Mustain Billah dari Banjar
Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah adalah Sultan Banjar IV yang memerintah antara 1595-1642. Ia menggantikan ayahnya Sultan Hidayatullah (Sultan Banjar III).
Gelar lain : Pangeran Kacil/Panembahan Marhum/Mustakim Billah/Musta Ayinubillah/Mustain Allah/Mustain Ziullah/Raja Maruhum.
Silsilah
Nama kecilnya Raden Senapati atau disebut pula Gusti Kacil. Ayahandanya adalah Sultan Hidayatullah I. Sedangkan ibunya adalah seorang isteri selir, yaitu puteri dari Tuan Khatib Banun - seorang menteri orang Biaju yang sudah memeluk Islam. Ayahandanya banyak memiliki isteri maupun gundik sehingga saudara-saudaranya sangat banyak, menurut Kronik Cina jaman Dinasti Ming menyebutkan anak Sultan Hidayatullah ada 31 orang, Raden Senapati sendiri merupakan anak sulung. Ayahandanya mula-mula menikahi Putri Nur Alam puteri Pangeran di Laut (putera dari Pangeran di Hangsana?) yang melahirkan Raden Subamanggala. Ayahanda juga menikahi puteri dari Kiai di Podok yang melahirkan Raden Bagus dan Putri Hayu. Dari isteri yang lainnya, ayahandanya juga memiliki putera yang cukup penting peranannya yaitu Raden Rangga-Kasuma.
Raden Senapati menikahi sepupunya Putri Juluk puteri Pangeran Demang, sehingga dalam upacara perkawinan tersebut namanya mendapat gelar Pangeran Senapati, sedangkan Putri Juluk mendapat gelar Ratu Agung. Raden Bagus mendapat gelar Ratu Bagus sebagai putra mahkota, kemungkinan karena dukungan politik dari putera-putera Kiai di Podok yang menjabat menteri kerajaan yaitu Kiai Wangsa dan Kiai Warga. Sedangkan Raden Subamanggala mendapat gelar Pangeran Mangkunagara, walaupun sebagai anak gahara dari permaisuri Putri Nur Alam, ia tidak mendapat dukungan menjadi Putra Mahkota.
Keturunan
Adapun anak-anak Sultan Mustain Billah dari permaisuri Ratu Agung yaitu :
- Ratu Agung/Sultan Inayatullah/Pangeran Dipati Tuha 1
- Panembahan di Darat/Pangeran di Darat/Pangeran Dipati Anom 1
- Pangeran Dipati Antasari
- Ratu Bagawan/Ratu Kota Waringin/Pangeran Dipati Anta-Kasuma
- Ratu Ayu/Putri Busu
Sedangkan anak bungsu dari selir orang Jawa yaitu :
- Pangeran Ratu/Sultan Rakyatullah/Pangeran Dipati Tapasena/Raden Halit
Awal Karir
Menurut Hikayat Banjar Resensi II teks Cense diketahui bahwa ayahanda dari Pangeran Senapati/Gusti Kacil yaitu Sultan Hidayatullah I alias Panembahan Batu Hirang telah dibawa (ditawan) ke Jawa oleh Susuhunan Mataram yang menjadikannya tukang masak nasinya. Ketika putera sulung Hidayatullah, Gusti Kacil dewasa, baginda mendapat tahu tentang pengurungan ayahandanya di pulau Jawa. Bersama dengan empat orang anak lelaki yaitu Kiai Martasura, Kindumui, Kinduaji dan Kiludara, baginda berangkat ke pulau Jawa. Dengan memperlihatkan kelebihan meraka dalam ilmu sihir kepada pegawai-pegawai istana Jawa, anak-anak tersebut telah membujuk Susuhunan menyerahkan Sultan mereka. Mereka berangkat pulang bersama Hidayatullah I ke Candi Agung (!). Gusti Kacil kemudian naik tahta kerajaan dengan gelar Sultan Musta'in atau biasa banginda dipanggil Marhum.
