Kerajaan Bukit Batu Patah
Artikel ini tidak memiliki bagian pembuka yang sesuai dengan standar Wikipedia. |
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (8 Desember 2009) |
Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Pasumayan Koto Batu
Sejarah
Lima kaum akhirnya melepaskan diri dari undang-undang simumbang jatuh dan menciptakan hokum sendiri yang bernama Sigamak-gamak atau undang-undang tarik baleh. Luhak nan tigo sudah ditetapkan di zaman ini.
Hokum yang baru ini lebih lunak daripada undang-undang sebelumnya. Akibat pelaksanaan hokum yang keras di Bungo Setangkai (wilayah Pasumayan Koto Batu) timbullah pergolakan di tengah masyarakat dan membuat seorang pertapa di Bukit Batu Patah turun tangan. Beliau bernama Sutan Nun Alam, yang masih berhubungan darah dengan Datuk Suri Dirajo.
Maka reduplah wibawa kerajaan Pasumayan Koto Batu dan muncullah sebuah kerajaan baru yang bernama Kerajaan Bukit batu Patah. Disini terdapat makam raja-raja.
dalam pemerintahan dibentuk kesatuan rajo dua selo dan basa empat balai.
Sutan Nun Alam kemudian digantikan oleh Run Pitualo. Selanjutnya Maharajo Indo naik tahta pula.istana dipindahkan dari puncak bukit ke kaki bukit dipinggir sungai Bungo dan di ulak batu nan dua di dalam, Koto Pagaruyung. Di zaman ini Islam sudah masuk ke wilayah Minangkabau terutama wilayah Timur.
Raja selanjutnya ialah Yang Dipatuan Sati. Beliau sudah memeluk Islam dan memerintah dengan pengaruh Islam.
Kesatuan duo selo ditambah menjadi tigo selo.
Referensi
- A. Samad Idris, Payung Terkembang, Pustaka Budiman, Kuala Lumpur, 1990