Teori kritis
Teori Kritis
Merupakan salah suatu perspektif teoritis yang bersumber pada berbagai pemikiran yang berbeda seperti pemikiran Aritoteles, Foucoult, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein dan pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran-pemikiran berbeda tersebut disatukan oleh sebuah orientasi atau semangat teoretis yang sama, yakni semangat untuk melakukan emansipasi.
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis tidak lain ialah bahwa teori ini tidak sama dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Singkatnya, pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris.Selain itu, tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah.[1]
Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik. Sifat politis pengetahuan ini berkembang dari atau dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda.
- Pertama, pemikiran Kant mengenai keterbatasan pengetahuan, yaitu bahwa manusia tidak dapat memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial).
- Kedua, pemikiran Hegel dan Marx bahwa teori dan pembentukan teori tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap teori atau proses pembentukan teori tersebut.
- Ketiga, pemikiran Horkheimer yang membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni tradisional dan kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisahan antara teoretisi dan obyek kajiannya. Artinya, teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada di luar pengamat, sementara teori kritis menolak asumsi pemisahan antara subyek-obyek dan berargumen bahwa teori selalu memiliki dan melayani tujuan atau fungsi tertentu. [2]
Dalam hubungan internasional teori kritis tidak terbatas pada suatu pengujian negara dan sistem negara tetapi memfokuskan lebih luas pada kekuatan dan dominasi di dunia secara umum. Teori kritis mencai pengetahuan bagi tujuan politis: untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik ekonomi dan dunia yang menekan dan dikendalikan oleh Amerika Serikat. Mereka berupaya untuk mendobrak dominasi global negara-negara kaya di belahan bumi Utara atas negara-negara miskin di belahan dunia Selatan.[3]
Pada dasarnya, teori kritis dipengaruhi oleh dua pemikiran utama. Yang pertama adalah teori kritis Frankfurt School, yang sumber-sumber pemikirannya bisa dilacak dari pemikiran-pemikiran Habermas, Adorno, dan Max Horkheimer, serta didukung oleh pemikir-pemikir lain seperti Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Eric Fromm, Albrecht Wellmer, Karl-Otto Apel, dan Axel Honneth. Pengaruh kedua berasal dari karya dan pemikiran Antonio Gramsci. [4]
- ^ http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-varian-paradigmatis.html
- ^ Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati. 2009. Handout 6 Teori Kritis. Program Pascasarjana Ilmu Politik. FISIP UGM Yogyakarta
- ^ Robert Jackson & Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.300
- ^ http://plato.stanford.edu/entries/critical-theory/