Perilaku menyimpang
Perilaku menyimpang secara sosiologis dan general dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.
Definisi
Menurut arti bahasa yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perilaku menyimpang diterjemahkan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang mengacu pada norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti itu –penyimpangan perilaku atau perilaku menyimpang– terjadi karena seseorang [telah] mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku (hukum) baik yang tersirat maupun tersurat dan berlaku di tengah masyarakat, sehingga perilaku [pelaku]nya sering disematkan dengan istilah-istilah negatif yang notabene dianggap kontraproduktif dengan aturan yang sudah ditetapkan dan terdapat di dalam norma-norma maupun hukum Agama dan negara.
Perilaku menyimpang atau penyimpangan perilaku itu sendiri dapat dipetakan dalam tinjauan beberapa aspek dan sudut pandang, di antaranya:
- Seks, atau berkenaan dengan kebutuhan biologis individu maupun kelompok, perilakunya disebut sebagai penyimpangan seks atau seks menyimpang.
- Hukum Negara dan Agama, atau hak hidup individu, atau berkenaan dengan motif seseorang dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya yang esensial, perilakunya disebut dengan penyimpangan atau pelanggaran hukum dan/atau norma agama.
- Perilaku, berkenaan dengan cara berfikir atau pandangan dan perbuatan atau tingkah laku individu yang tidak sesuai dengan etika pergaulan yang berlaku di dalam masyarakat, perilakunya disebut dengan perilaku menyimpang.
- Keilmuan, berkenaan dengan cara berfikir, konsep, pandangan, gagasan, dogma, teori yang diajukan ke tengah masyarakat berpengetahuan (knowledge society) dan tidak sejalan dengan hukum, ketetapan, postulat yang telah berlaku (mapan) sebelumnya, disebut dengan penyimpangan konsep atau teori.
Norma-norma
Norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, khususnya di Indonesia, di antaranya adalah norma agama, norma negara, dan norma adat atau etika pergaulan yang berlaku setempat. Begitu pula dengan hukum yang diterapkan oleh masyarakat, meliputi hukum agama (syariat agama), hukum negara dengan segala bentuk produk hukum lainnya, dan hukum alam atau hukum rimba. Namun, perlu diingat bahwa, menurut Hery Santoso seorang peneliti dan psikoterapis1), perilaku menyimpang yang keluar dari norma-norma kepatutan itu tidak berlaku hanya dibebankan kepada individu saja, melainkan bisa saja terjadi pada kelompok masyarakat itu sendiri, sebagai misal sesuatu yang telah terlanjur "salah kaprah".
Contoh kasus
Contoh kasus:2) Pada kelompok masyarakat tertentu tidak akan dengan mudahnya dapat menerima atau menghilangkan ingatan dari dalam diri mereka tentang masa lalu seseorang yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma, agama, negara dan hukum yang berlaku. Di mana, mereka seolah-olah tidak dapat melegitimasi perubahan sikap dan sifat seseorang yang bisa berubah secara spontan. Misalnya, mantan seorang napi yang secara tiba-tiba dan dalam waktu sekejab berubah menjadi seorang Mubaligh atau ahli Zikir. Sebaliknya masyarakat umum telah terlanjur melegitimasi suatu kebenaran yang salah kaprah, misalnya mereka tidak dapat dengan mudah menerima atau percaya begitu saja begitu saja kalau seseorang pada hari sebelumnya adalah pemain judi, tetapi saat keesokan malamnya menjadi seorang Imam dalam suatu Majelis Zikir di Masjid maupun Musholla.
Bias perilaku
Perilaku menyimpang dalam konteks agama, secara ekstrem perilakunya diberikan stempel sebagai pendosa atau sesat, termasuk ajaran dan faham yang disiarkannya kepada masyarakat dianggap bertentangan dengan syariat maupun akidah agama disebut sebagai ajaran sesat.
Lihat pula
Referensi
1) Asmarandana: "Seni Bercinta Secara Islami"; HS Harding; Bandung, 2010
2) Stress Management: "101 Jurus Jitu Menyiasati Stres pada 2010 hingga 2012"; HS Harding; Bandung, 2009.