Pulau Sawu

pulau di Sabu Raijua, Indonesia
Revisi sejak 4 Desember 2009 04.02 oleh 202.70.58.13 (bicara)
                                                 KEHIDUPAN SABU

Oleh Bernard L. Tanya

Kepulauan Sabu , bersama dengan pulau-pulau lain di sebelah selatan kepulauan Nusa Tenggara Timur, membentuk untaian pulau-pulau busur luar (121o45’ dan 122o4’ BT; 10o27’ dan 10o38’ LS) . Pada sebelah barat dan utara kepulauan Sabu dikelilingi oleh Laut Sabu, sedangkan di sebelah selatan dan timurnya terhampar Samudera Indonesia. Bersama pulau Timor dan Rote, pulau Sabu terposisi dalam rangkaian sabuk tektonik yang tidak stabil yang terurai dari pulau Seram ke pulau Jawa dan Sumatera. Walaupun demikian, rangkaian kepulauan busur luar itu terpisah dari bentangan sabuk gempa yang terurai paralel ke utara. Karena ketiga pulau ini berada di luar rangkaian kepulauan vulkanis inner arc yang aktif, maka mereka terhindar dari ancaman gempa yang serius . Secara umum, sifat tanah di pulau Sabu termasuk dalam kelompok Bobonaro Scaly Clay (tanah liat Bobonaro) yang diselimuti oleh lipatan tanah Viqueque . Bagian utara-timur-barat pulau ini ditutupi oleh lapisan karang, sedangkan pada bagian selatannya lebih menampakkan bentangan tanah liat yang mengandung lapisan lahar tipis, yang oleh Wainwright diperkirakan sebagai lapisan yang terbentuk pada jaman pra-viqueque. Tipografi pulau ini merupakan dataran rendah dengan kemiringan yang mengarah ke bagian utara. Sebagai akibatnya, sungai-sungai besar yang ada mengalir dari selatan ke utara. Puncak (bukit) tertinggi di pulau ini kurang-lebih 350 meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu, tanah di pulau ini hampir seluruhnya diliputi oleh bukit-bukit kapur dan tanah merah yang kurang subur. Begitulah, tanah kritis dan perbukitan yang gundul merupakan pemandangan mata yang sangat mencolok di seantero negeri. Posisi pulau sebagai outer arc, menyebabkan iklimnya begitu terpengaruh oleh hawa panas dari Australia. Oleh Fox, pulau Sumba, Sabu, dan Raijua dihimpun menjadi “tri nusa” dalam komunitas kelompok Sabu , di samping pulau-pulau lainnya yaitu, Ndao, Semau, Rote, dan Timor . Ciri iklim kepulauan tersebut ditandai oleh panjangnya musim kemarau dan rendahnya curah hujan, yang oleh Fox diklasifikasikan ke dalam kategori iklim semi-arid. Khusus tentang Sabu, iklim pulau ini ditandai oleh musim kemarau yang panjang (Maret sampai November), dan angka curah hujan per tahun adalah + 943 mm dengan hanya + 53 hari hujan. Bulan basah di Sabu hanya berlangsung empat bulan yaitu, Desember, Januari, Februari, dan Maret. Menurut F.H. Schmidt dan J.H.A. Ferguson, Sabu termasuk ke dalam skala F (tiga bulan musim hujan dan sembilan bulan musim kemarau) . Pola curah hujan di pulau ini tidak banyak berubah dalam kurun waktu 45 tahun terakhir. Fox mencatat bahwa pada tahun 1953, curah hujan di Sabu sebanyak 491 mm dengan 29 hari hujan, 1954: 601 mm dengan 42 hari hujan, 1970: 379 mm dengan 14 haru hujan, 1982: 326 mm dengan 29 hari hujan, sedangkan pada tahun 1998 ini menurut penuturan penduduk, hanya kurang dari sepuluh hari hujan. Ekologi kering, rupanya telah menjadi ciri alam yang endemik sepanjang sejarah Sabu. Selain yang dideskripsikan oleh Schmidt, Ferguson, dan Fox di atas, kesaksian Wijngaarden (seorang misionaris) yang sempat bertahan di Sabu selama dua tahun pada akhir abad XIX, memberitakan keadaan pulau ini sebagai dataran tanpa pohon. Dalam ungkapan Wijngaarden: “No greenery, no plants, no trees. Savu is like a lump of stone set in the middle of an immense sea”. Iklim dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap flora dan fauna yang hidup dan berkembang di sana. Ternak besar yang dipelihara penduduk adalah kerbau dan kuda, walaupun populasi kedua jenis ternak tersebut akhir-akhir ini sangat menurun, bersamaan dengan menurunnya persediaan bahan makanan alami dari padang rumput.


Rupanya,“takdir” wilayah yang terpencil dan kurang subur, telah menyebabkan isolasi menjadi masalah endemik bagi Sabu, tidak hanya di masa lalu, tetapi juga setelah terkooptasi menjadi bagian dari Indonesia. Di masa lalu seperti dicatat Fox, posisi Sabu yang terosiolasi dengan kemiskinan sumber daya yang dimilikinya, menyebabkan kawasan ini secara ekonomi dan juga secara politis tidak masuk dalam hitungan yang bermakna bagi para penguasa kolonial Belanda. Isolasi itu semakin dalam, justru karena masyarakat Sabu sendiri praktis tidak menunjukkan minatnya untuk bersentuhan dengan Belanda. Dengan begitu, ketidaktertarikan antara keduaya dapat menjadi salah satu penjelasan mendasar mengapa Sabu terjerat dalam situasi isolasi yang hampir bersifat total selama periode penjajahan Belanda sebelum penggalan tengah abad yang lalu. Fox mencatat, hingga akhir abad ke-19 (1890), Sabu merupakan daerah yang paling terisolasi di seluruh kawasan kepulauan busur luar. Dibandingkan dengan Rote, misalnya Sabu masih tetap merupakan daerah yang dikenal secara samar-samar tanpa informasi yang memadai dan akurat, justru karena posisi yang terpencil dan kemiskinan sumber daya alamnya serta ketidaktertarikan pada penguasa kolonial Belanda. Informasi tentang Sabu memang sudah dikenal pemerintah Belanda lewat surat menyurat antara Opperhoold ter Horst dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1648; akan tetapi kesan yang negatif yang tercermin dari surat Horst, diikuti kegagalan untuk memperoleh budak, menyebabkan Sabu terabaikan untuk jangka waktu yang sangat panjang. Perhatian baru mulai diberikan ketika pada tahun 1674, Kerper yang sedang menyusuri kawasan pantai timur Sabu, mati terbunuh bersama seluruh awak kapal dan pegawai Kompeni yang menyertainya oleh penduduk Sabu Timur. Inilah peristiwa yang mengusik Belanda untuk membalas dendam dengan mengirim ekspedisi militernya pada tahun 1685 yang tak sepenuhnya berhasil, kecuali dalam bentuk persetujuan penguasa Sabu Timur untuk membayar ganti rugi dalam bentuk, budak, emas, dan muti salah. Pada tahun 1756, Belanda melakukan perjanjian resmi dengan penguasa Sabu. Padahal persentuhan antara keduanya sudah dimulai lebih dari seabad sebelumnya; bersamaan dengan terjadinya persentuhan Belanda-Rote. Terjadinya perjanjian resmi dengan penguasa Sabu, terutama karena didorong oleh kebutuhan Belanda untuk mendapatkan tenaga guna melayani keperluan militer Belanda yakni untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di kawasan kepulauan sekitarnya. Perjanjian tersebut mengharuskan penguasa Sabu menyediakan 760 tentara (380 untuk penunggang kuda dan 380 lainnya pejalan kaki) dengan distribusi: Mahara 100 penunggang kuda dan 100 tentara pejalan kaki; Liae 60 penunggang kuda dan 60 pejalan kaki, Menia masing-masing 20 untuk penunggang kuda dan pejalan kaki, sementara Seba dan Timu masing-masing 100 penunggang kuda dan pejalan kaki. Prestasi yang dicatat tentara asal Sabu dalam pelbagai perang, terutama dalam perang yang sangat menentukan untuk mengontrol Kupang melawan The Black Portuguese pada tahun 1749  untuk kemudian perang-perang berikutnya termasuk untuk menaklukkan Sumba dan Timor (penaklukan kerajaan Amambar di Timor pada tahun 1822, serta pengalihan penjualan budak asal Sumba oleh orang-orang Ende (Flores)  tampaknya meyakinkan Belanda bahwa Sabu memiliki makna penting sebagai sumber rekrutmen tentara handal. Makna penting Sabu sebagai sumber rekrutmen tentara itu, terungkap dalam masa pemerintahan kolonial Inggris. Laporan yang dibuat oleh J.H. Moore selama periode singkat pemerintahan kolonial Inggris menegaskan: "obtaining men for soldiers ..... is the only advantage derived by the goverment from this island", demikian laporan Moore . Isolasi hampir total, juga terungkap lewat meluasnya wabah cacar pada tahun 1869 yang meminta korban hampir separuh penduduk, ketika Sabu tiba-tiba membuka diri pada dunia luar, yang ditandai oleh diterimanya sistem pendidikan dan agama Kristen. Lima tahun kemudian (1874), yang kemudian berulang lagi di tahun 1878, wabah cacar dan kolera menyerang pulau ini dengan memakan korban kurang lebih 12.300 jiwa. Bencana beruntun ini, tetap melekat di benak kebanyakan warga hingga kini sebagai akibat dari kuatnya budaya tutur. Bencana ini, memberi kesan yang cukup mengejutkan: membuka diri pada hal yang asing, mesti dibayar sangat mahal. Akibatnya, dalam perkembangan selanjutnya terjadi resistensi yang sangat tinggi di kalangan masyarakat dalam menerima hal-hal yang berasal dari luar. Meluasnya wabah antrax yang menyerang ternak, terutama kuda dan kerbau pada tahun 1955, 1960-an, dan awal tahun 70-an, bersamaan dengan pengenalan nilai-nilai baru, membuat semakin kuatnya resistensi bahkan mewajah menjadi kultur. Akibatnya, ide-ide modernisasi, yang coba diintrodusir ketika orde baru mulai mencanangkan pembangunan, sulit diterima. Karenanya logis bila penelitian Radja Pono tahun 1989 masih tetap menemukan pola tanam sangat tradisional di kalangan petani  sesuatu yang analog dengan penelitian penulis di awal tahun 1990-an, di mana lembaga hukum pidana relatif tak bermakna dalam menyelesaikan sengketa di antara para warga. Tersisihnya Sabu dari arus perubahan terus berlangsung, paling tidak hingga tahun 1980-an. Hingga tahun 1970-an, wajah pembangunan hanya tampak sangat samar-samar. Menurut data yang kami peroleh, kendaraan roda empat misalnya, baru mulai dikenal pada penggalan tengah tahun 1980-an. Di era sebelumnya, kendaraan roda dua hanya empat buah, satu milik pedagang keturunan Arab, satu milik Camat Sabu Barat, dan dua lainnya milik Kapolsek dan Danramil. Perkembangan akhir-akhir ini mengindikasikan terjadinya perkembangan cukup berarti. Sebagai contoh, hingga tahun 1997, total jalan aspal di Sabu Barat + 20 km, terdapat 26 kendaraan roda empat, 185 sepeda motor, dan 1.919 sepeda. Sementara untuk Sabu Timur terdapat 9 buah kendaraan roda empat, 74 sepeda motor, dan 158 buah sepeda. Sedangkan listrik yang hanya berfungsi antara pukul 18.00 - 24.00 dan terbatas pada ibu kota kecamatan, baru diperkenalkan pada awal tahun 1990-an. Pada era ini pula pembangunan prasarana fisik lainnya, seperti: perbaikan jembatan, pembuatan dam dan cekdam, serta embung-embung  pembangunan sarana ekonomi (pasar, khusus di Kecamatan Sabu Barat), sarana kesehatan, introduksi sistem perbankan, sarana pendidikan tingkat SLTA (2 buah). Bahkan sistem telekomunikasi modern, telepon dan SSB juga sudah diperkenalkan. Televisi dan radio yang masih merupakan barang langka pada akhir tahun 1980-an, kini cukup banyak dijumpai, sekali pun persebarannya secara geografis dan sosial sangat jauh dari merata.


2.2.2. Adaptasi Primer Dan Ekonomi Subsistensi Ekologi Sabu yang kering dan gersang dengan tingkat curah hujan yang sangat minim itu, telah melahirkan sistem ekonomi yang khas, yakni ekonomi berporos lontar. Semua bagian dari pohon lontar dapat dimanfaatkan bagi kepentingan penduduk. Batang, daun, dan pelepah daun digunakan sebagai bahan bangunan rumah. Jenis palm inipun tidak pernah gagal, bahkan peak production-nya terjadi pada musim paling kering yaitu, sekitar bulan September dan Oktober tiap tahun. Keunggulan lontar ini, membuat orang Sabu mengasosiasikan kata “makan” dengan nira dan gula Sabu. Makan bagi orang Sabu adalah nira dan gula, sehingga secara semantik, associative ideas ini muncul dalam ungkapan yang lazim, mai na nginu ei (= mari minum air) sebagai sapaan untuk mempersilahkan makan pada seseorang. Lontar telah menjadi bagian hidup dan sekaligus identitas permanen masyarakat ini, dan bahkan terus melekat dalam komunitas Sabu yang berada di luar Sabu dan Raijua sekalipun. Fox melukiskan sentralitas posisi lontar dalam masyarakat Sabu dan Rote demikian, “The lontar supplies more than a source of subsistence for these islands. The lontar, and to a lesser extent the gewang provide in a bewildering number of ways the neccessities of daily life” . Lebih jauh dikatakan oleh Fox bahwa, “...they fed, equipped, attired, buried, and remembered after they decease by the products of these palms” . Karena pola konsumsi orang Sabu bertumpu pada lontar, maka bersama dengan orang Rote, Fox menyebutnya sebagai drinking society atau non-eating society. Mereka, begitu ungkap Fox, seperti juga yang ditemukan di lapangan, adalah masyarakat yang lebih banyak minum daripada makan. Konsumsi keseharian kebanyakan orang Sabu, pada pagi dan malam hari mereka hanya konsumsi nira lontar, sementara pada siang hari mengkonsumsikan gula nira (yang dalam istilah setempat dikenal sebagai gula Sabu) atau bubur jagung. Karenanya, ungkapan khas tentang pulau Sabu yang dipakai oleh sesama orang Sabu, adalah Rai due nga donahu, “negeri nira dan gula” — dua hasil utama lontar. Lahir dan berkembangnya masyarakat “minum” ini sulit dipastikan awal dan latarbelakangnya. Tapi tampaknya ini merupakan respons terhadap keterbatasan sumberdaya bagi konsumsi. Temuan Aditjondro memperlihatkan, bahwa lontar merupakan keluarga tumbuh-tumbuhan yang pertama dibudayakan manusia, bahkan jauh sebelum sistem pertanian dikenal. Jenis tumbuhan ini tersebar di berbagai belahan dunia dan merupakan sumber ekonomi terpenting bagi masyarakat kelas rendah. Sejauh menyangkut Rote dan Sabu, tesis Aditjondro itu bersesuaian dengan naskah Max Havelaar, karya Multatuli tentang Pemerintahan Hindia Belanda abad ke-19. Dikisahkan, Batavus Drystubble, seorang pedagang kopi dari Amsterdam yang sangat praktis dan samasekali tidak suka berkhayal, mendapat setumpuk naskah yang aneh-aneh. Naskah-naskah itu berasal dari seorang yang bernama Scarfman yang menyatakan dirinya sebagai seorang penyair dan penulis yang telah banyak bekerja dan berpengalaman. Di antara kumpulan naskah tersebut, terdapat sebuah naskah yang menarik perhatian Drystubble, yakni mengenai penduduk pulau Rote, sebuah pulau dekat pulau Timor yang “tidak makan”. Demikianlah Fox membuka bagian pendahuluan dari bukunya yang telah beberapa kali disebutkan dalam bagian terdahulu. Bagi seorang yang mempunyai pengalaman lapangan mengenai kebiasaan suku bangsa di pojok selatan Indonesia Timur, realitas tersebut ada hubungan dengan kenyataan bahwa orang Rote dan orang Sabu, lebih banyak minum daripada makan. Realitas khusus dan menarik ini, ditanggapi Drystubble secara sinis. Kedua suku tersebut, demikian Drystubble, seharusnya memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih besar dari cara hidupnya yang tidak lazim itu. Menurut kata-kata Drystubble sendiri, “kehidupan pasti lebih murah di sana”. Apa yang terjadi di dua pulau dalam gugusan busur luar itu, tidak kurang dari cara hidup yang dikembangkan sebagai respons terhadap keterbatasan sumber daya bagi konsumsi. Itulah sebabnya, aneka penelitian yang dielaborasi Fox menunjukkan bahwa lontar senantiasa diasosiasikan sebagai konsumsi kelas masyarakat miskin. “The borassus in the poor man’s palm”, demikian Fox. Menurut catatan Fox, di seantero dunia ini, lontar memang merupakan sumber kehidupan dari masyarakat miskin. Di India misalnya, lontar disadap oleh kasta rendah, sementara di negara-negara lain oleh warga yang tidak bertanah.

