Vitamin E adalah nama umum untuk dua kelas molekul (tocopherol dan tocotrienol) yang memiliki aktivitas vitamin E dalam nutrisi. Vitamin E bukan nama untuk setiap satuan bahan kimia spesifik namun daripada itu untuk setiap campuran yang terjadi di alam yang akan menyediakan fungsi vitamin E dalam nutrisi.

Sejarah Penemuan Vitamin E

Vitamin E pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh Dr. H.M Evans dari California melalui penelitian bahwa untuk mempertahankan kehamilan normal tikus betina diperlukan suatu subtansi tak dikenal. Tanpa bahan ini janin tikus akan mati dalam sepuluh hari saat dikandung. Tikus jantan yang kekurangan bahan ini juga mengalami kelainan pada testisnya. Sehingga saat itu vitamin E disebut sebagai vitamin anti kemandulan. Pada wanita juga dianjurkan sebagai perawatan untuk kemandulan, kelainan menstruasi, peradangan vagina, gejala menopause, mencegah keguguran dan kesuburan benih[1].

Vitamin E pertama kali diisolasi pada tahun 1936 dari minyak tepung gandum. Disebut vitamin E karena ditemukan setelah vitamin-vitamin yang sudah ada yaitu A, B, C, dan D. Bentuk vitamin E merupakan kombinasi dari delapan molekul yang sangat rumit yang disebut ’tocopherol’.

Kata ’tocopherol’ berasal dari bahasa Gerika. Toketos yang berati ’kelahiran anak’ dan Phero berarti ’saya bawa’, akhiran ’-ol’ ditambahkan untuk menunjukkan bahwa bahan ini merupakan salah satu dari alkohol yang menyebabkan mabuk jika dikonsumsi dalam jumlah banyak[1].

Sifat-sifat Vitamin E

Tocopherol tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut lemak seperti minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan sebagainya. Vitamin E stabil pada pemanasan dan bersifat basa jika tidak ada oksigen dan tidak terpengaruh oleh asam pada suhu 100o C. Bila terkena oksigen di udara, akan teroksidasi secara perlahan-lahan. Sedangkan bila terkena cahaya warnanya akan menjadi gelap secara bertahap[2].

Sumber Vitamin E

Vitamin E mudah didapat dari bahan makanan atau sayuran. Vitamin E banyak terdapat pada buah-buahan, susu, mentega, telur, sayur-sayuran, tertama kecambah. Contoh sayuran yang paling banyak mengandung vitamin E adalah minyak biji gandum, minyak kedelai, minyak jagung, alfalfa, selada, kacang-kacangan, asparagus, pisang, strawberry, biji bunga matahari, buncis, ubi jalar dan sayuran berwarna hijau.

Satu unit setara dengan 1 mg alfa-tocopherol asetat atau dapat dianggap setara dengan 1 mg. Selain itu ASI juga banyak mengandung vitamin E untuk memenuhi kebutuhan bayi.

Dalam perkembangannya, Vitamin E diproduksi dalam bentuk pil, kapsul, dan lain-lain sebagaimana vitamin-vitamin yang sudah terlebih dahulu ada. Vitamin yang sudah dikemas dalam berbagai bentuk ini banyak dijual bebas di pasaran. Dengan penggunaan yang tepat, vitamin E dalam kemasan akan sangat berguna.

Vitamin E Sebagai Antioksidan

Semua vitamin E adalah antioksidan dan terlibat dalam banyak proses tubuh dan beroperasi sebagai antioksidan alami yang membantu melindungi struktur sel yang penting terutama selaput sel dari kerusakan akibat adanya radikal bebas[3].

Vitamin ini larut dalam lemak[4]. Kelarutannya dalam lemak merupakan sifat yang menguntungkan karena sebagian besar kerusakan akibat radikal bebas terjadi di dalam membran sel dan lipoprotein yang terbuat dari molekul lemak[2].

Vitamin E juga mampu melindungi sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh dari kerusakan. Selain bisa melindungi dari efek kelebihan vitamin A dan melindungi vitamin A dari kerusakan, vitamin ini juga bisa melindungi hewan dari efek berbagai obat, bahan kimia, dan logam yang mendukung pembentukan radikal bebas[1].

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai antioksidan dalam tubuh, vitamin E bekerja dengan cara mencari, bereaksi dan merusak rantai reaksi radikal bebas. Dalam reaksi tersebut, vitamin E sendiri diubah menjadi radikal. Namun radikal ini akan segera beregenerasi menjadi vitamin aktif melalui proses biokimia yang melibatkan senyawa lain[1].

Dosis dan Pengaruh Vitamin E

Kekurangan vitamin E akan menimbulkan efek yang sangat buruk. Ketika kadar vitamin E dalam darah sangat rendah, sel darah merah dapat terbelah. Proses ini disebut hemolisis eritrodit dan dapat dihindari dengan vitamin E. Kekurangan vitamin E dapat berakibat pada sistem syaraf dan otot yang menyebabkan kelemahan, kesulitan berjalan, dan nyeri pada otot betis. Pada bayi, kekurangan vitamin E dapat menyebabkan kelainan yang mengganggu penyerapan lemak pada bayi yang prematur dan kekurangan gizi. Namun kekurangan vitamin E sesungguhnya akan sangat jarang terjadi karena vitamin ini banyak terdapat dalam makanan, terutama dalam minyak sayur. Pada manusia kekurangan vitamin E bisa disebabkan karena diet yang sangat buruk dalam jangka waktu lama[5].

Dosis vitamin E yang besar bisa memperbaiki dan mencegah terjadinya perkembangan kelainan saraf. Beberapa penelitian menunjukan bahwa peningkatan konsumsi vitamin E dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Asupan vitamin E harian sebesar 10-30 mg dianggap cukup untuk mempertahankan kadar viamin E dalam darah. Namun batas konsumsi vitamin E yang dianjurkan adalah 8 sampai 10 IU (International Units)- suatu batas dimana sepertiga orang Amerika menggunakannya. Untuk keuntungan maksimal vitamin E, diperlukan 100 sampai 400 IU setiap hari. Sebagian besar penelitian menunjukan bahwa ini merupakan konsumsi optimal untuk mengurangi resiko penyakit kronis. Sedangkan dalam bahan makanan yang kita konsumsi setiap harinya diperkirakan mengandung 25 IU vitamin E[6].

Pada umumnya vitamin E dianggap sebagai bahan yang cukup aman. Dalam beberapa kasus, kelebihan vitamin E menimbulkan gangguan pada kinerja sistem imun terhadap infeksi. Untuk itu, jumlah vitamin E dalam tubuh harus berada dalam batasan yang ketat.

Catatan Kaki

  1. ^ a b c d Youngson R. 2005. Antioksidan, Manfaat Vitamin C & E Bagi Kesehatan. Cet.1. Jakarta: Arcan.
  2. ^ a b Eitenmiller RR, Lee J. 2004. Vitamin E: food chemistry, composition, and analysis. New York: Marcel Dekker Inc.
  3. ^ Kusrini IA. 2008. Bahasa Indonesia 3. Cet. 1. Jakarta: Quadra.
  4. ^ Aisyiyah. 2003. Suara ʻAisyiyah'. vol. 80. Jakarta: Aisyiyah Association.
  5. ^ Diplock AT. 1989. Vitamin E: biochemistry and health implications. New York: New York Academy of Sciences
  6. ^ [Institute of Medicine US]. 2000. Dietary reference intakes for vitamin C, vitamin E, selenium, and Carotenoids. Washington: National Academy of Science.



––