Diduga cerita di atas mengandung rahasia yang bernilai, walupun bersifat legenda. Dari cerita ini diketahui bahwa Hidayatullah I telah dibuang ke luar negeri dan kemudian berangkat pulang ke Banjarmasin atas usaha yang dilaksanakan oleh Pangeran Senapati. Maklumat dari Hikayat Banjar Resensi I diketahui bahwa selepas kejatuhan Demak maka Sultan Banjarmasin tidak lagi mengantar upeti kepada raja-raja Jawa. Juga dari laporan perkawinan putera-putera Hidayatullah I terlihat bahwa Raden Bagus yang telah dilantik sebagai Putra Mahkota dengan gelar Ratu Bagus, tidaklah berhak menaiki tahta, sebab Ratu Bagus putera dari selir yaitu seorang perempuan biasa puteri dari Tuan Khatib Banun. Padahal terdapat seorang kakandanya lagi yang merupakan putera gahara dari permaisuri Putri Nur Alam yaitu Raden Subamanggala yang sepatutnya menggantikannya selepas kemangkatan Hidayatullah I. Dari Hikayat Banjar diketahui Ratu Bagus akhirnya pulang dari Jawa (Tuban) dimana baginda telah ditahan selepas orang-orang Banjar dikalahkan oleh Susuhunan Mataram. Kepulangannya tersebut di masa kekuasaan Marhum Penembahan.
Diduga kemungkinan yang terjadi di keraton Banjar di masa Sultan Hidayatullah I adalah kelompok Raden Subamanggala dan kakeknya Pangeran di Laut tidak menyenangi pelantikan Raden Bagus sebagai Putra Mahkota. Mereka meminta bantuan Mataram dengan menawarkan perhambaan Kalimantan yang diperbaharui kepada Jawa. Dengan menggunakan kegagalan Hidayatullah I membayar upeti sebagai alasan, Sultan Mataram kemudian mengirim pasukan perang. Selepas kekalahan tentara kerajaan Banjar, Sultan dan Putra Mahkota ditawan ke Mataram sebagai tebusan, akan tetapi Raden Subamanggala sendiri tidak ditabalkan di atas tahta, karena jika tidak, tebusan-tebusan tidak lagi bernilai. Pada masa selanjutnya Pangeran Senapati sudah sampai masanya untuk membawa pulang Sultan tua dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan tanpa peduli langsung tentang saudara tirinya sang Putra Mahkota. Setelah sampai di Banjarmasin, Pangeran Senapati menaiki tahta sebagai Sultan Mustain Billah dengan dilantik resmi oleh Sultan tua. Putera-putera Kiai di Podok sebagai pamanda dari Putra Mahkota Ratu Bagus menentang penabalan Pangeran Senapati sebagai Sultan, tetapi mereka dapat dikalahkan dengan bantuan pahlawan-pahlawan Biaju. Lama selepas itu episode pahit pembuangan Sultan Hidayatullah I ini dilupakan dengan membuang halaman-halaman yang janggal di dalam HIkayat Banjar Resensi I, sehingga terdapat bagian-bagian laporan yang terputus di tengah-tengah Hikayat Banjar tersebut.
Hubungan Mustain Billah dan suku Dayak-Kaharingan
Diang Lawai, seorang Dayak Ngaju (Biaju) adalah salah seorang isteri dari Marhum Panembahan. Ketika munculnya desas-desus dikonversikannya Diang Lawai yang beragama Kaharingan, hal tersebut membangkitkan kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar selama 20 tahun. Walaupun issue pengislaman Nyai Diang Lawai itu ternyata tidak benar, tetapi karena salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan di kalangan orang Islam. Kesalahpahaman itu terjadi karena adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja, padahal sebenarnya dia mengalami sedikit tidak enak badan karena mulai hamil muda.