Dengan demikian, ekonomi lontar, terlepas dari lingkup geografis, sistem ekonomi, sistem politik dan sebagainya, adalah ekonomi masyarakat miskin, bukan siasat untuk menghindari masalah-masalah pangan yang mahal dan sulit seperti ditafsirkan Drystubble itu. Menurut Fox, walaupun kedua pulau tersebut telah mengalami penjajahan Portugis dan kemudian Belanda sejak kira-kira tahun 1560, namun keduanya masih sangat terpencil dan terbelakang. Tidak banyak hasil dari pulau-pulau ini yang dapat dimanfaatkan oleh penjajah, sehingga tidak pernah mengalami campur tangan yang besar seperti daerah-daerah  Indonesia lainnya.

Usaha berporos lontar di kalangan orang Sabu, dilakukan bersama-sama dengan usaha tani ladang-kebun. Kegiatan sadap nira dilakukan sepanjang musim kemarau, tetapi puncak kegiatan ini terutama berlangsung di bulan-bulan Agustus, September, dan Oktober. Pada musim ini pula kegiatan masak gula (dari lontar-gula Sabu) berlangsung. Sedangkan pada musim hujan, penduduk sibuk atau giat mengusahakan ladang-kebun dan sawah tadah hujan. Pertanian pada musim hujan dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis kegiatan. Usaha kebun yang disebut doka, ialah jenis usaha pada bidang tanah yang dipagari dan ditanami tanaman jagung dan kacang hijau. Oleh karena pada bidang tanah itu dilindungi pagar seperti dilakukan penduduk bila mereka membuat pagar kandang hewannya, maka jenis usaha ini diberi nama doka. Doka boleh ditanami tanaman terlebih dahulu dari masa tanam menurut ketentuan adat, oleh karena itu perlu dipagari agar tidak dirusak oleh hewan yang dipelihara secara lepas, khususnya sebelum masa tanam utama tiba, yaitu musim hujan. Usaha kegiatan tani yang disebut ma, yaitu usaha tani pada bidang tanah yang tidak dipagari yang merupakan usaha tani utama di musim hujan. Bidang tanah ma tidak perlu dipagari, oleh karena sesuai dengan ketentuan adat pada musim tanam, hewan penduduk tidak lagi dibiarkan lepas secara bebas, tetapi dikandangkan atau digembalakan. Ma terutama ditanami sorgum, labu, dan lain-lain makanan utama penduduk. Di latar belakang dari usaha penduduk untuk mempertahankan hidupnya lewat usaha tani sebagaimana tersebut di atas, terdapat atau dijumpai sifat-sifat atau sistem pengorganisasian sosial di kalangan warga komuniti. Ketergantungan pada tanah, musim, dan iklim dengan tingkat teknologi dan persebarannya yang masih sederhana, yaitu masih lebih banyak menyandarkan tenaga manusia dan hewan (teknologi alat bernyawa), menyebabkan petani Sabu mengerahkan kemampuannya untuk menguasai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi pertaniannya melalui jalan-jalan yang istimewa, yaitu cenderung mencari jawaban pada dimensi gaib. Sistem pengerahan tenaga kerja yang masih menyandarkan pada pemanfaatan alat bernyawa, menciptakan mekanisme sosial berupa kebiasaan tolong-menolong antara warga, kepatuhan kepada pimpinan adat yang disebut Mone Ama sebagai pengantar penghormatan terhadap alam serta para leluhur. Konsekuensi keterikatan pada tanah sebagai sumber utama dalam penghidupannya dengan sistem penggolongan antara pemilik dan penggarap yang berlaku luas di Sabu, telah memperkuat institusi pehau hada (= saling memangku rasa/adat) sebagai suatu upaya untuk menyenangi si pemilik oleh penggarap, demikian pula sebaliknya. Di kalangan penduduk terdapat pembagian kerja menurut garis pemisah seks, yang dibagi dalam dua masa menurut pembagian musim. Pada musim kemarau kegiatan utama dari penduduk ialah: Lelaki

• Membersihkan batang dan pucuk lontar • menyiapkan segala peralatan sadapnya • mengiris mayang lontar setiap hari untuk mendapatkan nira • mengangkut nira ke rumah. Perempuan

• Mendistribusikan nira untuk konsumsi harian anggota keluarga • membuat periuk masak gula • menggali tungku masak nira • memasak nira menjadi gula • memelihara babi (memberi makan dan minum nira dan gula).


Usaha ladang-kebun di musim hujan, pembagian kegiatannya ialah sebagai berikut:


Lelaki

• Membalik kembali tanah ladang kebun • membuat atau memperbaiki pagar kebun • membuat alat-alat tajam bagi keperluan di ladang (seperti pisau, parang, pacul, dan lain-lain) • meracang sawah • membuat dan memperbaiki kandang ternak. Perempuan

• Memelihara ternak-ternak • menganyam tikar, cerana, dan pelbagai macam wadah pangan (nyiru, bakul, dan sebagainya) • menanami ladang atau kebun • memindahkan anakan padi dari pesemaian dan menanamnya.

Melalui daftar kegiatan tersebut di atas, tampaklah bahwa kehidupan orang Sabu masih bertumpu pada budi daya pertanian sederhana dengan teknologi yang sederhana pula. Itulah sebabnya, pendapatan dan penghasilan mereka merupakan suatu tingkatan pendapatan untuk dan bertujuan bagi bersubsistensi. Begitulah, potensi alam, iklim, serta tenaga untuk mengolah, apabila potensi-potensi tersebut dihitung sebagai unsur pembatas (constraint), kekurangan atau hambatan pada salah satu, apalagi pada ketiga hal tersebut, akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan orang Sabu. Dalam kondisi dan pemahaman akan kendala seperti inilah kita dapat mengerti mengapa di kalangan mereka, seluruh kegiatan usaha tani sepanjang musim, selalu dijalankan dengan pelbagai upacara. Fenomena keutamaan adaptasi mereka pada budi daya pertanian itu, tampak pula pada pandangan mereka perihal hubungan anthropomorfis antara manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dengan para leluhur yang “melahirkan”-nya ke bumi. Di samping manusia, hewan, dan tumbuhan; benda-benda dan gejala angkasa seperti angin, awan, petir, hujan, bintang, bulan, dan matahari, juga merupakan keturunan dari para leluhur. Dengan klasifikasi seperti ini, maka dalam persepsi orang Sabu, antara semua unsur itu terikat dalam satu kerabat secara geneologis.


Peraturan adat termasuk upacara-upacara yang dilakukan di Sabu sekarang, konon berasal dari ketetapan uku yang dibuat oleh tokoh Kika dan Maja. Seperti dicatat Radja Pono, tentang asal-usul berbagai tanaman, baik berupa makanan maupun yang bermanfaat untuk kebutuhan lainnya, merujuk pada mitos berikut: Seorang tokoh mitos A Wonga Bo, mempunyai tiga orang anak laki-laki. Pada suatu ketika dua orang di antaranya memaksa A Wonga untuk mengadakan bahan makanan suplai dari hutan sudah habis. A Wonga merelakan dirinya untuk dibunuh agar bagian tubuhnya dapat berubah jadi makanan. A Wonga meminta agar ia dibunuh di sebuah padang (sekarang bernama Kolo Rai A), dan sepemeninggalnya tiga hari, mereka harus datang menengok. Pada waktu mereka datang seperti yang dijanjikan, mereka menemukan bermacam-macam bahan makanan yang menjelma dari jaroan bapak mereka sendiri, seperti: sorgum, kacang hijau, dan turis. Lemak di bawah perut berubah menjadi kapas, sedangkan rambutnya berubah menjadi benang. Di sekitar tempat itu, terjadi pula mujizat lain, yaitu munculnya lima buah danau besar yang terdiri dari: danau nira manis (=due ati), danau nira biasa (=due bangi), danau air mangkudu (=kabbo), danau nila(=dao), dan sebuah danau yang berisi air beracun. Kedua jenis nira dijadikan bahan makanan, sedangkan mangkudu dan nila dibutuhkan bagi pewarna tenunan. Konon pula, di permukaan danau nira manis terdapat beberapa benda aneh yang mengapung. Benda-benda ini diambil oleh Kika dan Maja untuk kemudian diletakkan di daratan. Benda-benda itulah yang menjadi bibit lontar dan kelapa yang menjelma dari biji mata A Wonga.

Tokoh Wonga Bo yang merupakan ayah A Wonga, dalam mitologi Sabu dipercayai sebagai leluhur berbagai jenis binatang. Berbeda dengan A Wonga yang menjadi leluhur tumbuhan, saudara-saudara yang lain menjadi leluhur sekalian jenis hewan. Para Wonga adalah leluhur kuda, Walu Wonga leluhur kerbau, Hida Wonga dan Rou Wonga menjadi leluhur babi dan ayam. Ngara banni jenis hewan mengacu pada mitos sebagai berikut: Sesudah di Kolo Rai A terdapat danau due ati, maka seorang anak perempuan Wonga Bo secara sembunyi-sembunyi meminum nira manis sampai kenyang. Karena ia menyangkal telah meminum nira tersebut ketika ditanya ayahnya, ia dikutuk menjadi kerbau. Melihat gejala “manusia kerbau” tersebut dengan begitu mudah memperoleh nira dari danau, maka Kika dan Maja menggeser danau itu ke laut. Oleh karena itu, untuk mengambil nira dari tengah laut, orang harus berjuang melawan keganasan laut. Dengan demikian sampai sekarang, tempayan penadah nira disebut kowa la --simbol perahu Maja, dan huru mengngi sebagai nama banni kebiha (=alat pelindung haik penampung nira).

Dalam hal pembagian musim dan penyadapan lontar, orang Sabu merujuk ke mitos berikut ini: Kika dan Maja mengambil bibit lontar yang berasal dari biji mata A Wonga dan meletakkannya di atas tanah (dengan sedikit injakan untuk membenamkannya). Setelah itu, Maja pergi untuk berdiam di “kerajaan” laut. Pada waktu lontar yang ditanam berbuah, Kika pergi ke laut mencari Maja untuk memberitahukan hal itu. Kika dan Maja kembali sambil membawa sejenis jepitan (ngapi) yang hingga kini dipakai untuk menjepit mayang lontar. Oleh karena itu, Maja menjadi penanam sekaligus penyadap lontar pertama di Sabu. Dalam melakukan ngapi, ia selalu bernyanyi: Maja Pai Ruba, Ruba Dara Dena, Mahi Lolo Titi, Titi Tao Miha, Mahi Mada Dena, Dena Duna Ya . Kika dan Maja menyadap lontar pagi dan sore. Pada suatu pagi, Kika dan Maja menjadi sangat curiga karena nira sadapan mereka sangat sedikit dan jauh berbeda dari biasanya. Kecurigaan ini membuat mereka berjaga-jaga pada malam hari di lokasi rumpun lontar garapan. Menjelang pagi terdengar suara keras menderu, dan muncul seorang tua berjanggut sangat panjang dan putih turun dari langit (bintang) ke atas pohon lontar. Pengamatan Kika dan Maja menunjukan bahwa orang tua itu menjulurkan janggutnya dari pohon ke pohon dan menghirup nira. Setelah itu ia terbang dengan suara menderu menuju ke langit.

