Suku Batak
Batak adalah nama sukubangsa di Indonesia. Suku ini bermukim di Sumatra Utara. Suku Batak ini berdiaspora ke berbagai penjuru Indonesia. Diperkirakan di wilayah Jabodetabek saja sudah mencapai lebih dari 200.000 jiwa. Sudah lebih banyak orang Batak yang bermukim di luar daerah asalnya yakni Tapanuli, Simalungun, dan Karo. 14% penduduk kota Medan adalah orang batak, sehingga secara nasional orang Batak sering disebut sebagai orang Medan soal nya kota medan terlalu besar di sumatera utara dengan penduduk 2,3 juta jiwa dan pertumbuhan kota yang sangat pesat yang di dominasi oleh etnis jawa dan china, orang batak yang 85% hidup di pedesaan malu kalau mengaku dari desa maka nya banyak orang batak sering mengaku dari medan (maksud nya 'sumatera utara').
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sumatra Utara: 1.285.600 jiwa. | |
Bahasa | |
Batak: Toba, bahasa Mandailing-Angkola, bahasa Karo, dan bahasa Simalungun, bahasa Pakpak-Dairi, dan bahasa Nias. | |
Agama | |
Kristen (87%), Islam (4%), dan Parmalim (9%). | |
Kelompok etnik terkait | |
suku Gayo, suku Alas |
Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kin jumlah penganut Parmalim dan Pelebegu ini sudah semakin berkurang.
Sub-suku
Suku Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara yakni sebagian besar di Tapanuli, Simalungun, Karo, serta Nias dan Fakfak-Dairi -- kedua wilayah terakhir ini termasuk wilayah Tapanuli. Sub-suku Batak terdiri dari Toba yang bermukim di wilayah Toba yakni Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang; Angkola yang bermukim di wilayah Tapanuli Selatan, Sipirok dan Angkola; Mandailing yang bermukim di Mandailing Natal; Simalungun di daerah Simalungun; Karo di daerah Karo; Fakfak Dairi bermukim di daerah Fakfak dan Dairi. Bahkan dalam pelajaran antropologi yang diajarkan di sekolah-sekolah bahwa Nias, Alas dan Gayo dikelompokkan dalam sub Suku Batak. Dalam dua dasawarsa terakhir ini terbentuk pula sub-suku Batak lainnya, yakni Batak Pesisir. Ir. Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR-RI, pertama kali menjadi ketua Persatuan Batak Pesisir ini. Sub-suku Batak Peisisir ini bermukim (tersebar) di daerah-daerah pesisir pantai Timur Sumatera yakni Asahan, Labuhan Batu dan Rantau Prapat, juga pantai Barat Sumatera yakni Sibolga dan Barus di Tapanuli Tengah.
Pengelompokan sub suku Batak dilakukan berdasarkan wilayah pemukimannya, darpada karena garis keturunan.
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial).
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua sub suku Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial) terlihat dari terbentuknya, tersepakatinya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah. Bagi orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, misalnya, terbentuk suatu tradisi adat-istiadatyang memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba, walaupun marga-marga yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan dan Batubara.
Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan dalam bahasa Batak Toba berbunyi demikian: Jonok dongan pertubu jonokan do dengan parhundul. Artinya, semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.
Jadi pembagian sub-suku Batak lebih ditentukan oleh wilayah pemukiman atau Bius daripada garis keturunan silsilah.
Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatan (kekerabatan)nya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal.
Hulahula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Kepercayaan
Orang Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh misionaris Jerman, Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di huta Dame, Tarutung. Saat ini gereja HKBP telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
- Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
- Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
- Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.
Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Falsafah
Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.
Sejarah
Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari Minangkabau. Perluasan dan penyebaran agama Islam hingga memasuki daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao, namun tidak berhasil. Islam hanya berkembang di kalangan Mandailing dan sebagian Angkola.
Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.
Kontroversi
Belakangan sebagian orang Simalungun, Karo dan Nias tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari (sub-suku) Batak. Sementara Suku Alas, Suku Gayo, dan Suku Kluet dalam pergaulan sehari-hari sejak Indonesia merdeka tidak menyebut diri sebagai bagian dari suku Batak.
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Tapanuli, Karo, Toba, Mandailing dan Angkola sebagai etnis Batak.[1]
Referensi
- ^ (Inggris) Leo Suryadinata, Evi Nurvidya arifin, Aris Ananta, Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, hal.48.