Keramik putih Joseon
Joseon Baekja atau Keramik Putih Joseon adalah jenis keramik berwarna putih yang khusus diproduksi pada masa Dinasti Joseon (1392-1910). Walaupun keramik jenis ini awalnya diproduksi dalam jumlah yang kecil, pada abad ke-15 keramik ini mulai digunakan sebagai perabot istana kerajaan. Keramik putih kemudian menjadi barang pecah belah yang paling banyak diproduksi dan diminati di periode Joseon.
Keramik putih Joseon | |
Nama Korea | |
---|---|
Hangul | 조선백자 |
Hanja | |
Alih Aksara | Joseon baekja |
McCune–Reischauer | Chosŏn paekcha |
Sejarah
Di awal periode Dinasti Goryeo (935-1392), saat keramik hijau adalah perabot pecah belah yang umum digunakan, keramik putih mulai diproduksi dalam kuantitas yang kecil.[1] Pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), keramik putih menikmati kepopuleran dan mengambil alih posisi keramik hijau.[1] Pemerintahan Joseon memfokuskan pada upaya khusus untuk memproduksi dan mengelolanya, dan masyarakat pun sangat menyukai jenis keramik baru ini.[1] Karena besarnya dukungan dan keterkenalannya, produksi keramik putih mengalami pertumbuhan yang pesat.[1]
Sejarah keramik putih dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama, yang dimulai dari pendirian Dinasti Joseon di tahun 1392 sampai abad ke-17, keramik corak tatahan diproduksi sementara dan kemudian menghilang.[1] Lalu keramik corak biru (cheonghwa) diciptakan dengan memodifikasi gaya awal keramik Cina untuk disesuaikan dengan citarasa Korea.[1] Di periode kedua, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-18, keramik yang dilukis dengan glasir coklat diproduksi dan menjadi terkenal di awal abad ke-18.[1] Keramik corak merah juga muncul pada periode ini.[1] Pada periode ketiga, dari abad ke-18 sampai abad ke-19, keramik putih mulai diproduksi secara massal, namun dengan kualitas yang semakin menurun. Keramik corak biru, sebagian yang diglasir biru-kobal juga terkenal di periode ini.[1]
Keramik putih bersih tanpa corak sebagian besar diproduksi di awal periode. Keramik corak tatahan terkenal dengan motif dan pola bunga lotus, bunga-bungaan, tanaman dan awan. Teknik tatahan serupa dengan teknik sanggam pada keramik hijau.[1] Dalam kasus yang sangat jarang, pola ukir atau desain hieroglif digunakan untuk mempercantik keramik putih.[1]
Dari periode kedua dan seterusnya, desainnya kadangkala diukir dalam bentuk relief dan kemudian, cara ini beserta pola hieroglif semakin banyak digunakan.[1] Motif terkenal pada periode ini adalah tanaman bambu dengan bunga plum, bambu dengan pohon cemara, krisan, simbol-simbol agama Buddha dan umur panjang, awan, binatang bertuah, anggur, anggrek, ikan, kepa, kepiting dan burung.[1]
Warna-warna keramik putih ditentukan oleh tanah liat, glasir dan pengeringan. Warna putih keramik putih bervariasi berdasarkan periode produksinya.[1] Pada abad ke-15 warnanya putih susu, putih salju di abad ke-16, putih keabu-abuan di abad ke-17 dan putih kebiruan di abad ke-18 dan 19.[1] Biasanya permukaan keramik putih didekorasi menggunakan teknologi yang beragam untuk meningkatkan raut kecantikannya.[1] Keramik putih diklasifikasikan berdasarkan teknik pendekorasiannya menjadi keramik putih-bersih, keramik putih corak tatahan, keramik putih corak biru, keramik putih glasir coklat-besi dan keramik putih glasir merah-tembaga.[1]
Proses pembuatan
Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan dari keramik hijau menjadi keramik putih saling berkaitan. Kaolin yang digunakan untuk membuat keramik putih memiliki tingkat kemurnian yang lebih baik.[1] Selain itu, temperatur pembakarannya lebih tinggi, yakni 1300˚C, dibandingkan temperatur pembakaran keramik hijau (1,270-80℃).[1] Glasir yang digunakan pada keramik putih pun lebih stabil sehingga disimpulkan teknik membuat keramik putih lebih mutakhir dibanding keramik hijau.[1]
Warna putih dan pengaruh Konfusianisme
Pemilihan putih yang dikontribusikan pada warna keramik di masa Joseon didasarkan pada beberapa alasan. Awalnya tanaman untuk membuat pakaian dibawa dari Cina pada masa Goryeo oleh pejabat Mun Ik-jeom, lalu dibudidayakan di Korea. Pada abad ke-15, tanaman ini mulai ditanam secara besar-besaran untuk memenuhi permintaan sandang masyarakat. Masyarakat, baik dari golongan bangsawan dan umum menyukai warna putih. Sejak zaman kuno bangsa Korea suka mengenakan pakaian berwarna putih namun kecenderungan ini semakin bertambah setelah produksi kain secara massal memungkinkan. Paham Neo-Konfusianisme yang dianut golongan bangsawan Joseon juga menggunakan putih sebagai warna keramik karena pandangan tertinggi dituangkan dalam hal yang bersifat sederhana dan murni. Popularitas keramik putih pada masa ini berhubungan erat dengan ideologi wangsa kerajaan yang mengagungkan warna putih.