Besok malamnya Kika dan Maja berjaga-jaga lagi dengan memanjat dan bersembunyi di salah satu pohon lontar. Orang tua itu datang dan mengulangi perbuatannya seperti kemarin. Pada saat janggut sampai di pohon tempat mereka berjaga-jaga, Kika dan Maja segera menangkap janggut itu dan mengikat erat-erat ke pohon lontar, sambil berkata: Kamulah pencuri yang telah menghabiskan nira sadapan mereka, hari in engkau harus dibunuh. Si janggut putih itu berkata: Saya adalah kakek penguasa Penguasa Bintang (=Appu Moto). Bila saya dibunuh, lontar kamu tidak akan bernira. Lakukanlah perintah saya ini agar lontarmu menghasilkan nira yang berlimpah, yaitu: Hendaklah kamu menggali tungku untuk musim kemarau (=rao wadu) untuk memasak nira musim kemarau menjadi gula (Rao wadu terdiri dari dua bagian yaitu, rao elo dan rao hogo). Rao elo dipakai sebagai tungku perebus untuk menampung nira sampai cukup untuk dimasak jadi gula merah di rao hogo. Siapkan dua ekor ayam persembahan (=manu pehami). Seekor ayam betina hitam khusus untuk Appu Moto, dan seekor ayam jantan merah bagi para penjaga pohon lontar, agar para penyadap terhindar dari malapetaka. Hendaklah kamu meletakkan persembahan itu di ketiak  daun lontar yang mengarah ke utara untuk menangkal angin utara sehingga tidak mengurangi nira. Jepitlah sepotong paha ayam dengan ngapi dan letakkan pada pucuk lontar (janur lontar). Saya berjanji akan memakan sesajen itu dan tidak akan mengganggu nira sadapanmu. Setelah berjanji demikian, barulah Kika dan Maja melepaskan Appu Moto pergi. Pagi harinya Kika dan Maja menggali tungku masak gula dan menyiapkan ayam persembahan. Setelah melakukan kewajiban tersebut, akhirnya mereka menikmati apa yang dijanjikan Appu Moto. Nira berlimpah selama beberapa bulan dan mereka kewalahan memasaknya siang dan malam. Oleh karena itu, mereka menutup tungku pemasak karena kekurangan kayu bakar dan memakai tungku perebus saja. Sesudah menutup tungku pemasak, hujan berhenti dan tidak turun lagi selama tiga setengah tahun. Untuk mengetahui kesalahan apa yang diperbuat, Kika dan Maja melakukan upacara “bertanya” kepada setan (=kerai wango). Jawaban yang diperoleh ialah, hujan tidak turun karena tungku pemanas tidak ditutup. Penutupan tungku pemasak dan tungku pemanas merupakan tanda berakhirnya musim kemarau. Bila tungku tetap dipakai untuk memasak nira, berarti masih musim kemarau dan oleh karena itu, tidak turun hujan. Penutupan rao elo segera dilakukan dengan upacara penutupan tungku (=dabo rao), dimana seekor domba jantan dipersembahkan. Pada malamnya, mereka melihat rao elo dan rao hogo telah tampak sebagai bintang di langit selatan (gugusan bintang di titik selatan yang nampaknya menyerupai bentuk tungku Sabu).

Munculnya bintang Rao bersamaan dengan saat akhir bulan Koo Ma, bulan keenam musim kemarau atau pada awal bulan Naiki (bulan pertama musim hujan), kira-kira bulan November-Desember. Bintang ini merupakan petunjuk bagi orang Sabu, bahwa kegiatan masak gula harus dihentikan karena hujan segera akan turun, dan petani harus beralih pada kegiatan musim hujan. Berpedoman pada petunjuk alam tersebut, Kika dan Maja membuat pemisahan musim secara tegas di Sabu, menjadi musim kemarau dari bulan Aa sampai dengan Koo Ma (=Mei-Juni hingga Oktober-November). Sedangkan musim hujan, dari bulan Naiki sampai dengan Banga Liwu (=November-Desember hingga April-Mei). Penanggalan kelender takwim Sabu mempunyai dua belas bulan dalam setahun. Banyaknya hari dalam sebulan ditentukan oleh lamanya siklus bulan di langit. Siklus ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: bulan timbul dihitung mulai dari umur bulan satu hari sampai dengan umur bulan lima belas hari (purnama). Bagian ini disebut Peluha. Sedangkan bulan mati, satu hari sampai dengan bulan mati lima belas hari, yang oleh orang Sabu disebut Pehape.

Bila diringkas, maka sistem tahun takwim Sabu dibangun atas dasar dua asas. Pertama, perhitungan hari berdasarkan peredaran bulan di langit dan pengamatan para pemuka adat terhadap tanda-tanda di langit seperti, angin, awam, hujan, dan bintang. Kedua, kelender Sabu secara sistematis mengatur urut-urutan upacara pertanian. Misalnya, bulan Aa sebagai bulan pertama dalam musim kemarau, berhubungan dengan keluarnya mayang lontar untuk tahap pertama. Aa berarti kakak, mayang lontar yang tumbuh paling awal diklasifikasikan sebagai kakak. Sedangkan mayang lontar yang tumbuh pada bulan berikutnya, disebut Ari (=adik). Dengan begitu, bulan tumbuh mayang tahapan kedua itu disebut bulan adik. Bulan Naiki adalah bulan pertama dalam musim hujan. Bulan ini dinamakan bulan kecil, karena jatuh pada waktu kecilnya kacang hijau dan sorgum yang dipercayai sebagai tumbuhan domestik asli. Dengan pengklasifikasian “dunia” seperti itu, di kalangan orang Sabu telah menguat konsep “Yang memiliki” dan “Yang dimiliki”. Dalam bidang pertanian, suatu spesies tumbuh-tumbuhan dilihat sebagai penjelmaan dari bagian tubuh seorang leluhur, oleh karena itu spesies tersebut ada “yang memilikinya”. Karena gejala-gejala alam atau angkasa sangat berpengaruh terhadap usaha tani mereka, maka melalui upacara tertentu leluhur yang “memiliki”-nya perlu dimintai bantuan agar semuanya berjalan secara teratur demi terwujudnya kesuburan. Selain upacara yang berhubungan kegiatan pertanian, terdapat pula upacara menyangkut atau sepanjang tahap-tahap hidup manusi sebagaimana suatu siklus. Mulai dari kelahiran, perkawinan, kematian, bahkan pengantaran arwah dan masih banyak lagi jenis yang lain, semuanya mengungkapkan permohonan kepada “yang memiliki” bagi “kesuburan”-”yang manis”. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka nyatalah bahwa, faktor-faktor yang turut menentukan adaptasi dari warga komuniti adalah budi daya pertanian yang sederhana, tingkat teknologi yang masih tradisional, serta mengandalkan tenaga kerja dalam jumlah relatif banyak. Konsekuensi logis dari kondisi adaptasi seperti ini, selain melahirkan atau menumbuhkan sikap yang cenderung berdimensi gaib, juga menguatnya mekanisme sosial tolong-menolong antara warga dan kepatuhan pada pimpinan adat yang sangat kokoh.

2.2.3. Dunia Kehidupan Orang Sabu Dalam bagian ini, kita akan mengamati secara agak cermat dan mendalam perihal kerangka dunia kehidupan dari komunitas yang menjadi sasaran studi. Kita akan mengumpulkan dan mensistematisasi data-data mengenai tiga hal. Pertama, “Acuan Makna” yang merupakan kumpulan pengetahuan sebagai acuan interpretasi individu maupun sosial dalam mencapai pemahaman tentang sesuatu. Acuan inilah yang menjamin kontinuitas tradisi dan koherensi pengetahuan praktis sehari-hari. Kedua, “Pola hubungan antarwarga” sebagai tatanan-tatanan yang sah dan sekaligus menjadi wadah interaksi bermakna, sehingga menjamin solidaritas para anggotanya. Dengan kata lain, bentuk integrasi sosial ini tidak kurang dari proses pemeliharaan hubungan-hubungan antarpribadi dan kolektif untuk menjamin kestabilan kelompok. Ketiga, “Keluarga” sebagai wadah sosialisasi dini seorang individu dan menghubungkannya dengan masyarakat demi mencapai kompetensi-kompetensi umum tindakan seorang individu dengan bentuk kehidupan kelompok. Melalui sosialisasi keluarga, seorang individu dipersiapkan untuk berbicara dan bertindak dalam konteks kelompok, dan dengan cara itu, ia menegaskan jati dirinya. Sejak semula, kita harus menyadari bahwa gambaran menyeluruh dari dunia kehidupan orang Sabu sebagai yang utuh, tentu saja lebih rumit daripada yang dapat dijelaskan melalui tiga kategori tersebut di atas. Sebab, keadaan objektif Sabu tidaklah benar-benar homogen satu adanya. Ia memiliki keragaman menyangkut segi kehidupan sosial dan keagamaan. Di luar orang Sabu, terdapat pula orang-orang bukan keturunan Sabu, yang pada umumnya adalah kaum ambtenaren. Tentang kehidupan beragama, kecuali agama Budha, maka semua agama yang sah di Indonesia ada di sana. Tentu saja harus ditambahkan di sini, yaitu kepercayaan asli orang Sabu yang disebut Jingitiu. Kalau demikian halnya, maka generalisasi harus kita lakukan, supaya analisis yang sistematis dapat kita kerjakan. Ini tidak berarti bahwa kita menutup diri terhadap kemungkinan adanya kekecualian bahkan penyimpangan. Oleh karena itu, generalisasi yang kita buat harus dipandang seperti dikatakan Weber, “tipe ideal” , artinya, ia tidak selalu persis begitu dalam realitas. Tugas penulis sekarang adalah, bagaimana di atas kenyataan keragaman itu, toh kita dapat berbicara tentang tipe atau kategori yang bersifat umum, sehingga kita dapat menangkap masyarakat adat di Sabu sebagai kesatuan. Dengan perkataan lain, kita harus mengadakan klasifikasi terhadap data-data yang beraneka itu secara sistematis sedemikian rupa, meletakkannya di bawah beberapa kategori yang bersifat umum, sehingga baik “kesatuannya” maupun kepelbagaiannya secara adil dan seimbang dapat kita perlihatkan. Oleh karena menurut jalur sosio-kultur saya anggap paling bermanfaat dalam membahas permasalahan studi ini, maka penulis memilih tiga aspek tersebut di atas sebagai cara untuk menjelaskan latar belakang budaya masyarakat yang diteliti. Ketiga aspek yang terpilih itu, tidak terlepas dari generalisasi. Kekecualian-kekecualian tidak terlalu ditonjolkan, oleh karena kita berbicara tentang Sabu sebagai satu kesatuan. Di dalam proses pembahasanlah, kita akan kemukakan di sana-sini tentang kekecualian dan atau penyimpangan itu. Namun di sini, kekecualian dibahas sebagai kekecualian, dan bukan sebagai kenyataan yang bersifat umum. Begitulah, penulis tidak berpretensi bahwa dengan pemahaman tentang tiga hal itu, kita dapat menggambarkan dan memahami seluruhnya dan selengkap-lengkapnya tentang Sabu. Yang ingin dikatakan, bahwa melalui pemahaman kita tentang tiga hal tersebut, kita akan memperoleh semacam gambaran atau pemahaman yang agak memadai mengenai Sabu sebagai kesatuan secara umum.

2.2.3.1. Acuan Makna Orang Sabu Nilai yang dimengerti sebagai “penilaian yang bersifat reflektif tentang apa yang berharga dan apa yang penting dalam hidup, dan apa yang tidak, serta yang membentuk suatu kehidupan yang baik dan yang bermakna”, adalah sesuatu yang tak terpisahkan dengan religi. Religi di sini dipahami sebagai “sesuatu” yang memberikan kepada seseorang “makna” hidup yang paling tinggi, dan yang menentukan pola dasar bagi seluruh kehidupan serta menentukan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri serta kehidupannya. Oleh karena itu, berbicara mengenai nilai-nilai orang Sabu, bermakna, pertama-tama membicarakan sistem religi mereka. Dan cara yang terbaik untuk menjelaskan sebuah sistem religi, adalah dengan menjabarkannya menurut, seperti dikatakan Steeman, “artikulasi kognitif, ekspresif serta praktis dari pengalaman religi, artinya kita harus menjelaskannya melalui mitos yang dipercayai, ritus yang dirayakannya, dan etika yang ditaatinya”. “Melalui mitos religious-nya, seseorang mengenal dirinya sendiri dan tempatnya di dalam alam semesta; melalui ritus-ritusnya, ia melaksanakan atau merayakan pemahaman diri tersebut melalui tingkah-laku ekspresifnya, sekaligus memperbaharui tekadnya untuk mewujudnyatakan di dalam hidupnya pemahaman yang esensial mengenai siapa dia sebenarnya; sedangkan etika religious merumuskan cara hidup yang harus dijalani untuk menyesuaikannya dengan hakikat manusiawi yang dipahaminya itu”.

Dengan mempergunakan prosedur analisis emik (budaya) kita ingin memahami dan menjelaskan logika dari tingkah-laku serta tindak-tanduk sosial dari suatu kelompok tertentu, dengan mengasumsikan bahwa di balik setiap tindakan (individu maupun sosial), senantiasa ada suatu “sistem makna” yang melatarbelakanginya. “Sistem makna”, yang dalam tulisan ini lebih sering disebut sebagai nilai-nilai, ialah yang pada gilirannya membentuk etos kelompok atau masyarakat yang bersangkutan. Dengan memusatkan pengamatan kita pada nilai-nilai maka dapat dikatakan bahwa, yang akan kita kerjakan adalah melakukan etika yang deskriptif atau analisis. Artinya, berusaha untuk menjabarkan dan menganalisis secara sistematis apa yang menuntun suatu tindakan atau penilaian di dalam suatu kelompok tertentu. Dalam bagian-bagian berikut ini, kita akan membahas beberapa unsur dasar yang berhubungan dengan mitos, ritus, dan etika; yang sama-sama dipegangi. Unsur-unsur ini kita anggap sebagai “teras” dari nilai-nilai orang Sabu, yang menjadi dasar bagi fenomena-fenomena dasar dari kehidupan sosio-kulturnya. Ada tiga unsur yang akan dibahas. Yaitu, perkerabatan dengan para leluhur yang merupakan teras dari mitologi Sabu, pemengeru rai (menghijaukan negeri) yang adalah jantung dari kehidupan ritualnya, serta konsep keselarasan, totalitas, keseimbangan dan paternalistik yang menjiwai etika orang Sabu.