Perang karena sentimen agama ini sangat membekas dalam ingatan kolektif orang Dayak Ngaju yang diabadikan dalam mitos asal-usul, disebut Zaman Raja Maruhum Usang. Dalam kitab suci agama Kaharingan yang disebut Panaturan, Raja Marhum (Raja Helu Maruhum Usang) dan Nyai Siti Diang Lawai merupakan bagian dari leluhur orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka meninggal dunia menjadi Sangiang (manusia ilahi) dan berdiam di Lewu Tambak Raja, yaitu salah satu bagian dari Lewu Sangiang (perkampungan para dewa). Karena Raja Maruhum adalah seorang Muslim maka di perkampungan para dewa itu disebutkan ada masjid .
Marhum Panambahan mempunyai hubungan geneologis dengan orang Dayak Ngaju, sebab ibunya merupakan seorang Dayak Ngaju sehingga ketika wafat ia menjadi salah satu Sangiang dari orang-orang Dayak Ngaju. Karena itu dalam sistem kepercayaan orang Ngaju, ia dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia Sangiang) untuk menjadi salah satu Pantheon mereka.
Marhum Panembahan merupakan raja Banjar yang berdarah Biaju (Ngaju), karena itu dengan mudah ia bisa meminta bantuan orang-orang suku Biaju untuk 'menghabisi' para lawan politiknya yaitu para bangsawan keraton Banjar. Ia meminta seorang panglima perang suku Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh orang kawannya untuk masuk Islam dan tinggal menetap di kalangan warga kesultanan. Sorang akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan yaitu dengan mengawinkannya dengan Gusti Nurasat, saudara sebapak dari Marhum Panembahan. Penerimaan Sorang masuk ke lingkungan istana dikarenakan Marhum Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju. Hal tersebut sebagai usaha pengokohan kedudukannya dan golongannya atas suatu hak yang diperolehnya dengan jalan usurpasi. Ia memulai menjalankan pemerintahan tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat yang berpengalaman.
sejarah
Serangan VOC tahun 1612 yang menyebabkab pemindahan ibukota kerajaan dari Banjarmasih (Kuin) ke hulu sungai Martapura yaitu ke Kuliling Benteng, kemudian ke Batang Mangapan dan ke Batang Banyu.
Setelah wafatnya beliau mendapat gelar anumerta Marhum Panembahan. Ibu beliau adalah puteri dari Khatib Banun, seorang menteri Kesultanan Banjar yang berasal dari kalangan suku Biaju (Dayak Ngaju) yang sudah memeluk Islam. Isteri Sultan Mustain Billah yaitu Nyai Biang Lawai juga berasal dari kalangan suku Biaju.
Penggantinya sebagai Sultan Banjar adalah puteranya Sultan Inayatullah, sedangkan salah seorang anaknya yang lain, Pangeran Dipati Anta Kasuma menjadi Raja Kotawaringin. Kotawaringin adalah wilayah pecahan Kesultanan Banjar yang berada pada daerah paling barat yang berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura.
Pada tahu 1620 telah terjadi kebakaran besar di Banjarmasin (Bandarmasih) dan pusat pemerintahan kesultanan di Banjarmasin di pindahkan ke Pamakuan Sungai Tabuk karena datangnya serangan-serangan dari pihak Kompeni Belanda. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan pula ke Batang Mangapan atau Muara Tambangan, sekarang Kayu Tangi Dalam Pagar Martapura. Pada zaman Sultan Mustain Billah, tercatat pula para punggawa sebagai pembantu beliau yaitu:
- Kiai Wangsa
- Kiai Wirya
- Kiai Kandurun
- Kiai Djajabaya
- Kiai Lurah Satun
- Gindu Aji
- Gindu Mui
- Gindu Bahar/Mahar
- Kiai Martasura
- Kiai Wirayuda
Cucu Sultan Mustainbillah ialah Puteri Gelang, yang dikawinkan dengan cucu Sultan Hidayatullah yaitu Dipati Ngandingan, dan Dipati Ngandingan dikawinkan pula dengan cucu Haji Tunggal yang dijemput di Kerajaan Pasir dan Dipati Ngandingan ditugaskan memerintah di Kotawaringin.
