Ja'far ash-Shadiq
Ja'far ash-Shadiq (Arabic: جعفر الصادق), nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Islam Syi'ah. Beliau lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah, dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah. Beliau merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; beliau pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) dan Anas bin Malik (pendiri mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelah beliau yang menjadikan Ismaliyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas Imam.
Kelahiran
Beliau dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 20 April 702 Masehi, menurut penanggalan Gregorian. Beliau merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibu beliau bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, dari Dinasti Umayyah.
Keluarga
Beliau memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.
Kehidupan awal
Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, beliau dididik langsung oleh ayah beliau, setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, beliau menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah.
Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti al-Walid bin Abdul Malik (86-89 H) dan Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracun Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Beliau juga dapat menyaksikan keadilan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.
Masa Keimaman
Situasi politik di zaman itu sangat menguntungkan beliau. Sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq, mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukan beliau meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan murid beliau berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri mazbab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Anas bin Malik (pendiri mazhab Maliki) dan lain-lain.
Seperti yang digambarkan di atas bahwa di zaman Imam Ja'far terjadi pergolakan politik. Rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang dilakukan mereka selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut balas dan bani Hasyim".
Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu ternyata Bani Abbasiya memusuhi Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuban. Pada 25 Syawal 148 H, al-Manshur membuat Imam Syahid dengan meracunnya.
- "Imam Ja'far ibn Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syiah diracun dan dibunuh karena intrik al-Manshur, khalifah Dinasti Abbasiyah. Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah ilahi dan fatwa para pendahulunya <ref>(Thabathaba'i dalam "Islam Syiah (Asal-Usul dan Perkembangannya), hal. 233-234-235).Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah atau memiliki nama yang salah.
Perkembangan Mazhab Dua Belas Imam
Selama masa keimaman Ja'far ash-Shadiq inilah, mazhab Syi'ah Imamiah mengalami kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam, terutama bangkitnya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa keruntuhan dan kemusnahan Dinasti Umayyah. Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran Syi'ah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam yang benar dan pengetahuan Ahlul Bait. Sampai sekarang pun mazhab Syi'ah Imamiah juga dikenal dengan mazhab Ja'fari.
Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Bani Umayyah dan awal dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti Zararah, Muhammad bin Muslim, Mukmin Thaq, Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz, Hisyam Kaibi Nassabah, dan Jabir bin Hayyan, ahli kimia. Bahkan beberapa sarjana terkermuka Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Qadhi Sukuni, Qodhi Abu Bakhtari dan lain-lain, beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadis dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadits yang terkumpul dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih banyak dari seluruh hadits yang pernah dicatat dari Imam lainnya.
Tetapi menjelang akhir hayatnya, Beliau menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh al-Manshur, khalifah Bani Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan Nabi, yang merupakan kaum Syiah, hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman kaum Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka.
Hisyam, khalifah Dinasti Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam ke-6 dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh Saffah, khalifah Dinasti Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al Manshur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarah untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya dalam persembunyian, sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia al-Manshur.
Meninggalnya
Beliau meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember 765 menurut penanggalan Gregorian di Madinah, menurut riwayat dengan diracun atas perintah Manshur al-Dawaliki, dari Bani Abbasiyah.
- "Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, al-Manshur menulis surat kepada gubenur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan al-Manshur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubenur Madinah, melaksanakan perintah tersebut, membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, dia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang, untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir, yakni khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah, putra Imam yang sulung, dan Musa, putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana al-Manshur menjadi gagal".
Riwayat-riwayat mengenai Ja'far ash-Shadiq
Dari Malik bin Anas
Imam Malik menceritakan pribadi Imam Ja'far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104:
- "Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini: 1) beliau sedang solat, 2) beliau sedang berpuasa, 3) beliau sedang membaca kitab suci al-Qur'an. Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadits daripada Nabi SAW tanpa taharah. Beliau seorang yang paling bertaqwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada mata yang pernah, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."
Dari Abu Hanifah
Pada suatu ketika khalifah al-Manshur Abbasiyyah ingin mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far ash-Shadiq AS. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahawa orang banyak sangat tertarik kepada Imam Ja'far bin Muhammad kerana ilmu pengetahuannya yang luas itu. Khalifah al-Mansur meminta Abu Hanifah menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Imam Ja'afar bin Muhammad AS di dalam perdebatan itu nanti. Sebenarnya al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan Imam Ja'far bin Muhammad, dengan cara itu dan membuktikan kepada orang banyak bahawa Ja'far bin Muhammad tidaklah luas ilmunya.
Menurut Abu Hanifah,
- "Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far bin Muhammad duduk di sisi al-Mansur. Ketika aku memandang Ja'far bin Muhammad, jantungku bergoncang kuat, rasa getar dan takut menyelubungi diriku terhadap Ja'far bin Muhammad lebih daripada al-Manshur. Setelah memberikan salam, al-Manshur memintaku duduk dan beliau memperkenalkanku kepada Ja'far bin Muhammad. Kemudian al-Mansur memintaku mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja'far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan beliau menjawabnya satu persatu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya sendiri, baik beliau menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau selesai menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku sediakan untuknya."
Abu Hanifah berkata lagi,
- "Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?"
Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata,
- "Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad. <ref>Muwaffaq, Manaqib Abu Hanifah, Jilid I, hlm. 173; Dzahabi, Tadhkiratul Huffadz, Jilid I, hlm. 157Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah atau memiliki nama yang salah.
Imam Ja'far ash-Shadiq sering berkata
- "Hadist-hadist yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadist-hadist dari bapakku adalah dari kakekku. Hadist-hadist dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadist-hadist dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadist dari Rasulullah SAW dan hadist-hadist dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla." <ref>Al-Kulaini,al-Kafi, Juzuk I, hadith 154-14Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah atau memiliki nama yang salah.
Keturunan
Anak Laki-laki
- Ismail bin Ja'far
- Abdullah al-Afthah bin Ja'far
- Musa al-Kadzim bin Ja'far (Imam ke-7)
- Ishaq bin Ja'far
- Muhammad al-Dhibbaja bin Ja'far
- Abbas bin Ja'far
- Ali bin Ja'far
Anak Perempuan
- Fatimah binti Ja'far
- Asma binti Ja'far
- Ummu Farwah binti Ja'far
Referensi