a. Mitos Perkerabatan dengan Leluhur Bagian ini amat berutang kepada karya Niko Kana dan tesis J. Radja Pono, yang saya pandang sebagai literatur yang cukup memadai dalam bahasa Indonesia tentang Sabu. Yang akan dikemukakan di sini, hanyalah apa yang dianggap perlu dalam konteks pembahasan tema di atas. Sebab penjelasan yang lebih rinci tentu dapat ditimba dari membaca bukunya Kana ataupun tesisnya Radja Pono itu sendiri. Bila mitos, seperti dikatakan oleh O’ Dea, dimengerti bukan sebagai sekedar penjelasan, melainkan sebagai representasi dari “kenyataan” di balik semua kenyataan, maka perkerabatan dengan para leluhur dapat kita katakan tentang “kenyataan” di balik semua kenyataan, mengenai diri mereka di tengah-tengah alam semesta ini. Bagi orang Sabu, perkerabatan dengan para leluhur, tidak pernah sekedar merupakan cerita, ia tidak kurang adalah sebuah “kenyataan” di mana seluruh tata kosmos dan kosmis dan oleh karena itu kehidupan itu sendiri yang diingat dan selalu direnungkan serta dirayakan. Menurut mitologi Sabu, para leluhur “melahirkan” manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan di bumi, di samping awan, petir, hujan, bulan, dan matahari. Pemure, (= menghidupkan) itulah kata budaya yang menjelaskan tentang terjadinya segala sesuatu. Segala sesuatu itu ada dan timbul oleh karena dilahirkan dan atau dihidupkan kemudian berkembang. Tak ubahnya tanaman, bermula dari biji yang ditanam, akan tumbuh akarnya yaitu bagian yang di bawah, yaitu amo, dilanjutkan dengan tumbuhnya pucuk dan yang lainnya yang ada di atas. Deo Ama (Dewa Bapa) merupakan kepue (= pangkal), dan karena merupakan pangkal, maka ia berada pa dai (di bawah dan tidak tampak). Dengan demikian hubungan antara pangkal dan pucuk serta semua yang ada di atas (= pa dida) oleh orang Sabu dipandang sebagai hubungan geneologis. Akibatnya, dalam urutan geneologis itulah, pengertian dan pandangan mereka tentang asal mula bagaimana perkerabatan dengan para leluhur direkam dan direnungkan. Dalam mitos tentang asal-usul jenis tumbuhan, hewan, dan predator misalnya, hubungan geneologis ini secara jelas dipresentasikan. Untuk sekedar contoh, di bawah ini penulis akan mengutip mitos tentang asal-usul hewan dan predator. Menurut mitos yang dipercaya orang Sabu, hewan yang ada sekarang berasal dari bagian tubuh tokoh mitos Mone Rou (=sang lelaki berbulu). Konon tokoh mitos ini setelah meninggal, bagian-bagian tubuhnya menjelma menjadi beberapa jenis hewan . Tiga hari setelah Mone Rou meninggal, Ti dan Bune datang ke Ei Lobo Na Wonga sesuai perjanjian dengan Mone Rou. Di tempat itu mereka tidak menemukannya, kecuali tulang-tulang berserakan dan beberapa jenis hewan. Hewan-hewan itu ternyata penjelmaan dari jeroan Mone Rou. Mereka menangkap seekor burung elang dan menanyakan jumlah anaknya. Anak elang hanya dua ekor saja. Mereka menangkap lagi seekor burung tekukur dan menanyakan jumlah anaknya. Ternyata burung tekukur hanya mempunyai dua anak juga. Lalu mereka melepaskan dua jenis burung tersebut untuk hidup liar. Rupanya Ti dan Bune berpikir juga, bahwa tidak efisien memelihara unggas yang beranak sedikit. Ketika ayam mendapat giliran untuk ditanyai, dengan diplomasi ekosistem ayam menjawab bahwa perkembang-biakannya sangat tergantung musim. Bila musim baik, anak ayam bisa mencapai sepuluh ekor. Jawaban ayam ini didengar oleh elang. Sang elang sinis terhadap kemampuan ayam untuk memelihara anaknya bila terlalu banyak. Oleh karena itu, elang akan mengambil separuh bila ayam lengah menjaga anaknya. Keseimbangan terjadi karena spesies ayam dikontrol elang dan spesies elang tidak punah karena beranak sedikit. Spesies binatang lain yang sekarang ada di Sabu, juga ada di tempat itu, namun tidak ada dialog Ti dan Bune dengan mereka. Ti dan Bune kembali ke rumah mereka di Lie Merabba dengan membawa ayam dan babi untuk diternakan. Bapak mereka, Mone Ie meminta anak babi itu untuk diternakannya, sedangkan ayam dapat dipelihara sendiri oleh Ti dan Bune. Keduanya tidak menyetujui permintaan sang bapak, sehingga terjadi pertengkaran antara mereka. Mone Ie menggunakan kekuasaannya sebagai bapak dan berkata: “Kamu adalah anak-anak saya, karena itu, kamu dan semua milikmu berada dalam kekuasaan saya”. Ti dan Bune menyerah di bawah kekuasaan paternalistik ini, sehingga menyerahkan babi tersebut kepada bapaknya dengan terpaksa dan bersungut. Lalu Ti dan Bune memanjat sebatang pohon tibu (sejenis tanaman perdu) yang tumbuh dekat tempat mereka “berdialog”. Mereka memetik buah tibu (kecil seperti biji jagung) dan melempar bapaknya sambil berkata: “Lutut bapak terkena rematik, semoga babinya jelek (=do apa). Babi do apa adalah ungkapan untuk menunjuk pada babi yang tidak dapat berkembang-biak dan karena itu merugikan tuannya. Tanda-tanda babi do apa ialah makan kotorannya sendiri, dan muntah di tempat makannya sendiri. Jika satu ekor babi dalam satu persalinan melahirkan beberapa ekor anak yang semuanya betina, maka anak babi yang dilahirkan itu juga disebut do apa. Ada dua alternatif yang dapat dipilih supaya pemiliknya tidak rugi. Pertama, semua anak babi tersebut dibunuh. Kedua, semua anak babi itu diadopsi oleh pemilik dengan upacara Hapo untuk menjadi anaknya, karena konon sebelumnya babi adalah anak-cucu dari Hida Wonga anak Wonga Bo tokoh leluhur binatang. Kutukan rematik dalam mitos itu, dipercayai banyak orang tua hingga sekarang sebagai sakit persendian, dan hanya dapat disembuhkan dengan kulit pohon tibu. Sedangkan melalui babi do apa, melahirkan tradisi upacara hapo sebagai upaya “memperbaiki”nya.

Sedangkan tentang asal-usul predator, orang Sabu merujuk pada mitos Be Lodo yang turun dari langit dengan membawa sejumlah “pembantu” ke bumi. Tiap “pembantu” yang dibawa Be mempunyai tugas tertentu. Lalat adalah kepala urusan api. Ia harus menghasilkan api melalui kegiatan pengeboran api (=pudu ai) karena api harus dibor dengan menggesek kayu dengan kayu. Fungsi lalat ini, diasosiasikan dengan bunyi sayap lalat yang mirip dengan bunyi bor. Tudu Lae (=capung) bertugas sebagai wanita penimba air. Beban tugas mitologis ini, diemban capung karena perilaku hidupnya di sekitar sungai atau mata air sambil terbang seperti menimba air. Capung sendiri adalah carnivora pemangsa serangga. Kebalo adalah sejenis serangga terbang pemangsa ulat. Sarangnya dibuat dari tanah yang bentuknya seperti periuk tanah liat tradisional Sabu, oleh karena itu, spesies ini mendapat tugas mitologi sebagai pembuat periuk. Dalam sarang itu, Kebalo menempatkan telurnya di atas ulat yang telah dilumpuhkan dengan bisanya sebagai persediaan pakan larva Kebalo. Sedangkan Lagura (=kadal) dan sejenis ular Ligumanu mendapat tugas sebagai pengumpul kayu bakar. Kedua jenis binatang ini adalah pemakan serangga yang ada di semak-semak dan tumpukan kayu. Sedangkan Modakka sejenis belalang cendatu dibawa oleh Be sebagai penyisir rambut. Modakka mempunyai dua kaki depan yang biasanya dipakai untuk menggapai mangsa.

Sekalian serangga dan binatang di atas dibawa oleh Be Lodo sebagai pembantu dalam menjalankan fungsi-fungsi rumah tangga yang berhubungan dengan produksi dan pemberantasan hama. Kearifan budaya dalam mitos ini, mengaitkan sejumlah predator alamiah dalam ikatan patron-klien dengan manusia lewat tokoh Be Lodo. Karena ikatan inilah, maka manusia dapat meminta pertolongan mereka lewat “saudara”-nya. Hubungan predator ini dengan seorang tokoh mitos juga merupakan isarat konservasi terhadap spesies itu demi menjaga keseimbangan ekosistem. Demikian pula, tokoh mitos Be Lodo membawa suatu paket utuh dari rangkaian siklus produksi: bibit, tanam, berantas hama, dan masak untuk konsumsi. Orang Sabu menempatkan arti yang lebih penting tentang hubungan geneologis tokoh pangkal, sebagai yang dapat diandalkan (tempat manusia menumpahkan harapannya) yang tak terpisahkan dari gejala dan sifat alam. Karena tokoh pangkal itu dipahami melalui sifatnya yang dapat diandalkan, maka gejala-gejala dan sifat-sifat alam dilihat sebagai konsekuensi dari kiprah kekuatan-kekuatan supranatural yang adalah leluhur semuanya itu. Dalam bidang pertanian misalnya, hewan dan tumbuh-tumbuhan mempunyai hubungan anthropomorfis dengan leluhur yang menurunkannya ke bumi. Suatu pesies hewan atau tanaman merupakan penjelmaan dari bagian tubuh seorang leluhur. Awan, hujan, dan angin sebagai gejala angkasa adalah keturunan dari para leluhur juga. Oleh karena gejala-gejala ini mempengaruhi usaha tani, maka leluhur yang memilikinya perlu dimintai bantuan melalui upacara tertentu. Paham totalitas, oleh karena itu merupakan makna dunianya. Hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan kekuatan gaib merupakan “kenyataan” di dalam segala aspek kehidupannya. Hubungan itu, tidak saja terpatri dalam sistem pengetahuan mereka, tetapi juga terpelihara dalam perilaku sehari-hari lewat upacara-upacara yang dilakukan. Inti dari upacara-upacara itu adalah memelihara hubungan baik dengan para leluhur seperti orang memelihara patron-client di bumi. Hubungan baik ini dapat dipelihara melalui upacara, mengundang para leluhur untuk menumbuhkan, memelihara, atau menyuburkan semua yang ada di bumi bagi kesejahteraan orang Sabu. Sementara upacara jenis lain adalah pengucapan syukur atas “bantuan” yang telah diberikan. Dalam visi orang Sabu, keberhasilan panen dan ternak diakibatkan oleh karena terjadinya adegan cinta ilahi. Victor Tanya (alm), seorang teolog asal Sabu dalam refleksinya atas buku James J. Fox yang berjudul “At the Union of Sun and Moon” yang diterjemahkan oleh Victor sebagai “Di kala Surya dan Rembulan Memadu Cinta”, menggambarkan dengan begitu jelas tentang visi orang Sabu di atas. Ia menjelaskan sebagai berikut: “....... seluruh keaktipan religious budaya orang Sabu mencapai puncaknya pada hari-hari dalam sebulan, di kala bulan berpadu dengan mentari. Ini terjadi biasanya pada bulan purnama penuh. Pada waktu itu di siang hari, orang Sabu mengadu ayam. Ayam yang kalah dibagi-bagikan kepada penonton, dan sebahagian dagingnya dipersembahkan kepada dewa-dewi. Di malam hari di kala bulan purnama, pada saat-saat yang istimewa itu, orang Sabu terlibat dalam satu tarian yang bernama pedoa. Tari ini dilakukan oleh pria dan wanita yang saling merangkul punggung dalam bentuk lingkaran....... Kesemua upacara ini tidak lain adalah pengungkapan rasa syukur orang Sabu atas hasil panen dan ternak yang diakibatkan oleh adanya perpaduan cinta atau perkawinan antara dewa surya dengan dewi rembulan.” Dalam bagian lain tulisannya itu, Victor menjelaskan lebih lanjut bahwa penghargaan terhadap hidup sebagai perpaduan cinta tersebut di atas, telah mewarnai kegiatan orang Sabu dari waktu ke waktu, diisi dengan upacara dan perayaan yang menggembirakan. Visi yang demikian, telah menciptakan suatu etos yang tersendiri dalam kehidupan orang Sabu, yakni terbenam dalam ayunan perpaduan cinta antara sang surya dan sang rembulan. Orang Sabu menghargai hidup, dengan sendirinya memelihara cinta dan perayaan, sebagai syarat agar kesinambungan adegan ilahi itu dapat terlaksana terus-menerus. Itulah sebabnya, tidak mengherankan kalau kehidupan orang Sabu beredar dari upacara yang satu ke upacara yang lain. Upacara adalah dari semua dan untuk semua, tidak ada seorang pun yang tertinggal dan tersisih dari adegan yang dirayakan dan disyukuri itu. Upacara melambangkan kehidupan ini yang terlibat secara total di dalam ayunan cinta yang terus-menerus yang berakhir pada titik yang manis yaitu “kesuburan”. Bagi orang Sabu, hidup tidak selamanya akan subur. Kesuburan akan terjadi bila cinta dan syukuran tetap dirayakan. Puncak kehidupan adalah ketika adegan cinta ilahi itu berlangsung. Dan adegan itu diperoleh atau terjadi melalui perayaan dan syukuran. Mone Ama, sebagai yang paling setia dan taat melakukan syukuran dan perayaan, adalah sesepuh. Dan oleh karena itu mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya untuk didengar dan ditaati. Dalam seluruh upacara, manusia, ternak dan tumbuh-tumbuhan menjadi tema sentral demi perkembangbiakan dan kesuburan mereka. Semuanya menjadi komunitas. Ia melambangkan totalitas alam semesta yang berada di dalam kedamaian dan keserasian. Itulah kehidupan: Kesuburan, kedamaian dan keserasian selalu “diganggu” oleh yang “panas”, tetapi tidak abadi, yang “panas” akan berakhir di kala yang “manis” itu datang; yaitu melalui upacara. Tokoh utama dalam upacara, tentu saja adalah Mone Ama. Orang Sabu percaya, bahwa Mone Ama memiliki kelebihan spiritual yang istimewa untuk dapat memimpin upacara dengan baik. Pertama, ia tentu harus seorang “Bapa”, oleh karena upacara dilakukan oleh semua anak rai. Hanya dengan jabatan (yang dipandang berkarisma), ia dapat mengkoordinir anak rai untuk melaksanakan upacara. Ia melakukan “pemanisan” kepada anak rai yang bersalah. Ia mengucapkan semua mengao (= jampi-jampi), dan oleh karena itu, mesti memahami li pana (= bahasa keramat) dan nama dewa-dewi. Mone Ama harus mengerjakan sendiri pemilihan, pemotongan, dan peletakan persembahan kepada dewa-dewi. Ia harus setia pada uku yang baku dan hal-hal lain yang menjadi ciri khas mereka. Walaupun Mone Ama merupakan tokoh sentral di dalam upacara, tetapi tidak berhenti di situ. Ketergantungan itu tidak hanya bersifat sepihak atau satu arah saja. Anak-anak rai tergantung kepada Mone Ama, ya, namun begitu juga sebaliknya. Hewan persembahan, sebagian besar adalah dari anak rai. Persembahan anak rai itu mutlak, bukan saja sebagai sumber hewan persembahan, tetapi juga karena upacara itu adalah untuk mereka. Di samping itu, persembahan anak rai memiliki arti religious sebagai kelengkapan demi kesempurnaan perayaan. Jadi, bukan saja keduanya saling tergantung satu sama lain. Keduanya, pada akhirnya, juga tergantung pada satu hal: yaitu ketentuan uku yang baku itu. Tak satupun dari mereka dapat mengubahnya. Baik Mone Ama maupun anak rai, mereka saling melengkapi, menjaga hubungan baik, saling merasa sebagai senasib, membentuk satu kesatuan: yang satu menjadi sasaran kasih dari yang lain. Toh perayaan tidak cuma terdiri dari Mone Ama, anak rai, dan persembahan. Selalu ada syarat lain yang tak kalah pentingnya, yaitu: Rae (= kampung). Perayaan harus dilakukan dalam rae. Rae tidak hanya tempat perayaan, tetapi merupakan kesatuan komunitas dari manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Perayaan yang dilakukan sesungguhnya adalah untuk mereka. Untuk kesuburan mereka. Mereka adalah tema-tema di dalam perayaan. Setiap mereka terayun dalam ayunan cinta kasih. Penafsiran secara nalar, amat memperjelas apa yang tertera di atas. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi ini adalah perwujudan lahiriah dari tokoh-tokoh ilahi (yang berkerabat). Kesemuanya itu, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, merupakan ekobiofisis dari kehidupan nyata orang Sabu. Hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak dilandasi mitos dan dirayakan lewat ritus. Menyangkut mitos sebagai pusat kepercayaan atau orientasi nilai, orang Sabu memiliki mitos-mitos tentang berbagai hal. Pertama, mitos menyangkut pembagian wilayah yang mereka diami, yaitu Habba, Mehara, Liae, dan Dimu. Keempat wilayah adat itu secara berturut-turut digunakan orang Sabu sebagai petunjuk senioritas wilayah dalam upacara adat. Habba sebagai yang kakak, diberi nama habba heo (=habba sembilan), Mehara, Liae, dan Dimu, sebagai yang adik masing-masing diberi angka aru (=delapan), pidu (=tujuh), anna (=enam). Mone Ama (=Dewan yang Bapak=dewan immamat religi Jingitiu) dari wilayah lain baru akan memulai suatu upacara ataupun kegiatan tanam dan panen, setelah di Habba sebagai yang kakak memulainya. Tradisi yang masih dipegang teguh hingga sekarang tersebut, merujuk pada mitos Mone Rou sebagai berikut: Seorang tokoh bernama Ma Aba Mone Ie yang hidup pada zaman sebelum manusia tahu membuat rumah dan memasak makanan. Ia tinggal bersama keluarganya di Lie Merabba, sebuah Gua Karang di tepi laut Kebila, sekarang termasuk Desa Ledeana, Kecamatan Sabu Barat. Ia mempunyai tiga orang anak laki-laki bernama Abu, Ti, dan Bune. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan menangkap ikan. Tinggal di gua dan mendapat makanan dari hutan dalam zaman primitif ini. melahirkan ungkapan dalam bahasa Sabu yang hingga kini masih digunakan, yakni: Lie ta huri, jami ta kaho (= gua tempat berlindung, hutan tempat menggantungkan harapan). Kelebihan hasil tangkapannya dijemur di atas karang sekitar kediamannya. Menurut pengamatan Ti dan Bune, jemuran ikan mereka selalu hilang. Hal ini dilaporkan kepada bapaknya. Lalu Mone Ie menyuruh Ti dan Bune untuk mengintip pencuri tersebut. Pada suatu hari datanglah pencuri itu, yaitu Mone Rou. Mone Rou artinya laki-laki berbulu. Ia juga berdiam di Gua Karang sekitar Lie Merabba. Temuan kedua anak itu dilaporkan kepada bapak mereka. Mone Ie membuat dua bilah tombak dari logam dan memerintahkan Ti dan Bune untuk membunuh si pencuri bila ia datang lagi. Pada waktu Mone Rou datang lagi, Ti dan Bune menikamnya dengan tombak, lalu melompat ke punggungnya sambil berpegangan pada tombak yang tertancap di punggung Mone Rou. Mone Rou berlari melintasi padang Meragga menuju ke arah barat (sekarang Rai Mehara). Di suatu tempat Mone Rou dihentikan untuk dipasangi kekang di hubu-nya (hubu= hidung) untuk mengendalikannya. Tempat itu hingga sekarang dikenal sebagai hubu. Sesudah itu Mone Rou berlari lagi menuju ke arah barat dan berhenti sejenak. Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Hingga sekarang, batu ini dan tempat sekitarnya diberi nama wadu titu atinya, batu tempat berdiri (batu ini sekarang terletak di Desa Daieko  wilayah Mehara). Di atas batu itu, sambil berdiri menghadap ke timur, Mone Rou berkata: Nade ke Habba Heo Ngara Rata Heo Kenni (= Inilah negeri yang disebut Habba, yang sulung, dan kepadanya diberikan angka sembilan). Sesudah itu ia menghadap ke arah barat dan berkata: Nade ke Mehara Aru (= Inilah Mehara, kepadanya diberikan angka delapan). Perjalanan dilanjutkan, hingga tiba di suatu tempat (dalam wilayah Mehara). Di tempat itu ia meminta agar tali di hidungnya dilepaskan (sampai sekarang tempat itu disebut Loro Dari, artinya melepaskan tali). Perjalanan dilanjutkan sampai Mone Rou sendiri berhenti di suatu tempat dan berkata: Nade ke Liae Pidu (= inilah wilayah Liae, kepadanya diberi angka tujuh). Dari Liae, Mone Rou berjalan terus ke arah timur dan tiba di sebuah tempat yang bernama Ei lobo Na Wonga lalu berkata: Bale Nade Dimu Anna (= sedangkan yang ini rai Dimu, ia mendapat angka enam). Sesudah berkata demikian, dengan kelelahan yang sangat, ia berpamitan dengan Ti dan Bune. Sebelum mati, Mone Rou minta kesediaan Ti dan Bune untuk mengunjunginya tiga hari kemudian. Lalu Ti dan Bune kembali melaporkan pembagian wilayah itu kepada bapaknya.

Pengurutan tingkat senioritas keempat rai itu (Habba sembilan, Mehara delapan, Liae tujuh, Dimu enam), ternyata mempunyai implikasi pada praksis kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan pertanian mereka. Dua temuan menarik dalam bentuk tradisi dan gejala alam yang secara logika dapat dilihat sebagai derivasi dari klasifikasi senioritas tersebut di bidang usaha tani adalah: (1) petani di Mehara, Liae, dan Dimu belum akan memulai menanam, sebelum petani di Habba menanam. Giliran menanam diikuti secara berturut-turut menurut keteraturan senioritas (setelah Habba lalu Mehara, kemudian Liae dan terakhir Dimu), dan (2) berkaitan dengan umur atau masa berbunga dan berbuahnya kacang hijau. Kacang hijau di Habba, baru akan berbunga pada saat tanaman mempunyai sembilan pucuk daun sesuai dengan pembagian Habba Heo (Habba sembilan). Sedangkan di Mehara, Liae, Dimu, kacang hijau akan berbunga pada saat tanaman tersebut berpucuk delapan di Mehara, tujuh di Liae, dan enam di di Dimu sesuai dengan pembagian Mehara Aru, Liae pidu, dan Dimu enam. Menurut keterangan yang penulis peroleh dan beberapa orang dalam fokus grup diskusi di Dimu, apabila mereka telah memakan sajian kacang hijau yang diberikan suatu keluarga di Habba, sebelum masa panca di Dimu maka pada saat mereka kembali ke Dimu, mereka harus membasuh diri di sebuah kali di wilayah Habba yang dikenal dengan nama Lui ke lai (= jurang ranting). Kewajiban ini dipahami sebagai cara untuk di satu pihak, mereka tidak merebut rejeki sang kakak, di pihak lain, rai Dimu belum memanen hasilnya, sehingga tidak seorang pun boleh mendahului yang lain. Kedua, mitos tentang Perkerabatan dengan leluhur. Karena tentang mitos ini telah dielaborasi pada halam terdahulu, maka di sini penulis hanya membuat semacam gambaran serba ringkas saja. Menurut mitologi Sabu, manusia pertama di dunia bernama Adda. Ia konon dilahirkan oleh Deo (=Tuhan). Sedangkan versi lain mengatakan bahwa Adda diciptakan oleh Deo. Garis keturunan Adda Deo, dituturkan menurut garis keturunan laki-laki dari awal hingga penduduk Sabu dan Raijua sekarang. Penghubung keturunan Adda dengan orang Sabu adalah Kika Ga sebagai leluhur pertama yang datang ke Sabu. Ketiga, mitos tentang kepercayaan tentang Rumah dan lumbung. Rumah orang Sabu diasosiasikan sebagai perahu. Kedua ujung dari bagian panjang rumah dinamakan haluan dan buritan. Apabila bagian haluan mengarah ke timur, maka rumah orang Sabu selalu menghadap ke selatan. Sedangkan bila bagian haluan mengarah ke barat, maka rumah menghadap ke utara. Klasifikasi ini menunjukkan upaya orang Sabu untuk hidup selaras dengan alam. Sebab bagi mereka, bumi adalah suatu hamparan datar dengan arah timur-barat. Kampung dan rumah yang selaras dengan bumi, harus mengikuti arah itu. Sebaliknya, melawan arah tersebut, sama dengan melawan kekuatan yang tidak mungkin dapat dikalahkan oleh manusia. Model atau konstruksi rumah orang sabu, mengacu pada mitos tentang rumah pertama di dunia sebagai berikut: Deo Wie, Deo Heleo, Kenuhe dan Tutu Dalu sebagai empat orang Mone Ama pertama yang datang ke dunia, telah diutus oleh Deo untuk mendirikan dua buah bengunan kembar. Setelah kedua bangunan itu dibangun, Do Heleo kembali ke langit melaporkan hasil pekerjaan mereka. Menurut laporan itu, kedua bangunan tersebut dibuat terbuka ke atas menyerupai perahu. Terhadap keadaan itu, Deo yang tertinggi konon kecewa, sehingga menyuruh Do Heleo kembali ke bumi dan membalikkan salah satunya sehingga menyerupai perahu yang terbalik. Sesuai dengan titah Deo tertinggi, bangunan yang dibalikkan itu, dipakai oleh manusia sebagai rumah di daratan. Sedangkan yang terbuka ke atas dipakai di laut. Hingga sekarang, masih terdapat asosiasi tentang rumah orang Sabu sebagai: Ammu do hegure ro Deo nga Appu Lodo (=rumah yang ditelungkupkan atas perintah Tuhan dan leluhur).

Karena rumah diklasifikasikan sebagai makluk hidup, maka untuk memberi jalan pernapasan bagi sebuah rumah, disiapkan mulut atau tenggorokan (=hengara) persis di bawah ujung karpus sebelah haluan dan buritan. Demikian pula, setiap rumah orang sabu dipercayai memiliki empat orang penjaga, yaitu: Rihi Miha (=lebih sendiri), Dida Miha (=tinggi sendiri), Mamo Miha (=kokoh/rapat sendiri), dan Ie Miha (=baik sendiri). Tempat kedudukan Rihi Miha dalam rumah, adalah di Gela Mone (=tiang laki-laki). Tiang ini berada di bagian haluan rumah. Tokoh inilah yang memberi dan mengambil kembali napas hidup dalam rumah. Dida Miha bertakhta di Gela Benni (=tiang perempuan), yaitu tiang nok di bagian buritan rumah. Di sini pula letak tangga untuk naik ke gudang makanan yang berada di loteng. Sedangkan urusan domestikasi “hewan rumah” seperti babi juga terletak di buritan rumah. Sementara Mamo Miha dan Ie Miha, berdiam di bagian tengah rumah yang menyediakan kesejukan bagi keluarga penghuni rumah; “kesejukan” dimaksud adalah menjamin kecocokan antara komunitas penghuni (antar manusia, hewan, tumbuhan dan lain- lain). Keempat, mitos tentang Ngara banni (=nama berani) sebagai simbol komunikasi dengan leluhur. Baik manusia, hewan, dan tumbuhan, selain memiliki nama yang biasa seperti umumnya dipakai, mereka juga memiliki nama khusus yakni ngara banni (=nama berani/sanjungan). Nama banni ini secara sakral dihubungkan dengan kedudukan semua spesies sebagai bagian integral dalam mitologi, baik sebagai anak, cucu, titisan tokoh mitos tertentu. Dalam setiap upacara, nama banni dari masing-masing tokoh dan spesies harus “dipanggil” demi menjamin kesuburan bagi yang memohon. Pada saat seorang Sabu meninggal, nama banni-nya dituturkan oleh benni tangi (=wanita penangis). Mereka menangis sambil menuturkan perkerabatan sang mati dengan semua leluhur yang telah mendahuluinya. Terhadap do Hawu (=orang Sabu) yang meninggal di luar Sabu, ia harus “dikembalikan” ke tanah Sabu, entah jasad atau tulangnya, dan kalau tidak memungkinkan, rukettu (=rambut) sang mati, berupa beberapa potong pakaian sebagai simbol rambut, harus disemayamkan untuk kemudian dibagi kepada kerabatnya. Dengan cara ini, kerabat yang masih hidup menikmati kepuasan emosional, sementara arwah sang mati dapat bersatu dengan leluhurnya di Era Jenna Ra Horo Jenna Lodo. Menurut Fox, ungkapan ini berbentuk semantic parallelism yang diklasifikasikan sebagai tempat tinggal semua orang mati yang diproyeksi ke arah barat pulau. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ungkapan itu mencerminkan konsep orang Sabu tentang adanya universe—walau tiada nampak tetapi ada. Konsep ini, menurut Radja Pono nampaknya mirip dengan ajaran Tantra tentang “mahamaya” atau the greatest illusion dalam Hinduisme. Itulah sebabnya, di bidang pertanian, begitu jelas terurai tentang suatu spesies. Hewan atau tumbuhan dilihat sebagai penjelmaan dari bagian tubuh seorang leluhur. Di samping itu, karena hujan atau pun angin secara langsung mempengaruhi usaha tani, maka upacara memohon bantuan kepada yang “memilikinya” harus dilakukan. Semuanya ini adalah cara orang Sabu untuk menguasai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan tani mereka. Dengan tingkat atau persebaran teknologi yang sangat terbatas, pengolahan usaha tani mereka akhirnya bertumpu pada tenaga manusia dan hewan. Karena teknologinya yang masih bersandar pada teknologi alat bernyawa, maka hal ini pada gilirannya melahirkan upaya “penguasaan”, faktor-faktor seperti gejala alam, hujan, angin secara sepihak, yaitu jawaban pada dimensi kekuatan gaib. Terlepas dari semuanya itu, pengungkapan pandangan mereka tentang perkerabatan dengan leluhur, dilandasi pada gagasan keserasian atau keintiman relasi antara manusia dengan lingkungannya. Dan itu pula yang menjadi ciri dari masyarakat tradisional di manapun. Setelah mengatakan semuanya itu, maka tibalah saatnya bagi kita untuk meninjau bagaimana pandangan dunia tersebut diekspresikan dalam kehidupan ritual orang Sabu.

