Limbah minyak
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil eksplorasi dan produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada kapal laut.[1] Limbah minyak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif.[1] Menurut PP Nomor 18/1999 dan Kepres Nomor 61/1993, limbah minyak dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3) dari sumber spesifik.[1]
Pencemaran dan Penanggulangan Limbah Minyak di Laut
Limbah minyak dapat menyebabkan pencemaran laut.[2]. Laut merupakan jalur lalu lintas kapal yang ramai.[2] Oleh karena itu, seringkali bahan bakar minyak dan pelumas dari kapal tumpah ke laut.[2] Kecelakaan kapal tanker yang membawa minyak merupakan penyebab utama pencemaran minyak di laut.[2] Pencemaran minyak di laut, berpengaruh langsung terhadap biota di laut, yaitu mematikan biota laut itu sendiri.[2] Selain itu, secara tidak langsung berpengaruh terhadap organisme yang hidup di darat, misalnya manusia akan terganggu kesehatannya bila memakan ikan atau kerang yang sudah tercemar.[2] Selain itu, adanya limbah minyak akan menutupi permukaan laut sehingga pitoplankton terlapisi minyak.[2] Pencemaran minyak ini juga menyebabkan cahayamatahari tidak dapat menembus permukaan laut, sehingga fotosintesis pitoplankton terhenti.[2] Pitoplankton merupakan produsen utama dari ekosistem laut.[2] Jika jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun.[2] Padahal hewan - hewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi.[2] Pencemaran limbah minyak di laut dapat ditanggulangi dengan beberapa cara, yaitu :[3]
- Menghindari kebocoran minyak di laut, baik oleh kapal tanker maupun pengeboran minyak di pantai.
- Sanksi yang tegas bagi pelaku pencemaran limbah minyak.
- Membersihkan minyak dengan cara bioremidiasi. Bioremidiasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk membersihkan pencemaran. Sebagai contoh, beberapa jenis bakteri dapat mengkonsumsi minyak jika diberi makan dengan sumber gula. Menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang di Jakarta, telah ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Pencemaran limbah minyak yang kerap dilakukan oleh berbagai tanker di laut, ternyata bisa diuraikan oleh mikrobakteri yang hidup bebas di laut.
- Membuat penghalang mekanik, sehingga air laut yang tercemar minyak tidak mencapai pantai. Kemudian dilakukan penyedotan terhadap tumpahan minyak tersebut.
Pencemaran dan Penanggulangan Limbah Minyak Goreng
Minyak goreng yang saat ini banyak tersedia dan mudah didapat adalah minyak dari sawit dan kelapa[4] Namun minyak goreng bukanlah produk yang habis saat digunakan.[4] Akibatnya, semakin banyak minyak goreng yang digunakan, maka semakin banyak limbah minyak goreng yang dihasilkan[4] Limbah minyak goreng dapat membentuk lapisan lengket yang sangat tebal di tempat- tempat penimbunan sampah.[4] Pencemaran limbah minyak goreng dapat ditanggulangi dengan cara mengurangi, membuang dan mengatasi limbah tersebut agar tidak mencemari lingkungan.[4] Beberapa cara penanggulangan limbah minyak goreng adalah:[4]
- Mengurangi penggunaan minyak goreng. Keuntungan yang didapatkan jika mengurangi penggunaan minyak goreng adalah tubuh menjadi sehat dan mengurangi penimbunan limbah minyak goreng.
- Menggunakan peralatan masakan yang hemat minyak goreng.
- Menghindari membuang minyak goreng ke saluran atau badan air, karena minyak goreng tersebut dapat membeku dan menyumbat saluran. Selain itu, limbah tersebut juga dapat mencemari air sehingga mengganggu ekosistem air yang ada.
- Melakukan daur ulang limbah minyak goreng. Limbah minyak goreng dapat dijadikan bahan campuran untuk membuat bahan bakar biodiesel, sabun, cat, dan pakan hewan.