Jenis
Terdapat 4 jenis baekja, yakni Sunbaekja, cheonghwa baekja, cheolhoe baekja dan jinsa baekja. Keramik putih bisa dibedakan lewat cara membuat dan warna yang dicampurkan.
Sunbaekja
Sunbaekja memiliki garis halus
Cheonghwa baekja
Cheonghwa baekja corak biru yang dibuat dengan kobal diimpor dari cina lewat pedagang arab.
cheolhoe baekja
jinsa baekja
Harta nasional
Pada tahun 1994, sebuah keramik putih dari abad ke-15 terjual seharga US $3 juta dalam lelang di Balai Lelang Christie di New York. Lalu pada tahun 1996 sebuah guci keramik putih terjual dengan harga US $ 8,4 juta, yang berasal dari abad ke-17.
Pusat produksi
Awalnya tungku yang memproduksi keramik putih sebagian besar terkonsentrasi di sekitar wilayah ibukota, di Gwangju (Gyeonggi), Gunung Gwanak dan Gunung Bukhan, namun akhirnya menyebar ke berbagai provinsi. Namun, Gwangju yang merupakan tungku istana kerajaan, masih terus beroperasi sebagai pusat produksi keramik putih di Korea.
Pada tahun 1469, istana Joseon mengelola beberapa tungku penghasil keramik yang dinamakan Bunwon di Gwangju untuk memproduksi perlengkapan keramik putih untuk digunakan di istana.
Pada abad ke-16, produk keramik putih yang diproduksi di sini tidak hanya untuk keperluan istana, namun juga mulai dipasok untuk kantor-kantor pemerintahan dan kaum-kaum elit. Berbagai pabrik keramik putih dibangun di seluruh Korea untuk memenuhi permintaan yang meningkat pesat, namun kualitasnya masih kurang dibanding produksi Bunwon. Perkembangan pesat keramik putih di Korea menyebabkan menurunnya minat akan keramik buncheong yang sebelumnya populer di abad ke-15 dan 16. Bunwon tetap beroperasi sebagai pemasok keramik putih sampai tahun 1884.
Pada Survey Lapangan dari tahun 1998-2000, Museum Provinsi Gyeonggi mencatat terdapat 300 situs tungku di wilayah Gwangju. Tungku-tungku ini beroperasi dari sejak sebelum pembentukan tungku istana di tahun 1469 sampai privatisasinya pada tahun 1884. Terdapat 7 buah situs tungku yang diekskavasi yakni situs Usan-ri No. 2, 9, dan 17; Doma-ri No. 1; Geoneop-ri No. 2; Beoncheon-ri No. 5 dan 9; Seondong-ri No. 2 dan 3; Songjeong-dong No. 5 dan 6; serta Bunwon-ri No. 2.
Corak warna dan dekorasi
Corak warna keramik putih pada awal abad ke-15 adalah putih yang diberi cat biru kobal dan lebih dihargai daripada keramik putih polos karena langkanya dan kerumitan cara pembuatannya. Dari abad ke-17 dan selanjutnya, keramik putih bercorak coklat menjadi terkenal, terutama pada masa harga kobal melonjak dan kualitasnya menjadi tidak seimbang. Pada abad ke-18, keramik putih dengan corak merah menjadi semakin unik walaupun sulit pembuatannya dengan ciri-khas warna merah menyala dan corak yang segar.
Salah satu kategori keramik putih yang disukai oleh istana kerajaan dan kaum elit adalah keramik putih tak berdekorasi, yang diproduksi dalam berbagai tahap di periode Joseon. Pada abad ke-15 dan 16, perabotan piring, mangkuk, botol dan guci dalam bentuk yang sederhana namun elegan lebih banyak diproduksi. Perabotan ini digunakan khusus untuk perangkat meja dan bahkan untuk keperluan upacara dan ritual pemakaman. Contohnya adalah guci tali pusar, biasanya digunakan untuk mengubur tali pusar dari pangeran atau putri. Di abad ke-18, perabot keramik yang paling berkembang adalah guci bulan (dal-hangari). Kemudian di abad ke-19, dekorasi tempat kuas dan keramik berwarna lain muncul sebagai perlengkapan kaum ilmuwan. Kaum bangsawan dan elit menyukai keramik putih polos sedari awal berdirinya Joseon, yang merfeleksikan bentuk yang minimalis yang diasosiasikan dengan ideologi Neo-Konfusianisme. Filosofi dan estetika ini membuat kurangnya desain keramik yang multicorak ataupun glasir di tahun-tahun berikutnya walaupun gaya tersebut populer di Cina dan Jepang. Namun karena faktor ekonomi, keramik polikrom Cina kemudian diimpor ke Korea dan disukai oleh kaum elit.