b. Ritus Pemengeru Rai Ritus adalah dimensi ekspresif dari religi. Ia selalu mempunyai dua dimensi. Dimensi yang pertama, adalah hubungan seseorang dengan ilahi-gaib. Dan dimensi yang kedua, adalah hubungan antara seseorang dengan yang lain. Hubungan dengan yang ilahi yang diekspresikan melalui ritus, selalu sekaligus bersifat memperkokoh hubungan seseorang dengan yang lain. Oleh karena itu, ritus selalu merupakan tindakan sosial. Mungkin tidak ada ritus lain di dalam sistem religi orang Sabu, yang lebih mampu menggambarkan hal yang dikatakan di atas itu, kecuali pemengeru rai. Ritus ini dipilih bukan karena ia merupakan teras dari kehidupan ritual orang Sabu, tetapi juga karena ia dilakukan oleh seluruh dou rai. Pemengeru rai dapat diadakan bagi hampir semua atau setiap kejadian yang ingin dirayakan, diperbaiki, dan disucikan. Kelahiran pernikahan, kematian, penyucian arwah, pengusiran roh jahat, membangun rumah, tanam, panen, penghantaran hasil panen, menyenangkan hati “pemilik” rai, bahkan menyembuhkan penyakit sekalipun, semuanya merupakan kesempatan untuk mengadakan pemengeru rai. Selalu ada persembahan (sesuai dengan jenis upacara), selalu ada pimpinan upacara, selalu melibatkan semua warga, selalu ada mengao (= jampi-jampi) yang memakai bahasa Sabu yang ekstra tinggi dan dalam, bahkan dikategorikan “panas”. Tentu saja bagi mereka, konsep tentang yang ilahi itu, tidaklah dalam pengertian Allah seperti dalam agama-agama, walaupun ada kemiripan. Bagi mereka yang ilahi itu tidak lain adalah kekuatan-kekuatan gaib yang memiliki dan menguasai kehidupan sehari-hari mereka, seperti usaha tani. Itulah sebabnya upacara-upacara pertanian, pertama-tama ditujukan atau dimaksudkan untuk memelihara hubungan baik dengan para leluhur sehingga usaha tani mereka berhasil baik. Melalui upacara-upacara itu, orang Sabu “mengundang” para leluhur untuk memelihara dan menyuburkan suatu spesies atau varietas dan menghalau hama yang menyerangnya. Para penguasa angin dimohon untuk meneduhkan angin jahat yang membawa penyakit, sementara upacara lain merupakan pengucapan syukur atas bantuan yang telah diberikan para leluhur. Itulah sebabnya, di dalam upacara, selain ditonjolkan mengao, persembahan merupakan unsur yang ditonjolkan pula. Para penganut agama tentu saja tidak mempercayai hal itu. Tetapi toh mereka tidak akan menolak bila hewan mereka diambil bagi keperluan upacara. Ini disebabkan oleh karena, aspek yang kedua dari upacara yaitu peha’o periho muri namada dou rai (= menjaga dan memelihara kehidupan penduduk). Upacara pertanian tidak mengungkapkan aspek mistis semata, tetapi juga kesatuan sosial seluruh penduduk. Semua orang harus terlibat, karena upacara dilakukan untuk keselamatan dan kesuburan rai, yang dalam bahasa budayanya disebut pemengeru merede rai (menghijaukan dan menyuburkan tanah). Semua harus terlibat, tanpa peduli siapa orangnya, sekeyakinan atau tidak, orang luar atau tidak, semua harus terlibat. Ritus yang sesungguhnya bagi orang Sabu, telah berubah menjadi bersifat menyeluruh. Di dalam upacara, semua orang sepenanggung dan senasib. Hasilnya ialah bahwa tak seorangpun merasa kehilangan, tak seorangpun merasa terpisah dari kelompok, dan dengan demikian, tak seorangpun berniat untuk memisahkan diri dari yang lain. Keadaan yang tercipta adalah meringi menat’a (dingin dan manis) yang oleh orang Sabu diartikan sebagai piado horro pa danni rai hawu (= tidak ada yang asin di atas tanah Sabu). Yang asin atau panas ditimbuni oleh yang manis dan yang dingin  tidak ada apa-apa yang akan terjadi karena telah pehare pehiko uku rai (menjaga dan melakukan ketentuan adat). Ritus, seperti telah dikatakan berkali-kali, adalah dimensi ekspresif dari religi. Ia mengekspresikan apa yang dipercayai sebagai kenyataan di balik semua kenyataan. Ia mencerminkan pandangan seseorang tentang kenyataan, dus pandangan dunia seseorang. Oleh karena itu, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah apakah pandangan orang Sabu tentang “kenyataan”, yang dapat disimpulkan dari pemengeru rai itu? Yang amat menonjol adalah sikap orang Sabu terhadap keserasian dan kebersamaan dengan lingkungannya. Hal itu nyata melalui perealisasian diri mereka dalam suatu proses keterhubungan dan kesatuan yang bermakna dan produktif antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tentang kesatuan geneologis tersebut, selain terungkap dalam sistem pengetahuan mereka, juga dinyatakan oleh orang Sabu dalam pengaturan kampung tempat diamnya. Kandang ternak memperoleh tempat di kampung. Dan dalam suatu upacara, kedudukan ternak sebagai warga kampung dilambangkan pula. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan serta tanaman menjadi tema upacara demi perkembangbiakan dan kesuburan mereka. Semuanya menjadi komunitas (persekutuan hidup) dari suatu totalitas. Itulah sebabnya, penggarapan tanah misalnya, bukanlah bertujuan utama untuk pemenuhan kebutuhan, tetapi di balik itu, mereka membangun realisasi diri atau berada, dalam arti mengembangkan hubungan yang bermakna dengan yang gaib yang tidak lain adalah leluhur-leluhur dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap usaha taninya. Upacara, oleh karenanya menjadi sarana penyelarasan hubungan yang ber”makna” itu. Jadi yang terjadi dalam upacara atau pemengeru rai, adalah ini: Setiap orang boleh saja mempertahankan identitasnya, selama hal itu tidak mengganggu keserasian dan kebersamaan. Orang-orang beragama tidak harus percaya pada roh-roh atau kekuatan-kekuatan gaib. Tetapi yang secara individu mereka percayai, tidak boleh dipertentangkan dan merintangi dasar dari penyelenggaraan upacara pemengeru rai itu (sebagai contoh pemberian hewan bagi keperluan upacara), karena bukan kepada keselamatan atau kesejahteraan individu atau kelompok pemengeru rai itu ditujukan, tetapi bagi kesejahteraan seluruh warga. Di samping sikap kebersamaan, relasi sosial di kalangan orang Sabu menunjukkan peranannya yang sangat menonjol. Kehidupan warga dan kelangsungan komunitas, bertopang pada realisasi dari relasi sosial baik dalam kelompok sendiri maupun antarkelompok. Relasi sosial di kalangan orang Sabu bersifat saling melengkapi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam upacara yang dilakukan, anak rai tidak bisa berdiri sendiri tanpa Mone Ama demikian juga sebaliknya. Begitu pula dalam usaha tani mereka, pembagian kerja antara lelaki dan perempuan, menunjukkan saling ketergantungan dan melengkapi di dalam kerja. Pendek kata, sekalipun dalam kenyataan terdapat Mone Ama dan anak rai, lelaki dan perempuan, warga sendiri dan orang luar, harus dijaga sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu atau merusak keseimbangan dan keselarasan. Setelah mengatakan semuanya itu, maka tibalah saatnya bagi kita sekarang untuk meninjau bagaimana pandangan dunia seperti tersebut di atas dipraktekkan dalam kehidupan praktis orang Sabu yaitu etika.

c. Etika Kesatuan, Kebersamaan, dan Keserasian “Religi”, paling tidak menurut yang kita pahami di sini, adalah sesuatu yang membuat hidup “bermakna”. Ia memberi arah kepada hidup. Ia juga menyangkut “kenyataan” di balik semua kenyataan di dalam hidup. Melalui mitos, “kenyataan” di balik semua kenyataan itu dijelaskan dan dikomunikasikan; melalui ritus, “kenyataan” di balik semua kenyataan itu didramatisir dan direnungkan. Oleh karena itu, religi itu bersangkut paut dengan apa yang paling inti dari kehidupan, ialah menyangkut pula semua dan seluruh kehidupan. Menyatakan bahwa religi menyangkut semua dan seluruh kehidupan, membuat dimensi praktis dari religi, yaitu dimensi etisnya menjadi sungguh-sungguh penting. Karena melalui dimensi praktis dari religi inilah, orang belajar mengenal apa yang penting di dalam kehidupan praktis sehari-hari. Dimensi praktis inilah yang membentuk sikap-sikap dominan atau orientasi nilai seseorang. Melalui etika, “kenyataan” di balik semua kenyataan dikomunikasikan dalam bentuk tindakan tertentu. Etika memberi tuntutan mengenai apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang tepat dan apa yang tidak tepat dalam hubungan dengan apa yang dipercayai sebagai “kenyataan di balik semua kenyataan”. Tugas kita sekarang adalah, mengamati secara lebih cermat dan kemudian menjabarkannya lebih sistematis, implikasi-implikasi dari pandangan dunia yang totalitas, dualistis, dan paternalistik itu bagi pandangan etis orang Sabu. Telah kemukakan di atas bahwa memelihara kebersamaan dan keserasian merupakan hal yang amat sentral bagi orang Sabu. Konsep tentang harmoni ini dilihat sebagai dunia yang “berkesesuaian” antara kosmis dan kosmos yang dicapai melalui usaha menyenangkan dan syukuran terhadap “pemilik” oleh yang “dimiliki”. Menyenangkan dan syukuran, oleh karena itu mempunyai tempat yang sentral dalam konsep orang Sabu tentang keserasian dan kebersamaan. Menyenangkan dilihat tidak sebagai pembujukan terhadap yang gaib, tetapi bermakna hidup syukur karena “pemilik” telah berbuat sesuatu. Hidup menurut mereka adalah bersumber pada dan anugerah dari yang ilahi, dan oleh karena itu, hidup adalah membantu dan memberi. Kehadiran dan keberadaan orang lain, bukanlah beban dan persoalan bagi orang Sabu, apalagi menjadi saingan dan ancaman, tetapi suatu “alat” pengesahan bagi keberadaan seseorang, dalam arti sasaran membantu dan memberi. Walaupun demikian, orang Sabu tidak menutup mata terhadap kenyataan riil. Perbedaan dan konflik mungkin dan memang terjadi. Konflik dapat saja terjadi dan itu adalah wajar. Seolah-olah konflik dilihat tidak sebagai yang fatal dan abadi adanya. Yang “panas” itu berganti “dingin”. Tentu saja, ini baru terjadi setelah situasi konflik itu dihapus, dalam hal ini upacara “mendinginkan”. Konflik tak terhindarkan, sebab tidak semua orang sama dan satu adanya. Mungkin saja satu sama lain justru bertentangan, seperti laki-laki dan perempuan, siang dan malam atau panas dan dingin. Ia harus diterima tetapi dibutuhkan kompensasi lewat pengorbanan. Di sinilah peranan pemengeru rai, yaitu menghilangkan antipati terhadap yang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendekatan orang Sabu terhadap realitas, lebih dekat pada pendekatan yang tidak memilih tetapi kompensasi. Hidup bukanlah masalah memilih. Hidup adalah totalitas. “Panas” dan “dingin”, “jahat” dan “baik” adalah dua hal yang tidak terpisahkan, namun tak mungkin pula berpadu. Ia bukanlah “pilihan ini” atau “pilihan itu”, juga bukan menerima “baik ini” “maupun itu”. Keserasian dan keselarasan terjadi, bukanlah ketika memilih atau memadukan “ini” dan “itu”, tetapi ketika diupacarai. Dengan kata lain, keserasian dan keselarasan bukanlah ketika konflik diatasi dengan memperoleh sintese yang lebih tinggi, tetapi ketika konflik sedapat mungkin “dimaniskan”. Dalam hubungan antar individu, pendekatan ini nyata dalam upaya orang Sabu bersikap menahan diri satu dengan yang lain, bekerja sama satu sama lain, membangun hubungan yang mesra satu dengan yang lain. Orang Sabu amat menghargai sikap pehau hada (= saling menghormati dan menghargai). Ketidaksenangan barangkali ada pada setiap orang, tetapi harus dinyatakan dengan hada (etis). Apa yang benar, baik dan tepat adalah, apa yang cocok. Mengatakan benar atau salah pada salah satu pihak, selain kasar, ia juga hada kebili (= tidak beradat) karena dapat menimbulkan rasa malu pada pihak yang salah dan itu bukan pehau hada. Orang Sabu amat bangga akan hada hawu (bersikap Sabu). Orang yang menurut pandangannya kasar dan berlaku aneh, disebut sebagai seperti bukan orang Sabu (mido= seperti bukan; do hawu= orang Sabu). Walaupun demikian, orang Sabu juga mentolerir sesuatu berdasarkan prinsip do wala rai (orang luar= lain ladang lain belalang). Orang Sabu tidak bersikeras memaksakan nilainya kepada orang lain (luar), sementara mereka juga tidak mau dipaksa untuk menerima nilai-nilai orang lain. Jadi pada dasarnya mereka agak toleran kepada orang-orang lain (bukan suku Sabu), tetapi tidak toleran terhadap anggota-anggota kelompoknya sendiri yang tidak bertingkah laku Sabu. Prinsip lain ladang lain belalang, tidaklah membuat orang Sabu menerima begitu saja setiap perbuatan atau sikap orang luar yang tidak sesuai dengan hada hawu. Ia ditolerir sepanjang ia dapat diserap dan dijabarkan dalam kerangka hidup orang Sabu. Ungkapan ado do pepakka nga uku di (tidak cocok dengan aturan kita), menunjuk kepada kondisi tersebut. Sikap yang agak relativistis terhadap orang luar, tetapi absolutistis terhadap warga sendiri, melahirkan ide sentral tentang pepakka (cocok) itu hidup di antara mereka. Clifford Geertz, seperti dikutip Eka Darmaputra, mendeskripsikan makna cocok itu sebagai berikut: “Cocok....adalah seperti anak kunci berpadan dengan lobang kunci, seperti obat yang mujarab untuk satu penyakit ..........................................seperti pria dan perempuan yang dikawininya. Bila pendapat anda sama dengan saya, kita cocok; kalau arti nama saya sesuai dengan sifat saya (dan mendatangkan keberuntungan) itu namanya cocok. Makanan enak, teori yang benar, kelakuan yang baik, lingkungan yang menyenangkan, hasil yang memuaskan, semuanya berarti cocok. Dalam arti yang paling luas dan paling abstrak, dua benda adalah cocok apabila keduanya membentuk pola yang koheren yang memberikan kepada masing-masing makna dan nilai yang mereka masing-masing tak memilikinya. Termasuk di sini suatu pandangan tentang alam semesta, dimana yang penting adalah keterkaitan alamiah yang ada di antara unsur-unsurnya, bagaimana semua mesti diatur untuk membentuk satu keselarasan dan menghindarkan ketidakselarasan. Dan, seperti dalam harmoni, keterkaitan yang benar sudahlah pasti, ditentukan, dan dapat diketahui sebelumnya.........