Pada zaman tersebut tercatat tenggelamnya 4 buah kapal Kompeni Belanda, dan Pertahanan Kesultanan terkenal mulai Pemakuan Batang Mangapan/Muara Tambangan Dalam Pagar, Kayu Tangi Martapura.
Dewan Mahkota
Selama kekuasaan Sultan Musta’in Billah sistem politik dan pemerintahan negara menjadi lebih kompleks. Mangkubumi bertindak sebagai King Viceregent mempunyai 4 deputi dan 4 hakim untuk memecahkan masalah hukum.
Dalam kasus masalah sekuler yang mempunyai wewenang pertama adalah : para hakim, raja, para deputi dan terakhir Mangkubumi yang memberikan pendapat.
Dalam kasus masalah negara, termasuk hubungan luar negeri, monopoli perdagangan, serta mengadakan kontrak perdagangan dengan luar negeri, diselesaikan oleh Mangkubumi dan para Dipati, dalam hal ini raja mempunyai kata terakhir.
Tradisi untuk menyelesaikan masalah negara berkembang menjadi suatu sistem yang kemudian menjadi suatu institusi yang paling berwewenang yang disebut Dewan Mahkota (The Royal Council).
Situasi di Masa Mustain Billah
Di masa pemerintahan Mustain Billah, perkenalan pertama orang Banjar dengan Belanda terjadi ketika beberapa pedagang Banjar melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan Banten dalam tahun 1596. Akibat sikap Belanda yang sombong, para pedagang di Kesultanan Banten tidak mau menjual lada kepada para pedagang Belanda, sehingga mereka tidak memperoleh lada di Banten. Pada saat itu di pelabuhan Banten berlabuh dua buah kapal jung yang berisi muatan lada dari Kesultanan Banjar yang dibawa pedagang-pedagang Banjar. Lada merupakan komoditas ekspor primadona Kesultanan Banjar pada abad ke-17. Karena tidak memperoleh lada di Banten, maka Belanda merampok lada dari dua buah jung tersebut. Bagi orang Banjar peristiwa itu menjadi kesan awal yang buruk terhadap Belanda. Untuk mengetahui daerah Kesultanan Banjar yang merupakan daerah penghasil lada, Belanda mengirim sebuah ekspedisi ke Banjarmasin pada tanggal 17 Juli 1607 dipimpin Koopman Gillis Michielzoon. Utusan Belanda tersebut dan seluruh anggotanya diajak ke darat, dan kemudian seluruhnya dibunuh, serta harta benda dan kapalnya dirampas. Peristiwa pembantaian terhadap utusan Belanda dengan anggotanya di Banjarmasin itu, menyebabkan Belanda tidak pernah berhasil tinggal lama di Banjarmasin. Dalam tahun 1612 secara mengejutkan armada Belanda tiba di Banjarmasin untuk membalas atas terbunuhnya ekspedisi Gillis Michielzoon tahun 1607. Armada ini menyerang Banjarmasin dari arah pulau Kembang, menembaki Kuyin, ibukota Kesultanan Banjar. Penyerangan ini menghancurkan Banjar Lama yang merupakan istana Sultan Banjar, karena itu ibukota kerajaan dipindahkan, dari Kuyin yang hancur ke Kayu Tangi (Telok Selong), Martapura. Meskipun ibukota kerajaan telah dipindahkan, namun aktivitas perdagangan, di pelabuhan Banjarmasin tetap ramai. Hubungan dagang dengan bangsa asing tetap berjalan terutama dengan bangsa Inggris. Tahun 1615 Casirian David telah mendirikan faktory di Banjarmasin. Hubungan dagang dengan Belanda terputus, tetapi diteruskan dengan perantaraan orang-orang China. Pedagang Denmark juga telah menetap di Banjarmasin.
