Seperti yang sudah kita ketahui bersama, salah satu jabatan gerejawi yang ada adalah pendeta. Untuk menjadi seorang pendeta, dibutuhkan pendidikan khusus yang dapat diperoleh di sekolah-sekolah teologi. Selain itu, untuk mengemban jabatan pendeta ini dibutuhkan sebuah peneguhan atau pengangkatan. Biasanya hal ini kita sebut dengan penahbisan. Dalam liturgi penahbisan pendeta, biasanya hadir pendeta-pendeta senior nya yang akan menumpangkan tangan saat menahbiskan. Penumpangan tangan sering dianggap sebagai simbol pelantikan biasa seorang hamba Tuhan ke dalam jabatan gerejawi yaitu pendeta. Sebenarnya apakah makna dari penumpangan tangan dalam penahbisan pendeta?

Penumpangan Tangan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “penumpangan” berarti proses atau cara menumpangkan. Sedangkan “menumpangkan” berarti memberikan sesuatu supaya dibawa, menyerahkan sesuatu supaya dijaga, menitipkan, mengamanatkan. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penumpangan tangan adalah suatu cara untuk memberikan amanat kepada seseorang dengan menggunakan tangan. Pengertian lain dari penumpangan tangan adalah apabila seseorang meletakkan tangannya atas tubuh orang lain untuk keperluan rohani tertentu . [1]

Alkitab juga menunjukkan beberapa peristiwa penumpangan tangan. Di dalam Perjanjian Lama dapat kita lihat saat Musa menumpangkan tangannya kepada Yosua untuk memberikan kuasa dan hikmat kepadanya sebagai pemimpin baru atas umat Allah. Tuhan memerintahkan agar Musa meletakkan tangannya di atas kepala Yosua. Hal ini berarti Yosua diberikan amanat baru untuk menggantikan Musa dan dengan penumpangan tangan yang dilakukan oleh Musa kuasa Tuhan tercurah atas diri Yosua (Bilangan 27: 15-23). Sama halnya dengan penahbisan pendeta, penumpangan juga melambangkan pencurahan roh kudus atas orang yang hendak ditahbiskan menjadi pendeta atau pemimpin jemaat melalui perantaraan para pendeta-pendeta lainnya.


Dalam Perjanjian Baru juga disinggung mengenai praktek penumpangan tangan. Penahbisan dan peneguhan diyakini sebagai pencurahan karunia dan kuasa Roh Kudus. Pemahaman ini tercatat dalam Perjanjian Baru Apokrif abad kedua.[2] Kisah Para Rasul 6: 1-7 menceritakan bagaimana tujuh orang dipilih untuk membantu rasul-rasul melayankan meja. Mereka didoakan kemudian rasul-rasul itu meletakkan tangan di atas ketujuh orang itu. Penumpangan tangan juga dilakukan oleh Petrus dan Yohanes. Mereka di utus oleh rasul-rasul untuk mencurahkan Roh Kudus kepada orang-orang Samaria ( Kis 8:17).

Sudut pandang Liturgi

Jika kita melihat dari sudut pandang liturgi, penumpangan tangan merupakan salah satu simbol liturgi. Martasudjita dalam bukunya Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi mengatakan bahwa penumpangan tangan termasuk dalam simbol liturgi sentuhan.[3] Menurutnya, manusia juga merupakan simbol liturgi. Dengan menggunakan tubuhnya manusia dapat menyimbolkan sesuatu. Salah satunya tangan dalam penumpangan tangan.

Selain mencurahkan roh kudus, penumpangan tangan juga dapat dimaknai penyerahan tugas dan tanggung jawab. Saat ditahbiskan menjadi pendeta, orang yang ditahbiskan itu secara otomatis menerima tugas dan tanggung jawab yang baru sebagai pendeta. Kemudian, untuk menjalankan tugas kependetaan nya itu ia membutuhkan berkat dari Tuhan. Berkat itu diberikan melalui perantaraan penumpangan tangan yang dilakukan oleh para pendeta yang hadir. Dengan demikian penumpangan tangan juga berarti pemberian berkat atau penganugerahan berkat kepada pendeta yang baru ditahbiskan.


Referensi

  1. ^ Derek Prince, Penumpangan Tangan. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993.
  2. ^ Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
  3. ^ E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1998.