Lain ladang lain belalang dalam derajat tertentu, ditolerir. Namun prinsip lain ladang lain belalang, tetap bermakna, orang harus hidup dengan adat dan tradisi yang cocok. Keserasian adalah apabila semuanya cocok dengan yang ia hadapi. Kadang-kadang keserasian itu terganggu oleh unsur-unsur baru yang tidak dengan sendirinya cocok dengan apa yang ada. Ini terjadi, misalnya, ketika kebudayaan orang Sabu berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Apabila ini terjadi, maka keserasian harus dipulihkan kembali. Segala sesuatu harus dibuat cocok lagi. Bila mungkin, unsur-unsur asing itu disesuaikan dengan sistem kebudayaan Sabu. Tapi kadang-kadang unsur-unsur asing itu terlampau kuat. Bila demikian, sistem yang ada harus adaptif, membuat sinkritisme, dan di atas segalanya sekalian proses itu harus dapat dibenarkan oleh nilai-nilai kebudayaan Sabu itu sendiri. Inilah yang dimediasi oleh institusi Hapo (= sambut, adopsi) dalam masyarakat setempat. Pemulihan harmoni berarti meletakkan kembali segala sesuatu ke tempatnya sesuai dengan pranata yang telah ditentukan. Perbuatan yang tercela adalah perbuatan yang “tidak pada tempatnya”. Sumber penetapan tentang “tidak pada tempatnya” adalah hada yang secara semantik berarti “makna yang paling utama”  makna yang paling dalam yang terdapat dalam pehau hada. Konsepsi mengenai hada inilah yang membuat banyak orang sulit berkomunikasi dengan orang Sabu. Karena melalui hada ini, seseorang dapat mengetahui apa yang pantas dan apa yang tidak. Banyak maksud baik dan luhur, berakibat buruk hanya karena ia dilaksanakan dengan cara yang di”rasa” kurang cocok. Orang Sabu amat peka dengan kesucian uku. Sulit sekali mereka merelakan orang luar untuk secara aktif menjalankan sesuatu yang termasuk uku, oleh karena akan membuka kesempatan terjadinya pelanggaran. Sampai batas tertentu pelanggaran diterima, oleh karena pelanggaran adalah suatu kenyataan. Ia dibendung, sebab pelanggaran mengakibatkan konflik dan keberantakan yang dapat merusak keserasian. Sejauh ini, kita telah mencoba merumuskan prinsip-prinsip etika orang Sabu melalui tiga konsep dasar, yaitu, keserasian, cocok, dan hada/rasa. Keserasian menekankan konflik yang sedapat mungkin dibendung atau dihindari dengan mempertahankan keselarasan dan kebersamaan. Konsep Sabu tentang pepaka (=sesuai), menekankan pemeliharaan kebersamaan dan ketertiban, serta membagi tindakan manusia atas pepakka dan do’o pepakka nga uku (= sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan adat). Sedangkan konsep mengenai hada/rasa menekankan aspek yang seharusnya menurut konsep si empunya uku. Semuanya ini adalah sikap-sikap nyata orang Sabu di tingkat yang operasional, dus berarti tindakan praktis sehari-hari.

2.2.3.2. Pola Hubungan Antara Warga Wilayah adat di Sabu yang disebut rai, merupakan pengelompokan tradisonal orang Sabu yang masih berlaku hingga kini dalam bentuk penyebaran pemukiman. Tiap rai terbagi atas beberapa rae, yang merupakan pengelompokan beberapa warga berdasarkan garis patrilinial yang berdimensi teritorial. Perkembangan tiap kelompok dalam rai, dilanjutkan dengan lahirnya udu, sebagai kelompok orang-orang yang menganggap dirinya keturunan berdasarkan garis leluhur, dengan pemilikan kawasan tanah komunal-ulayat. Udu dapat terdiri dari beberapa atau sejumlah kelompok yang lebih kecil yang disebut kerogo (subklan). Pembagian udu dan kerogo ini, dapat dilihat sebagai permulaan kehidupan “politik” dalam rai, sebab, udu dan kerogo memiliki wilayah-teritoir tertentu, sedangkan Bangu udu sebagai kepala udu, dan kattu kerogo sebagai kepala subklan diberi kekuasaan untuk memimpin perangkat wilayah dan anggota kelompok masing-masing. Tanah-tanah udu sebagai tanah pusaka warga udu, berbeda dengan tanah-tanah budaya-padang garapan untuk ladang kebun dan tanah alam (tanah “liar” kosong atau tanah yang belum dibuka) yang biasanya diperuntukkan bagi para pendatang dari “luar”. Pertumbuhan dan perkembangan jumlah udu dan kegiatan pertanian yang dilakukan di ladang yang biasanya jauh dari rae (= kampung), yaitu padang belantara, antara lain menjadi sebab terjadinya gerak perpindahan ke luar rae untuk membuat kampung-kampung baru sebagai pemukiman sekunder. Kepadatan anggota warga dan daya tarik liha pada (= padang belantara) yang menyediakan sumber daya alam berupa lontar, ladang, padang penggembalaan, dan sawah, membuat warga udu keluar dari rae (kampung induk). Gejala keluarnya warga dari kampung induk, biasanya berlangsung menurut pengelompokkan yang terikat relasi geneologis menurut garis lelaki yang disebut ammu. Ammu ini merupakan relasi geneologis nyata yang selalu berafiliasi pada udu sebagai garis geneologis mitos. Selain relasi geneologis atau keturunan yang menjadi dasar penghubung warga dari ammu, maka ammu juga merupakan kesatuan yang saling bergantung secara ekonomis. Tanggung jawab untuk menjamin kebutuhan utama merupakan tanggung jawab kepala dari ammu. Dengan demikian, jelas bahwa kemampuan ekonomis warga lelaki ammu menjadi faktor penentu timbulnya dara ammu yang berdiri sendiri terpisah dari tanggung jawab ammu. Jadi ammu merupakan kelompok patrilinial terkecil yang menyusus dara ammu. Kelompok dara ammu dari suatu udu, walaupun dalam kenyataannya sudah tinggal terpisah-pisah di liha pada karena letak rumah dan tanah garapan yang berada terpisah dari rae dan ammu, tetap terikat sebagai satu kesatuan dalam udu. Hal ini nyata dalam kegiatan upacara adat, maka kelompok ammu kembali berkumpul dalam rae untuk menyelenggarakan upacara dimaksud. Relasi antara kelompok ammu dari suatu udu di Sabu, tidak hanya terbatas pada waktu upacara-upacara adat, tetapi tampak pula dalam urusan-urusan yang bersifat sosial, misalnya dalam pengurusan dan penanganan hak milik atas tanah udu. Wewenang ini berada pada kepala udu. Warga udu yang pertama atau yang lebih dahulu menggarap suatu bidang tanah udu, memperoleh hak milik atas tanah tersebut. Kepala udu, berwenang pula dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut warga udu (masalah tanah), baik dalam lingkungan udu sendiri maupun dengan udu lain. Sengketa antara sesama udu tidak hanya dipandang sebagai sengketa antara dua individu, tetapi melibatkan dua kelompok (dara ammu maupun ammu). Dalam sengketa yang demikian, para kepala dari setiap pihak bertindak sebagai wakil untuk berdamai. Faktor perekat sosial lainnya di kalangan orang Sabu ialah wini (= benih). Wini merupakan identifikasi kewargaan orang Sabu dalam kelompok menurut garis perempuan. Berbeda dengan identifikasi kewargaan menurut garis lelaki yang memiliki dimensi teritorial, maka kewargaan menurut garis perempuan tidak terikat atau memiliki teritorial. Anggota kelompok ini terikat pada hubungan yang bersifat “pribadi” dengan hubi (= mayang)-wini. Oleh karena itu, kewargaan wini ini memainkan peranan dalam upacara ataupun kegiatan yang berkaitan dengan siklus hidup misalnya, kelahiran, perkawinan, ataupun kematian. Ikatan ini lebih bersifat emosional dan beroleh kesempatan justeru di saat yang kritis dalam hidup individu. Kewargaan wini menduduki fungsi penyaluran upacara di saat orang menyatakan hubungan emosional antarwarga kerabat. Kalau kewargaan menurut udu lebih bersifat sosio-politis, maka kewargaan wini lebih mengarah pada hubungan kekerabatan yang bersifat lebih emosional. Melalui upacara atau peristiwa, kematian misalnya, relasi antara anggota-anggota yang telah dipisahkan oleh kewargaan udu, masing-masing dijalin kembali dan diperteguhkan dengan penuturan pedai huhu benni (= menceritakan susunan hubungan berdasarkan garis perempuan) yang dilakukan di saat upacara kematian itu. Pada upacara dan saat kelahiran, orang yang membantu dukun bayi ialah saudara kandung perempuan atau ibu dari orang yang melahirkan itu, karena ia sewini dengan orang yang bersangkutan. Demikian juga perihal perkawinan, perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan di antara warga-warga sewini yang diungkapkan dengan pakale ana wini (= saling mencari anak benih). Begitu kuatnya rasa kekerabatan sewini sehingga dalam peristiwa kematian, orang-orang sewini dengan almarhumlah yang bertanggung jawab (tito = berdiri) dalam mengurusi urusan kematian itu. Seorang suami atau istri demikian pula anak-anak dari si mati, tidak dapat begitu saja bertindak dalam urusan kematian itu, tetapi harus mendapat “izin” dari kerabat sewini almarhum. Begitu pula di saat melakukan perkawinan, kakak atau adik perempuan dari ibu bertindak sebagai penerima kenoto (mas kawin) yang dipersembahkan pihak mempelai laki-laki dan selanjutnya dibagikan kepada kerabat pihak ibu mempelai wanita. Tanggung jawab warga sewini, selain pada peristiwa-peristiwa tersebut di atas, juga terhadap upacara-upacara kehamilan, permandian anak, memotong gigi, pendek kata mereka betanggung jawab sehubungan dengan peristiwa siklus hidup dari seorang kerabat sewini. Sebagai masyarakat yang relatif kecil dengan ikatan kekerabatan baik dalam tingkat mitos maupun real, yang masih diyakini dan dipegang teguh di kalangan para warga, maka orang-orang Sabu menjalin hubungan erat satu sama lain. Bahkan kadang-kadang dalam konteks udu dan wini dapat membangun identitas yang cenderung “terisolasi”. Tujuan yang paling dasar dari para warga adalah hidup rukun dan selaras di antara mereka sebagai syarat kelangsungan hidup bersama. Tak dapat dibayangkan terjadinya pelaksanaan upacara-upacara adat yang jutru sangat vital dalam kehidupan religi, demikian pula dalam usaha pertanian mereka, bila para warga mempersoalkan pengambilan hewan mereka oleh tua-tua adat demi keperluan upacara yang akan dilakukan. Kalau itu terjadi, maka kewibawaan dan eksistensi institusi adat yang diwakili oleh dewan Mone Ama tentu terancam. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh orang Sabu karena itu berarti mendatangkan malapetaka bagi keselamatan orang banyak, dan yang melakukannya tidak dihormati keberadaannya dalam kelompok. Hidup ini adalah pentas kehidupan ilahi, oleh karena itu orang Sabu dituntut ke arah perhatian khusus pada pengorbanan untuk menyenangkan yang ilahi, pemeliharaan kerukunan sosial atau kekompakan sosial dalam melakukan upacara, dan pengembangan keselamatan di dalam masyarakat, serta melakukan tindakan-tindakan terpuji lainnya. Dengan demikian setiap individu, pertama-tama adalah anggota kelompok, dan kebebasan bertindaknya di dalam segala hal dibatasi oleh adat para leluhur. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa unsur kolektif dan bukan individu yang menguasai etos masyarakat. Selain hal tersebut di atas, di balik ikatan tolong-menolong yang bersifat praktis, terdapat nilai-nilai moral yang bersifat sentral yang mengatur kehidupan bersama mereka yaitu semacam common ends, yang dalam ungkapan budaya Sabu: kako keddi nga penau, muri mada nga penade (saling menopang dalam kehidupan, jatuh bangun dihadapi bersama berdasarkan cinta kasih). Dampak dari sistem nilai seperti ini, ialah kerinduan yang kuat pada orang Sabu untuk membangun hubungan antar pribadi yang lembut, serta kedambaan yang kuat untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok yang baik. Kehidupan dan kerjasama antara warga dilaksanakan di bawah terang kehidupan ilahi yang selalu dipentas dalam upacara-upacara sepanjang hidup dalam usaha tani mereka di bawah pimpinan para imamat. Para sesepuh itu diterima sebagai pemelihara ikatan suci antara mikro dan makros-kosmos; sebagai pengemban tradisi nenek moyang. Para sesepuh “dipilih” berdasarkan adat, artinya melalui penetapan adat yang telah digariskan berdasarkan tradisi nenek moyang. Sesepuh adat adalah orang beradat, dan oleh karena itu harus dipatuhi. Mekanisme keputusan mengenai segala hal adalah kesepakatan adat sesuai arahan para sesepuh. Bila terjadi kemandekan dalam mengambil keputusan, maka perlu kerai wango (bertanya pada yang gaib) yang dilakukan oleh sesepuh, dan berdasarkan hasil kerai wango itu, keputusan dijalankan. Terhadap keputusan ini semua harus mematuhi dan wajib mendukungnya. Dalam pelaksanaan keputusan, pimpinan berperan tidak sebagai perintah kekuasaan, tetapi bertindak sebagai “bapak” bagi keluarga besar. Ia juga yang memelopori dan berinisiatif bahkan berkewajiban melakukan upacara untuk menghapuskan “kerusakan” yang terjadi sehingga kesucian dan keselamatan semua warga tetap terjamin. Di balik tata nilai dan sikap etis seperti tersebut di atas, dalam visi orang Sabu, Rai Hawu (“negeri” Sabu) merupakan sebuah kesatuan religius dengan ritus yang paling sentral adalah upacara-upcara adat. Nenek moyang didewakan dan dipuja. Oleh karena itu memelihara adat nenek moyang mempunyai arti religius. Animisme, oleh karenanya merupakan konsepsi tradisional yang paling dasar. Kehidupan manusia dipercayai sebagai ada di dalam konteks kosmos. Ia dilingkupi atau dilingkungi oleh pelbagai roh, dan dikuasai oleh kultus dan ritus-ritus. Semua manifestasi alam, dipercayai sebagai konsekuensi dari kiprah kekuatan-kekuatan supranatural yang harus ditenangkan dengan uapcara. Boleh dikatakan bahwa unsur-unsur pokok dari religi orang Sabu adalah suatu kepercayaan yang bersifat panteisme, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu dan semua kehidupan mempunyai tenaga/energi kehidupan. Energi ini (atau “jiwa”) pada seseorang dapat lebih kuat daripada yang ada pada orang lain. Jadi, misalnya, sesepuh lebih dari anak rai, orang tua lebih daripada yang muda. Di samping itu, kepecayaan pada jiwa yang ada pada orang per orang tetap selama-lamanya. Setelah mati jiwa itu tetap mempunyai perhatian kepada kehidupan bersama di dalam masyarakat. Oleh karena itu, jiwa-jiwa itu bisa saja marah, ketika keturunan mereka tidak lagi memelihara tradisi atau tidak memenuhi kewajiban mereka terhadap jiwa-jiwa itu. Eka Darmaputra dalam bukunya yang telah beberapa kali dikutip, mengatakan: “Di mana yang supranatural itu dipercayai sebagai campur tangan yang begitu menentukan dalam peristiwa-peristiwa manusiawi dan di dalam kesejahteraan kelompok secara menyeluruh, maka sebagian besar dari kehidupan rutin sehari-hari terarah kepada mentaati secara tepat dan ritual tuntutan-tuntutan yang bersifat ilahi” Tentu saja ada banyak hal lagi yang dapat dikatakan mengenai kehidupan budaya orang Sabu. Tetapi untuk pembahasan tema dari bagian ini, cukuplah untuk mengatakan bahwa aspek ini telah mempunyai akarnya yang kuat dalam diri para warga. Beberapa ciri yang telah dikemukakan seperti ide panteisme, konsep yang dominan tentang keselarasan, tradisonalisme yang kuat, kesadaran kolektivisme, komunalisme, dan paternalisme yang dalam, merupakan modal yang dimiliki oleh orang Sabu sejak dahulu kala. Untuk itu pada bagian berikut ini, kita akan pusatkan perhatian pada ciri-ciri budaya orang Sabu tersebut, sehingga mendapat kejelasan yang lebih memadai tentang kerangka kehidupan sosio-kultural orang Sabu.