Situasi di Masa Mustainbillah
Pada tahun 1626 produksi lada Banjar sangat meningkat, sehingga VOC berusaha untuk memperoleh monopoli lada, dan berusaha menghilangkan kejadian tahun 1612 yaitu penyerbuan Belanda terhadap kerajaan Banjar. Belanda juga meminta maaf atas perbuatannya merampok kapal kesultanan Banjar dalam pelayaran perdagangan ke Brunei 4 Juli 1626. Perdagangan kerajaan Banjar diarahkan ke Cochin Cina dan Makassar sehingga Belanda merasa dirugikan akibat perpindahan route dagang kerajaan Banjar itu.
Ancaman Mataram
Mataram meluaskan wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan pantai utara Jawa, tahun 1625 menaklukkan Surabaya dan Sukadana, sehingga kesultanan Banjarmasin merasa akan diserang oleh Mataram. Keinginan Mataram menguasai Banjar pada tahun 1629 bertambah besar, karena menguasai Banjarmasin berarti menguasai perdagangan lada. Pada masa itu kerajaan Banjarmasin berkembang sebagai negara maritim akibat dari perpindahan route perdagangan, melalui Makassar, Banjarmasin, Pattani, Cina atau Makassar terus ke Banten dan India. Banjarmasin menggantikan kedudukan Gresik, setelah bandar-bandar di pantai utara Jawa dimusnahkan Mataram. Semaraknya pelabuhan di Banjarmasin disebabkan bantuan imigran Jawa yang menjadikan Banjarmasin sebagai pusat modal dan perkapalan mereka. Jung-jung diperlukan bagi perdagangan lada dan pelayaran.
Utusan ke Batavia
Kesultanan Banjarmasin mengirim utusan ke Batavia, untuk merundingkan bantuan VOC, dalam rangka siap siaga menghadapi serbuan Mataram. Bulan Juli 1633 G. Corszoon utusan VOC tiba di Banjarmasin, dan berupaya membujuk Sultan agar memberikan hak monopoli kepada VOC, namun Sultan menolak, karena hak monopoli telah diberikan kepada Makassar. Sultan Inayatullah sebetulnya hanya menjalankan taktik, agar kapal VOC menjadi perisai bagi kesultanan Banjarmasin, dengan tujuan Mataram akan gentar untuk menyerang Banjarmasin. VOC berupaya agar monopoli lada di Banjarmasin dapat dikuasainya. VOC menjalankan taktik demonstrasi kekuatan dengan mengirimkan 6 buah kapalnya, pada bulan Januari 1634 kapal-kapal itu tiba di pelabuhan Banjarmasin. Usaha VOC untuk memasuki sungai kembali menemui kegagalan, karena muara sungai Kuin penuh dengan cerucuk (penghalang), sehingga kapal-kapal VOC tidak bisa merapat ke pelabuhan.
Perjanjian 4 September 1635
Kekuasaan pasar dan perdagangan di Kesultanan Banjar, terletak pada wewenang syahbandar yang biasanya dijabat oleh orang asing. Dalam tahun 1625, jabatan syahbandar ini dijabat orang Gujarat, Goja Babouw dengan gelar Ratna Diraja.
Syahbandar memiliki wewenang dalam bidang perdagangan dan monopoli penjualan dan pembelian bangsa asing sangat tergantung padanya. Kompeni Belanda berusaha untuk memperoleh monopoli dengan Kesultanan Banjar, usaha ini untuk menekan perdagangan Banjar yang sampai ke Cochin-Cina. Tetapi ketika wakil VOC, G. Corszoon tiba di Banjarmasin pada bulan Juli 1633, ternyata monopoli itu telah diberikan kepada orang Makassar.
Kedatangan VOC hanya digunakan sebagai tameng dari serbuan Kesultanan Mataram semata. Sultan Inayatullah berprinsip bahwa perdagangan harus bebas. Kompeni Belanda memamerkan armadanya dengan mendatangkan 6 buah kapal dalam bulan Januari 1634 tetapi sungai penuh dengan penghalang berupa batang kayu besar sehingga sulit masuk ke Banjarmasin, dan Sultan telah siap menghadapinya dengan 3.000 orang pasukan.
