal bersama saudara laki-lakinya, John Kinzler. Setelah kematian John, Tanja pindah ke Belgia untuk tinggal bersama neneknya sebelum kembali ke Den Haag. Kehidupan yang berpindah-pindah ini membuat Tanja fasih berbicara dalam berbagai bahasa, termasuk Rusia, Melayu, Prancis, dan Belanda.[2]

Tanja memiliki darah Jawa melalui kakeknya, Charles Edmond Dezentjé, yang menikahi istri keduanya, Rapminten alias Charlotte, yang berasal dari trah Keraton Surakarta. Keluarga Dezentjé juga terkait dengan Ernest Dezentjé, pelukis ternama Mooi Indie yang dihormati oleh Presiden Sukarno.[1]

Pada 1942, Tanja sudah menikah tiga kali. Pernikahan pertamanya terjadi ketika ia berusia 16 tahun dengan seorang pangeran dari Jawa, yang menghasilkan seorang anak laki-laki (nama tidak diketahui). Pernikahan keduanya dengan seorang pria Indo-Cina menghasilkan seorang anak perempuan bernama May Ling. Pernikahan terakhirnya dengan seorang Indo-Eropa bernama William MacGillavry menghasilkan seorang anak perempuan bernama Alexandra.[2]

Saat perang

sunting

Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Tanja Dezentjé dan suaminya, William MacGillavry, ditangkap oleh pihak Jepang atas tuduhan sebagai mata-mata Belanda. Suaminya dieksekusi pada tahun 1944, sementara Tanja dibebaskan. Tuduhan terhadapnya tidak berhenti di situ; setelah perang, Biro Intelijen Belanda NEFIS melabelinya sebagai pengkhianat dan kolaborator Jepang, meskipun klaim ini tidak berdasar.[2]

Pada 1946, Tanja secara resmi mengambil kewarganegaraan Indonesia, langkah yang dianggap kontroversial oleh pihak otoritas kolonial Belanda.[2]

Setelah perang dan kemerdekaan

sunting

Ketika Sukarno mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945, Dezentjé bekerja untuk stasiun radio Suara Indonesia Merdeka di Yogyakarta, yang dia kerjakan dalam bahasa Belanda dan Prancis. Karena dia juga berbicara bahasa Rusia, Italia, Spanyol dan Inggris, dia segera setelah ini juga dikirim sebagai diplomat untuk memohon kemerdekaan Indonesia. Dia adalah bagian dari delegasi Indonesia untuk Konferensi Hubungan Asia pada tahun 1947. Dia menjalani kehidupan yang aktif tetapi tidak bahagia bepergian dan berpidato membela peran perempuan di republik. Pada tahun 1948 ia menikah dengan diplomat India Mohammed Abdul, tetapi pernikahan itu hanya berlangsung beberapa tahun. Ketika Tanya Dezentjé kembali ke republik, banyak hal telah berubah dan beberapa temannya masih berkuasa. Dia memang mendapat dukungan dari teman lamanya Hatta, Roem en Rubiono. Dia meninggal pada usia 66 pada tahun 1982.[2]

Pada masa Revolusi Nasional, Tanja Dezentjé bergabung dengan Radio Yogyakarta sebagai penyiar. Di bawah Departemen Penerangan Republik Indonesia, ia menyiarkan program dalam bahasa Belanda dan Prancis, menyampaikan pesan perjuangan kemerdekaan Indonesia ke audiens internasional.[2][3] Kemampuannya berbicara dalam bahasa Rusia, Inggris, Spanyol, Italia, Prancis, dan Belanda menjadikannya aset penting dalam diplomasi Republik Indonesia.[2]

Pada 1947, Tanja menjadi bagian dari delegasi Indonesia dalam Konferensi Hubungan Asia di New Delhi, di mana ia tampil mengenakan kebaya dan sarung tradisional Jawa, menonjol sebagai simbol emansipasi perempuan Indonesia.[3] Selain itu, ia ditugaskan dalam misi diplomatik ke berbagai negara, termasuk Mesir, India, dan Singapura, untuk mengadvokasi pengakuan kemerdekaan Indonesia.[3]

Pada akhir 1940-an, Tanja menikah dengan diplomat India, Mohammed Abdul Rahman, dan memiliki seorang putri bernama Mumtaz. Namun, pernikahan ini hanya berlangsung singkat. Setelahnya, Tanja kembali ke Indonesia, di mana ia berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan politik di republik yang baru merdeka.[3]

Tanja Dezentjé meninggal pada tahun 1982 dalam usia 66 tahun.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Wirayudha, Randy (2021-12-14). "Kisah Revolusi Kemerdekaan Indonesia dalam Pameran". Historia.id. Diakses tanggal 2024-01-09. 
  2. ^ a b c d e f g h i Michielsen, Dido. "Tanya Dezentjé, een onverschrokken Indische". Financieel Dagblad. Financieel Dagblad. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-03. Diakses tanggal 3 May 2022. 
  3. ^ a b c d e "Tanja Dezentjé". Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 May 2022. Diakses tanggal 3 May 2022. 
  4. ^ Siegal, Nina (10 February 2022). "Looking Back on a Colonial Struggle, a Museum Stirs New Disputes". New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-20. Diakses tanggal 3 May 2022. 

Pranala luar

sunting