Nyai

Revisi sejak 16 April 2010 14.00 oleh Kenrick95Bot (bicara | kontrib) (Bot: perubahan kosmetika)

Nyai adalah sebutan umum di Jawa Barat, khususnya bagi wanita dewasa. Namun, kata ini memiliki konotasinya lain pada zaman kolonial Hindia Belanda. Ketika itu nyai berarti gundik, selir, atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Depdikbud pada 1989. seorang nyai memiliki kesinoniman dengan gundik dan selir. Baik nyai, gundik maupun selir, dalam KBBI, diartikan sebagai bini gelap, perempuan piaraan, dan istri yang tidak pernah dikawini resmi.

Pada masa kolonial, nasib nyai jauh lebih beruntung daripada para budak. Di masa awal kolonisasi Hindia Belanda, para pejabat Belanda datang tanpa disertai mevrouw (nyonya). keberadaan nyai sepenuhnya difaktori kepentingan seksual dan status sosial pejabat kolonial di tanah Hindia.

Seorang nyai berada dalam posisi yang tinggi secara ekonomis, tapi rendah secara moral. Secara ekonomis, mereka berada di atas rata-rata perempuan pribumi yang bukan bangsawan. Para nyai mengenakan kain songket bersulam benang emas dan perak, mengenakan tusuk konde roos, peniti intan, dan giwang yang terbuat dari berlian.

Nyai juga berarti isteri (nyonya) dari Kyai (gelar ulama di Jawa), misalnya Nyai Ahmad Dahlan. Tetapi Kiai di Kalimantan merupakan gelar menteri kerajaan dan gelar kepala distrik (Lalawangan) yang bukan keturunan bangsawan (Tutus Raja), sedangkan Nyai berarti gelar untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan, misalnya Nyai Undang, Nyai Siti Diang Lawai, Nyai Ratu Komalasari. Ratu Komalasari adalah permaisuri Sultan Adam dari Kesultanan Banjar, penambahan gelar Nyai di depan gelar 'Ratu' menunjukan bahwa dia bukan berasal dari kalangan bangsawan.

Nyai dalam sastra

Di sejumlah karya sastra yang terbit pada masa kolonialisme, seorang nyai selalu digambarkan sebagai sosok perempuan yang suka serong, bodoh, dan suka mencuri harta tuannya. Cerita Nyai Dasima yang dikarang G. Francis misalnya. Dasima, perempuan dari Kampung Koeripan menjadi nyai Tuan Edward W. Ia sangat dicintai dan dimanjakan layaknya istri yang sah. Namun, Dasima yang rupanya elok ternyata bukan perempuan yang bisa dipercaya. Ia serong dengan Baba Samioen dari Kampung Pedjambon.

Cerita Nyai Dasima di atas memiliki kesamaan dengan cerita Si Tjonat karangan F.D.J. Pangemanann, yang anehnya adalah pengarang pribumi. Adalah Saipa, nyai Tuan Opmeijer, asal Desa Tjirenang yang sangat elok dan muda belia. Sebelum menjadi nyai Tuan Opmeijer, Saipa dijual Kaenoen, abahnya, kepada Tjengkao seharga F 40 dan kemudian dijual lagi seharga dua ratus rupiah. Selama menjadi nyai, Saipa sangat dicintai tuannya. Tetapi, Nyai Saipa berbuat serong dengan si Tjonat, jongos di rumahnya. Bahkan, Saipa memilih kabur bersama si Tjonat setelah terlebih dahulu mencuri uang, perhiasan, dan barang tuannya.

Oleh Pramoedya Ananta Toer, cerita tentang seorang nyai diangkat lewat tokoh Nyai Ontosoroh dalam roman Bumi Manusia. Pram menggambarkan, Ontosoroh tidak sekadar nyai yang hanya menjadi objek seksual dan prestise sosial tuan kolonial. Nyai Ontosoroh menghadirkan dirinya tidak lagi sekadar gundik, piaraan, dan pajangan tuannya. Begitu pun tabiat suka serong yang dilekatkan pada nyai dibantah Ontosoroh, ia tidak genit saat menerima tamu lelaki. Ontosoroh menjelmakan dirinya menjadi sosok nyai yang berbeda. Ia merupakan harmonisasi dari paras dan rupa Timur yang elok dengan keuletan, keberanian, dan kepintaran seorang perempuan Eropa. Di titik inilah Ontosoroh menjelmakan dirinya sebagai bagian dari politik narasi kebangsaan. Ia hadir, mengiringi sekaligus mengambil bagian di dalam pergulatan kebangsaan sepanjang awal sampai pertengahan abad ke-19, masa awal kebangkitan nasional.

Cerita tentang seorang nyai diangkat juga dalam Cerita Nyai Sarikem (1900), Nyai Isah (1903), Nyai Permana (1912).

Pranala luar