2.2.3.3. Keluarga Orang Sabu Keluarga Sabu yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak, hampir seluruhnya adalah keluarga tani. Walaupun seorang Sabu bekerja sebagai pegawai atau pun pedagang, mereka tetap mempunyai lahan garapan dalam bentuk ladang. Ladang kecil biasanya terdiri dari sebidang tanah, di mana berdiri rumah petani itu. Semua anggota keluarga petani menetap dan melaksanakan semua pekerjaan mereka di dalam areal ladang-kebun mereka. Di dalam keluarga itu, terdapat petani, istrinya, dan anak-anak mereka. Perbedaan-perbedaan dibuat atas dasar kelamin dan umur, dan perbedaan-perbedaan ini tidak hanya menentukan pembagian kerja tetapi seluruh kelakuan orang itu. Si petani mengarahkan dasar pertanian, menyelenggarakan tugas-tugas bercocok tanam, menyadap lontar, dan juga mengurus ternak. Bila ada pekerjaan berat, dialah yang bertanggung jawab. Ialah yang menentukan keputusan-keputusan penggunaan segala apa yang mereka miliki. Istri bertanggung jawab mengenai urusan rumah tangga, mengasuh anak-anak, dan kadang-kadang bekerja di ladang. Kewajiban-kewajiban ini dibagi secara ketat hingga terasa oleh mereka seolah-olah pembagian telah berlangsung sejak dahulu kala berdasarkan perbedaan bakat antara laki-laki dan perempuan. Anak-anak tidak memiliki lahan sendiri kecuali membantu orang tua hingga mereka dianggap mampu menyadap lontar. Pembagian tugas pun dilakukan berdasarkan jenis kelamin mereka. Dan selepas sekolah, anak-anak melibatkan diri penuh untuk membantu kerja di ladang sepanjang musim. Hubungan antara bapak dan anak adalah hubungan super dan subordinansi. Kuasa ibu-bapak dan ketaatan anak diikat oleh perasaan saling hormat-menghormati. Anak-anak disebut "anak lelaki" atau “anak perempuan”, yaitu istilah-istilah yang menunjukkan kedudukan sosial mereka dan mereka harus dipanggl demikian hingga mereka lepas dari pengawasan orang tua, seperti ketika mereka menikah atau bapak meninggal. Gelaran ini tidak bersandar pada pertumbuhan atau kematangan jasmani, tetapi mencerminkan suatu perbedaan sosial, dan seorang lelaki yang berumur 45 tahun pun masih diperlakukan sebagai yang belum mandiri karena itulah kedudukan sosialnya sebagai seorang bujang. Di luar keluarga, terdapat hubungan-hubungan dengan kaum kerabat. Di sini terdapat kaitan utama antara keluarga inti itu dengan masyarakat yang lebih luas; banyak kegiatan gotong royong tanpa pembayaran terdapat di antara orang-orang yang bertetangga, dan ini berlaku terutama di kalangan kaum kerabat. Kerja sama ini dapat berupa meminjamkan perkakas-perkakas, alat-alat pertanian ataupun bekerja di lahan petani yang lain semasa menyemai atau membajak dalam musim tanam, memberi pinjaman bagi seorang buruh untuk menanam atau menuai. Mereka berkongsi tenaga memberi pertolongan dalam masa kesusahan dan ambil bagian dalam adat istiadat seperti kematian dan lain-lain. Kerja sama seperti ini dikenal di tempat itu sebagai pehau pekedi (= saling pangku dan saling menggerakkan). Ini merupakan kewajiban seseorang terhadap kaum kerabatnya yang disebut oleh orang Sabu sebagai "Aa-Ari" (= kakak-adik), tetapi termasuk juga para tetangga. Jauh dekatnya hubungan kekeluargaan itu menentukan sejauh mana seorang mempunyai panggilan yaitu berhak meminta bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, hubungan-hubungan sosio-ekonomi sangat banyak bersandar pada hubungan kekeluargaan seperti ini. Keluarga orang Sabu bersifat dua sisi. Keturunan dihitung melalui kedua orang tua tetapi dengan tekanan pada keluarga ayah. Biasanya seorang lelaki mewarisi dari ayahnya dan sebagaimana ia mengambil nama ayahnya, maka begitu jugalah ladang itu dikenal lewat nama keluarga lahan dan keluarga dihubungkan secara erat. Di Sabu, kerabat seorang lelaki ialah saudara ayah dan ibunya. Ia akan menyebut kerabat itu dekat ataupun jauh tidak berdasarkan daerah tempat tinggal mereka, tetapi berdasarkan hubungan kekeluargaan dengannya. Dan oleh karena itu, ia mempunyai kewajiban yang diikat untuk menolong kerabat-kerabat dekat itu. Suatu sifat menarik tentang hubungan-hubungan kekeluargaan ialah istilah-istilah yang digunakan untuk menyatukan kaum keluarga tersebut. Istilah-istilah yang dipakai lebih bersifat deskriptif ketimbang penjenisan. Orang Sabu lebih sering mengelakkan istilah-istilah anak-anak saudara atau sepupu, tetapi lebih suka menyebut anak saudara lelaki/perempuan atau anak dari anak laki-laki/perempuan. Sungguh pun sepupu disebut sebagai kerabat, tapi jika ia sepupu ayah/ibu maka ia akan disebut sebagai “kerabat ayah/ibu saya”. Semakin jauh ikatan kerabat, semakin kurang rasa kewajiban terhadap mereka. Sebaliknya semakin dekat kaum keluarga itu, semakin keras tuntutan kewajibannya. Fenomena ini dapat dimengerti, oleh karena hubungan kekerabatan dalam keluarga Sabu adalah hubungan orang-orang yang mempunyai hubungan darah, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Keluarga dari dua belah pihak dianggap sebagai satu unit kerabat yang sama dekatnya. Oleh karena itu, kekerabatan keluarga Sabu merupakan suatu sistem hubungan-hubungan yang diatur dan ditata berdasarkan prinsip hubungan darah dan perkawinan. Berdasarkan corak hubungan seperti ini, maka sistem kekerabatan dalam satu keluarga Sabu ditopang oleh tiga tiang utama, yakni: Pertama, keturunan dihitung melalui garis keluarga ayah. Kedua, selama ikatan perkawinan, seorang wanita menjadi anggota keluarga suami. Ketiga, kuasa atas anggota-anggota keluarga tersebut berada di tangan ayah dan keluarganya. Dengan demikian, dalam keluarga inti, terdapat kedudukan-kedudukan sosial bapak, ibu, dan anak. Ini berarti ada tiga pola hubungan, yakni: hubungan antara ibu-bapak; ibu-anak; dan bapak-anak. Walaupun setelah perkawinan seorang istri menjadi anggota keluarga suami, namun tidaklah bersifat total, karena keanggotaan itu hanya berlangsung selama sang suami masih hidup. Segera setelah ia meninggal, sang istri wajib keddi (= bangun), yakni kembali kepada keluarga asal dan menjadi tanggung jawab penuh saudara laki-lakinya. Segala harta yang diberikan kepadanya oleh keluarga sebagai bekal selama hidup dalam keluarga suami (biasanya gelang mas dan muti-salak), kembali menjadi milik kerabat asalnya. Istilah keddi ini, diduga muncul dari klasifikasi abstrak mengenai perkawinan di kalangan orang Sabu sebagai kewajiban menyertai saudara laki-laki (dalam hal ini suami). Di kalangan orang Sabu, perkawinan yang ideal adalah perkawinan pekale ana wini (= saling mencari anak benih). Yang dimaksud di sini adalah mencari istri yang berasal dari keturunan pihak ibu. Oleh karena itu, asosiasi semantik yang dipakai untuk menyebut kedua orang yang hendak menikah adalah namone-nawenni (saudara laki-saudara perempuan)  suatu sebutan yang biasa diberikan kepada laki-laki-perempuan sekandung. Asosiasi semantik namone nawenni tersebut, memperoleh "logika"nya justru karena pekale ana wini. Dengan terkooptasinya kewargaan seorang anak dalam garis keturunan ayah, selain secara otomatis menjadi warga udu ayah, tetapi juga bermakna, ia terlepas, atau lebih tepat, dipisahkan dari kewargaan keturunan ibu. Dengan demikian, untuk menyatukannya kembali dalam kewargaan keturunan ibu, maka idealnya secara budaya, ia harus menikah dengan sanak saudara ibunya. Atas klasifikasi yang sama, kewajiban keddi bagi seorang wanita Sabu memiliki "logika" yang dapat dimengerti pula. Bila seorang wanita dikawini seorang pria yang berasal dari udu lain di luar udu ibu, maka ia telah menikah dengan kerabat lain. Keberadaan antara satu udu dengan udu adalah dilandasi prinsip keterpilahan. Dengan demikian, prinsip kepemilikan pun bersifat isoteris, tak terkecuali terhadap seorang istri yang masuk udu suami. Pada titik ini, hak kerabat suami menjadi mutlak secara udu, yang sudah tentu tidak dapat diganggu-gugat pihak kerabat istri. Lain halnya bila seorang wanita menikah dengan seorang kerabat ibu. Ia akan tetap menjadi warga udu ibunya. Di sini tidak ada keterpilahan, tetapi penyatuan dalam satu udu. Oleh karena itu, tidak ada kepemilikan yang isoteris tetapi menjadi milik semua. Itulah sebabnya perkawinan mereka adalah perkawinan namone-nawenni. Dan karena perkawinan namone-nawenni, maka kewajiban menyertai "saudaranya itu" segera berakhir pada saat orang yang dibantu itu meninggal dunia. Lain halnya dengan hubungan bapak-ibu yang bersifat tidak mutlak, maka hubungan bapak-anak dalam keluarga Sabu bersifat mutlak. Anak-anak menjadi anggota kerabat ayah, dan oleh karena itu menjadi warga udu ayah pula. Mereka mempunyai hak penuh terhadap harta udu, dan oleh karena itu mempunyai kewajiban untuk tunduk pada kerabat ayah. Bila sang ayah telah meninggal, maka kekuasaan penuh atas diri mereka berada di tangan saudara laki-laki ayah sampai mereka menikah/dewasa. Khusus bagi anak laki-laki, selain mewarisi keturunan ayah mereka pun mewarisi warisan harta benda, khususnya barang-barang tidak bergerak. Seorang anak perempuan hanya berhak menikmati selama ia belum menikah, atau setelah ia keddi. Keutamaan anak laki-laki dalam suatu keluarga orang Sabu, terkait dengan penerusan garis keturunan sang ayah. Mereka tidak hanya bertanggung jawab penuh terhadap harta yang diwariskan ayahnya, tetapi juga terhadap harta kerabat yang belum terbagi, bahkan terhadap harta udu. Tidak hanya itu, segala kewajiban ayah semasa hidup, baik dalam bentuk hutang maupun kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari hubungan-hubungan sosial budaya yang pernah dilakukan ayah mereka, seperti bantu-membantu dan lain-lain wajib mereka penuhi. Itulah sebabnya, sejak dini seorang anak laki-laki telah dibiasakan untuk mengenal garis keturunan kerabat ayah, mengetahui batas tanah hak milik, mengetahui tanah udu, mengenal orang-orang dengan siapa ayah mereka menjalin relasi, dan di atas semuanya itu adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap semuanya itu. Bila hubungan bapak-anak lebih bersifat pewarisan, maka tidak demikian dengan hubungan ibu-anak. Hubungan ibu dan anak dilandasi oleh institusi wini  suatu identifikasi kewargaan yang bersifat pribadi dengan hubi (= mayang). Melalui garis wini atau hubi ini, anggota kerabat itu memperoleh kesempatan menjalin hubungan emosional dengan anak. Kalau kewajiban udu yang utama adalah melaksanakan sistem upacara-upacara adat yang mencakup rae, maka hubi sangat penting dalam mengatur peristiwa-peristiwa krisis sepanjang lingkaran hidup seseorang. Dengan demikian, adanya wini, membuat seorang anak mengikat diri secara emosional dan intim dengan kerabat ibunya. Penghormatan yang bersifat hirarkhis dalam udu yang membedakan kakak ayah yang disebut Ama Ae (=bapak besar) dan adik ayah (Ama Iki=bapak kecil) tidak dikenal dalam wini. Saudara laki-laki ibu, baik yang kakak maupun yang adik, disapa dengan sebutan yang sama yakni, Ama Kemone (=bapak laki-laki). Akan tetapi terhadap saudara perempuan ibu, diadakan perbedaan yang tegas. Yang kakak disapa Ina Ae (= ibu besar), sedangkan yang adik disapa Ina Kue (= ibu kecil).