Garuda Indonesia Penerbangan 206

Insiden pembajakan pesawat udara pada 1981
Revisi sejak 3 Mei 2010 12.48 oleh Ennio morricone (bicara | kontrib) (perbaikan kecil)

Garuda Indonesia Penerbangan 206 adalah sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada 28 Maret 1981. Penerbangan dengan pesawat DC-9 "Woyla" tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang.

Berkas:Terorisme pembajakan gia.jpg
Proses evakuasi penumpang dan pembajak peswat Garuda Indonesia.

Di udara, dua penumpang bangkit dari tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan satu lagi berdiri di gang. Pada pukul 10.10 pesawat tersebut dikuasai oleh 5 pembajak, semuanya bersenjata. Pembajak di kokpit memerintahkan pilot untuk terbang ke Kolombo, Sri Lanka, namun pilot berkata bahwa pesawat tersebut tidak memiliki cukup bahan bakar. Pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia.

Para teroris mengaku berasal dari kelompok ekstremis Islam bernama Komando Jihad. Untuk menangani peristiwa terorisme, Indonesia saat itu belum memiliki pengalaman. Kelompok khusus militer Indonesia yang baru dibentuk saat itu, Kophasanda, meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.

DC-9 Woyla meninggalkan Malaysia setelah mengisi bahan bakar, menuju ke Bandara Don Mueang, Thailand. Seorang penumpang wanita lanjut usia diperbolehkan turun di Malaysia oleh para teroris. Para teroris kemudian membacakan tuntutan mereka, yaitu agar anggota Komando Jihad yang ditahan di Indonesia segera dibebaskan, dan uang sejumlah US$ 1,5 juta. Mereka juga meminta pesawat untuk pembebasan tahanan dan untuk terbang ke tujuan yang dirahasiakan. Mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.

Operasi pembebasan

Pada pukul 21.00, 29 Maret, 35 anggota Kophasanda meninggalkan Indonesia dalam sebuah DC-10, mengenakan pakaian sipil. Pemimpin CIA di Thailand menawarkan pinjaman jaket anti peluru namun ditolak karena pasukan Indonesia telah membawa sendiri dari Jakarta.

Pukul 02.30 tanggal 31 Maret, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat telah ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02.43, Tim Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos. Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang. Teroris tersebut menembak dan mengenai Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut yang tidak terlindungi. Teroris tersebut kemudian ditembak mati. Tim Biru dan Tim Merah masuk, menembak dua teroris lain, sementara penumpang menunduk. Para penumpang kemudian disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar. Teroris terakhir dinetralisir di luar pesawat.

Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut. Namun Kapten Herman Rante meninggal di Rumah Sakit di Bangkok beberapa hari setelah kejadian tersebut. Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.

Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para Komando dibawah pimpinan Letnan Jendral (Purnawirawan) Sintong Panjaitan yang kemudian beserta tim-nya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur didalam operasi terebut dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.

Lihat pula