Pertemuan antara Sultan Mustainbillah dengan Pool pimpinan armada Belanda, bahwa Belanda akan diberi monopoli asal Belanda bersedia menjamin keamanan pelayaran orang Banjar terhadap serangan orang Jawa dan Makassar.
Perjanjian selanjutnya baru disepakati pada 4 September 1635. Sultan diwakili oleh Syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw dan pertemuan diadakan di Betawi. Inilah kontrak dagang pertama yang diadakan Kesultanan Banjar dengan Kompeni Belanda. Kompeni Belanda di wakili oleh : Hendrik Brouwer, Antonio van Diemen, Jan van der Burgh, Steven Barentszoon.
Isi perjanjian :
- Banjarmasin tak akan menjual atau mengekspor ladanya selama di Banjarmasin masih ada orang-orang VOC ataupun kapal-kapalnya.
- Peminjaman uang sejumlah 3.000 real kepada Sultan yang akan dibayar kembali dengan lada seharga 5 real sepikulnya.
- Pinjaman ini yang dibelikan kepada picins dan barang-barang lainnya atas nama Sultan boleh diangkut tanpa bea oleh kapal-kapal VOC.
Perdagangan Lada
Mendekati tahun 1628, Banjarmasin penghasil lada terbesar di Indonesia bagian tengah. Lada diangkut ke Cina, Jepara, Makassar dan Batavia, daerah pemasaran lada. Ketika VOC menurunkan harga lada, pedagang Banjar memindahkan perdagangannya ke Cochin dan menyebabkan perdagangan kontinental menjadi ramai. Keberanian VOC menurunkan harga lada, karena meningkatnya kekuasaannya di pulau Jawa. VOC berupaya menjalankan strategi perdagangan, dan mulai mencampuri urusan-urusan istana.
- Golongan bangsawan Banjar menguasai seluruh perdagangan karena kekuasaan mereka dalam bidang politik dan pengusaha hak apanase yang menghasilkan komoditas ekspor saat itu. Di daerah pedalaman perkebunan lada dikuasai kaum bangsawan seperti di daerah Negara, Alai, Tabalong, sehingga Dijk menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Surya Nata II sebagai : Koning yan het pepergebergte (raja dari pegunungan lada). Para bangsawan mempunyai pasukan sendiri dan budak-budak yang dipersenjatai.
- Perdagangan lada sangat mempengaruhi perkembangan politik kesultanan Banjar. Pokok pangkal pertikaian antar keluarga keraton dan perebutan kekuasaan, pertikaian menghadapi Belanda semuanya bersumber dari sengketa penghasilan dari perkembangan perdagangan ini. Perdagangan lada menjadi sumber kemakmuran dan kekayaan, sekaligus menjadi sebab-musabab pertikaian.
- Perdagangan di Banjarmasin dimonopoli orang-orang Cina. Besarnya volume perdagangan lada yang diangkut ke Cina, merupakan dorongan peningkatan penanaman lada. Kapal-kapal Cina mengangkat ke Banjarmasin barang-barang porselen, yang sangat laku di Banjarmasin sehingga rata-rata 12 buah jung Cina tiap tahun datang ke Banjarmasin. Pengaruh golongan Cina turut menentukan perkembangan politik kerajaan Banjar. Bahkan Sultan, sering menggunakan golongan Cina untuk menghadapi lawan politik dalam negeri, maupun menghadapi politik perdagangan luar negeri. Pesatnya perdagangan di Banjarmasin, menghasilkan kekayaan yang berlimpah.
- Jenis perdagangan yang paling menonjol di Pelabuhan Banjarmasin adalah lada karena pemakaian lada dunia yang luar biasa di Eropa. Kesultanan Banjarmasin, mengandalkan lada sebagai komoditas ekspor.
- Jenis-jenis bahan perdagangan yang diperdagangkan selain lada antara lain : emas, intan, cengkeh dan pala, mutiara, kamfer, bezoin, drakendoed, poreo, lilin, barang anyaman. Sedangkan barang-barang impor berupa : batu agiat merah, gelang, cincin, tembaga, batu karang, porselen, beras, candu, garam, gula, asam, kain dan pakaian.
