Si Pitung

Jawara Betawi

Kisah Si Pitung menggambarkan sosok pendekar Jakarta dalam menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu.

Kisah ini diyakini nyata keberadaannya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama di daerah Kampung Marunda di mana terdapat Rumah dan Masjid lama.

Sejarah

Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasasrkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini terkadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992)[1] SI Pitung di identikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial (Van Till, 1996).


Tempat Lahir

Si Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bung Piung dan ibunya bernama Mbak Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).


Nama Asli Si Pitung

Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituann Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).


Awal Legenda

Menurut versi van Till(1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah. Sebagai tindakan balasan kemudian Pitung melakukan pencurian di tempat Haji Saipudin seorang kaya Juragan Tuan Tanah di Marunda pada waktu itu. Rumah Haji Saipudin (Rumah ini sekarang menjadi tempat Musium Si Pitung. Legenda maupun di kisahkan dalam film Si Pitung Banteng Betawi, Si Pitung dan Kawanan-nya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung Banteng Betawi, Pitung sebagai Demang dan Jiih sebagai (“Opas Kompeni”). Kemudian melakukan pnipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin untuk menyimpan uang Haji Saipudin ke tempat Demang. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.

Akibat dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan oleh “kompeni”. Hal ini menarik perhatian dari komisaris polisi yang bernama Heyne (“Schout Heyne, atau Heijna, Scothena, atau “tuan Sekotena”). Secara resmi nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W.V. Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda. Hinne memulai karir sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belnda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat, di Indonesia. Hinne menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880 Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia; Sumber: Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan Demang Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan “magis” tetapi menurut versi Film Si Pitung, Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.

Kemudian Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung berupa “jimat” sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diiragukan. Tetapi menurut Versi Film Si Pitung Banteng Betawi dikhianati oleh Somad yang memberi tahukan kelemahan Pitung untuk emngambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa si Pitung diambil jimat “Keris” sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Akhirnya Pitung meninggal karena peluru emas. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut karena sesorang melemparkan telur. Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur berdasarkan Rancak Si Pitung.


'Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin Aer keras ucusnya dikeringin Waktu dikubur pulisi pade iringin Jago nama Pitung kuburannya digadangin Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi Yang gali orang rante mengaku paye Belencong pacul itu waktu suda sedie Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye Dilongok dikeker bangkenye masi die Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata Dicitak di kantor, koran kantor berita Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta Pesta itu waktu keiewat ramenye Segala permaenan kaga larangannya Tuju ari tuju malem pesta permisiannya Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya.

Menurut Damardini (1993:148) menyatakan bahwa dalam Van Till (1996):

Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.'


Pitung menjadi karakterr sebagai Robin Hood versi Betawi diekmbangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).Karmani menulis novel Si Pitung, novel ini dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali (1993).

'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7)


Kisah Nyata Si Pitung

Menurut [2] 22-11-1892 (Koran Terbitan Malaya pada saat itu. Pada tahun 1892 SI Pitung dikenal pada sebagai “one Bitoeng”, “Pitang: kemudian menjadi “SI Pitoeng” (Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi. Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam dan Seragam Polisi serta Topi serta beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung Hindia Olanda, 28-6-1892:2). Kemudian sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2) Kemudian SI Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.

Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasehat dari Kepada Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2). Kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893), Pitung dan Dji-ih menrencanakan kabur dengan cara yang misterisu dari tahan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak sukses. Kemudian kepala penjara dicurigai karena kemungkinan melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Kemudian akhirnya seseorang petugas penjaran ternyata meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)”. Kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).

Si Pitung lepas lagi, dan rumor dari petualangan Pitung itu pernah dikatakan menampakkan diri ke seorang wanita di sebuath perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tesrebut Hidia Olanda, 12-5-1893:3). Harga untuk SI Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden.

Sebagai tindakan balas dendam Pitung melakukan pencurian secara kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Kemudian pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C seorang wanita pedagang di Kali Besar bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).


Selanjutnya Dji-ih ditangkap kembali di kampun halamannya, karena menderita sakit. Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampunga pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit dia tidak dapat berdaya untuk melawan walaupun pistol dalam jangkauannya. (Hindia Olanda 19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawana. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak oleh Pitung di tempat yang susah dijangkau hanya beberapa minggu kemudian.

Pernyataan surat kabar Hindia Olanda yang menyatakan si informati dibunuh oleh Pitung,

“'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan tempat sepi troes. Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)

Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informasi bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu kampung diantara Tanjung Priok dan Meester Cornelis (Sekarang disebut sebagai Jatinegara, Jakarta Timur). Kemudian dalam perajalanannya Hinne dilaporkan bahwa Pitung terlah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menangkapnya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.

Setelah Hinne menangkap Pitung kemudian dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh MetropolitanBatavia-Weltevreden.


Kesaktian dan Kematian Si Pitung

Berdasarkan cerita legenda Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut diatas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2) sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Hal ini mengindikasikan bahwa seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian SI Pitung hilang akibat dipotong rambutnya.

Film

  • Si Pitung (1970)
  • Si Pitung Banteng Betwai (1971)
  • Pembalasan Si Pitung

Catatan

  1. ^ Koesasi
  2. ^ Hindia Olanda

Referensi

  • Margereet Van Till [In Search of Si Pitung, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 152(1996), no: 3, Leiden, 461-482)
  • Basoeki Kaoesasi, 1992, Lenong dan SI Pitung, Centre of Southeast Studies-Australian National University.
  • Palupi Damardini , 1993, Cerita Si Pitung Sebagai Sastra Lisan: Analisis Terhadap Struktur Cerita, Tesis Master, Fakultas Sastra Universitas Indonesia)
  • Rahmat Ali, 1993, Cerita Rakyat Betawi I, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana