Imam Besar atau Imam Agung adalah jabatan yang paling tinggi di dalam agama Yahudi, sebab dipercayai sebagai wakil umat dan pengantara yang kudus antara umat dengan Allah.[1] Itulah sebabnya Yesus disebut sebagai Imam Agung di dalam Kitab Ibrani karena dilihat oleh pengikutnya sebagai satu-satunya pengantara yang sempurna terhadap Allah. Kebesaran jabatannya tidak terlepas dari peran sentral Bait Suci di dalam keagamaan orang Yahudi, sebab Imam Besar bertugas untuk mempersembahkan ritus kurban tahunan Yahudi.[1]

Imam Besar Yahudi dan seorang Lewi pada masa Israel Kuno.

Di dalam Perjanjian Baru, yang tampil sebagai Imam Besar adalah Anas (Lukas 3:2, Yohanes 18:13-14, Kisah Para Rasul 4:6) dan Kayafas (Matius 26:3, Yohanes 11:49, Kisah Para Rasul 4:6). Penggambaran tentang mereka di dalam Perjanjian Baru cukup negatif, yakni sebagai lawan-lawan orang Kristen dan pihak yang berperan di dalam penyaliban Yesus.

Latar Belakang

Jabatan Imam Besar telah ada bersamaan dengan dibangunnya Bait Suci.[1] Pada saat kerajaan Israel terbagi dua, keluarga Imam Zadok berkuasa di Yerusalem, sedangkan Israel Utara dikuasai imam-imam yang diangkat Yerobeam.[1] Sebelumnya, jabatan imam telah lebih dulu berkembang di Israel dan berfungsi di bidang ritus dan hukum keagamaan. [1] Kemudian ketika tanah Israel menjadi perebutan politis antara dinasti Ptolemeus dan Seleukid, yang disertai usaha Helenisasi terhadap budaya Yahudi, muncul pula kontroversi mengenai Imam Besar yang diwarnai dengan persaingan politis untuk menjadi Imam Besar.[1] Kontroversi peran politis Imam Besar masih berlanjut selama pemberontakan Makabe hingga masa kemerdekaan Yahudi di bawah pemerintahan Hasmoni.[1]

Peran Imam Besar

Persembahan Kurban

Menurut peraturan Yahudi, hanya Imam Besar yang diperbolehkan masuk ke dalam ruang maha suci di Bait Suci, yakni satu tahun sekali pada hari raya Penebusan (dalam bahasa Ibrani disebut Yom Kippur).[2] Di dalam ruang maha suci tersebut, Imam Besar melakukan ritus pengurbanan darah domba sebagai ganti dosa seluruh umat Yahudi.[2]

Menjadi Kepala Petugas Bait Suci

Petugas Bait Suci dapat dibagi menjadi dua, kaum imam dan kaum Lewi. Para imam dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok atas dan kelompok bawah. Imam-imam yang tergolong kelompok bawah seringkali termasuk kaum miskin bahkan melarat, sedangkan imam kalangan atas termasuk golongan aritokrat.[3] Imam yang termasuk golongan atas adalah Imam Besar dan imam-imam kepala, yang merupakan mantan imam-imam besar atau anggota-anggota keluarga imam yang darinya Imam Besar dipilih.[3] Kemudian di dalam Bait Suci terdapat bendahara berjumlah tiga orang, yang tugasnya adalah mengelola seluruh pendapatan dan harta benda miliki Bait Suci. [1] Selain itu, terdapat juga pengawal Bait Suci, yang ditugaskan untuk menangkap Yesus (Yohanes 18:3, 12), menangkap para rasul (Kisah Para Rasul 5:24-26), dan mengawal kubur Yesus (Matius 27:65).[4] Imam Besar adalah orang yang mengepalai seluruh petugas Bait Suci tersebut.

Pemimpin Umat Yahudi

Pada masa setelah Pembuangan, kedudukan Imam Besar cukup penting secara politis, sehingga posisi tersebut selalu diawasi dengan ketat oleh penguasa politik, baik raja-raja, seperti Herodes Agung dan keturunannya, maupun oleh pemerintah Romawi.[3] Imam Besar dipilih, diangkat, dan, bila dianggap perlu, dipecat oleh penguasa politik.[3] Akibatnya, para Imam Besar kerap kali agak korup dan jabatan tersebut sering berganti-ganti dengan cara kotor. [3] Selain itu, Imam Besar memiliki kecenderungan untuk berkompromi terhadap penguasa politik asing dan juga budaya Yunani.[5]

Akhir Riwayat Jabatan Imam Besar

Sebagaimana kaum Saduki dan lembaga Sanhedrin, jabatan Imam Besar berakhir ketika Bait Suci dihancurkan pada tahun 70 M.[4] Setelah itu, yang berkembang bukan lagi lembaga keimaman melainkan apa yang disebut Yudaisme Rabinik.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 322-324
  2. ^ a b (Inggris)Bart D. Ehrman. 2004. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. New York, Oxford: Oxford University Press. P. 37.
  3. ^ a b c d e C. Groenen. 1984. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hal 42-43.
  4. ^ a b (Indonesia)John Stambaugh, David Balch. 1997. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 111-114.
  5. ^ (Indonesia)Lawrence E. Toombs. 1978. Di Ambang Fajar Kekristenan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 56-57