- Jalur perdagangan kesultanan Banjarmasin sampai ke Cochin Cina, disamping perdagangan di seluruh Nusantara.
- Para pedagang yang ikut meramaikan perdagangan di kesultanan Banjarmasin terdiri dari : orang-orang Cina, Siam, Johor, Jawa, Palembang, Portugis, Inggris dan Belanda.
- Persaingan dagang sangat ketat, karena perdagangan bebas merupakan politik kerajaan yang dipegang teguh. Campur tangan kerajaan boleh dibilang tidak terlalu ketat terhadap dunia perdagangan, namun peranan syahbandar, sangat menentukan terhadap maju mundurnya perdagangan di pelabuhan, khususnya di kesultanan Banjarmasin.
- Tanah-tanah apanase umumnya ditanami lada, yang mengakibatkan produksi pertanian menjadi menurun, sehingga kesultanan Banjar kekurangan beras, tergantung pada pemasukan beras dari luar, seperti Kotawaringin, Jawa dan Makassar.
- Orang Banjar pada mulanya bercocok tanam padi, mengubah usahanya dengan berkebun lada. Para Petani perkebunan ini menjualnya kepada pambalantikan (agen pembelian) yang kemudian menjualnya ke pedagang asing. Petani perkebunan sebagian besar adalah para bangsawan yang memiliki tanah apanase yang luas. Kefeodalan Banjar diwarnai oleh kepemilikan tanah apanase yang menghasilkan lada, dan sebagai pedagang yang menjual ladanya kepada pedagang asing. Hal ini faktor penyebab persaingan dan pertikaian antar bangsawan menyangkut tahta, harta kekayaan, dan perdagangan lada.
Inggris
Kontrak dagang pertama baru berhasil dilakukan VOC setelah mendapatkan tuan syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw tanggal 4 September 1635. Isi kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjarmasin untuk menaklukkan Pasir, dan melindunginya terhadap serangan Mataram. Namun kedatangan kapal Pearl Inggris di Banjarmasin, Tewseling dan Gregory tanggal 17 Juni 1635, Inggris meminta diperbolehkan secara resmi, untuk ikut berdagang dan mendirikan loji, yang bagi VOC tentunya membahayakan eksistensinya di Banjarmasin.
Sultan Mustainbillah memberi izin pada VOC membangun loji, sedangkan terhadap Inggris, Sultan sangat marah. Hal ini disebabkan Inggris telah menghasut orang Makassar, agar menyerang Banjarmasin.
Penolakan Sultan Mustainbillah atas Inggris tidak seluruhnya disetujui kerabat istana Banjarmasin, sehingga menimbulkan klik-klik istana. Sebagian anggota Dewan Mahkota memihak Inggris seperti Pangeran Marta Sahary, Raja Kotawaringin (Pangeran Dipati Anta-Kasuma) dan Raja Sukadana. Klik pro Inggris ini bertambah besar, hasrat perdagangan bebas, yang menyebabkan munculnya Contract Craemer Opperkoopman VOC memaksakan agar kontrak tahun 1635 diberlakukan. Pelayaran perdagangan Banjar ke Batavia diberi VOC surat pas, sedangkan ke Cochin Cina tidak diberikan meskipun Sultan memintanya.
Keadaan ini menunjukkan VOC telah memaksakan monopoli perdagangannnya, hingga tidak mengizinkan bagi pedagang Jawa, Cina, Melayu, Makassar untuk menjalankan perdagangannya dengan kesultanan Banjarmasin.
Ketika Contract Craemer menolak permintaan Sultan untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang anti VOC, pada tahun 1638.
Didahului oleh: Panembahan Batu Irang |
Sultan Banjar 1595-1642 |
Diteruskan oleh: Ratu Agung |
Rujukan
- Hikayat Banjar
- Marko Mahin dalam "URANG BANJAR IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN".
- M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.