Pengelolaan Limbah Minyak pada Tanah
Salah satu cara pengolahan limbah minyak dan tanah yang terkontaminasi oleh minyak bumi adalah pengolahan secara biologis yang meliputi landfarming, biopile dan composting.[5] Tata cara dan persyaratan teknisnya telah diatur dalam Kepmen LH No 128 tahun 2003.[5] Limbah yang akan diolah dengan metode biologis harus dianalisa terlebih dulu kandungan minyak atau Total Petroleum Hydrocarbon (TPH), total logam berat dan TCLP logam berat.[5] Konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis tidak lebih dari 15%, sedangkan nilai akhir hasil akhir pengolahannya adalah TPH 10.000 mg/kg.[5]
Landfarming
Landfarming sering juga disebut dengan landtreatment atau landapplication.[6] Cara ini merupakan salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan di permukaan tanah.[6] Prosesnya memerlukan kondisi aerob, dapat dilakukan secara insitu maupun eksitu.[6] Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang telah lama digunakan dan banyak digunakan karena tekniknya sederhana.[6] Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik ini, yaitu kondisi lingkungan, sarana,sasaran dan biaya, kondisi lingkungan, kondisi tanah yang tercemar, pencemar, dan kemungkinan pelaksanaan teknik landfarming.[6]
- Tanah Tercemar
Untuk lokasi penerapan, tanah hendaknya memiliki konduktivitas hidrolik sedang seperti lanau (loam) atau lanau kelempungan (loamy clay). Apabila diterapkan pada tanah lempung dengan kandungan clay lebih dari 70% akan sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat lempung yang mudah mengeras apabila terkena air. Kegiatan landfarming dapat dilakukan secara eksitu maupun insitu. Namun bila letak tanah tercemar jauh diatas muka air (water table) maka landfarming dapat dilakukan secara insitu.
- Pencemar
Pencemar yang tersusun atas bahan yang mempunyai penguapan rendah masih sesuai untuk ditangani secara labdfarming. Bahan pencemar yang mudah menguap tidak cocok menggunakan teknik ini karena dilakukan secara terbuka. Sebaiknya kandungan TPH dibawah 10%.
- Kemungkinan pelaksanaan
Kemudahan kerja diantaranya apabila tersedia lahan, alat berat untuk menggali dan meratakan tanah, serta kondisi lingkungan yang mendukung. Apabila ini dipenuhi, maka memungkinkan untuk diterapkan teknik landfarming secara eksitu.
- Kondisi lingkungan
Iklim di lingkungan tempat kegiatan landfarming sangat mempengaruhi proses. Panas yang terik dapat mengakibatkan tanah cepat mengering, maka kelembaban harus selalu dijaga dengan penyiraman. Sebaliknya pada musim hujan, tanah menjadi terlalu jenuh air, sehingga menghambat biodegradasi pencemar karena aerasi terhambat.
- Sarana
Sarana yang harus disediakan adalah lahan pengolah, pengendali limpahan air, pengendali resapan, dan sarana pemantau. Lahan pengolah untuk menampung tanah tercemar dan tempat pengolahan landfarming dilaksanakan. Pengendali limpahan air, terutama berfungsi saat musim hujan, untuk menjaga kemungkinan terjadinya pencemaran baru akibat limpahan air tercampur polutan. Pengendali resapan terletak di dasar lahan pengolah, biasanya berupa lapisan clay yang dipadatkan sampai bersifat kedap air (liner). Pengendali yang lebih baik adalah lapisan plastik geomembran HDPE (High Density Polyethylene). Sarana pemantau berupa alat pemantau gas, udara, cuaca, air tanah dan sebagainya.
- Teknis pelaksanaan landfarming
Apabila dilaksanakan secara eksitu, tanah tercemar yang diambil dari lokasi yang tercemar dibersihkan terlebih dahulu dari batu-batu dan bahan lain. Selanjutnya tanah dicampur dengan nutrien dan pHnya diatur. Penambahan nutrient juga disebut biostimulation. Pada jenis tanah tertentu, perlu ditambahkan bahan penyangga berupa serbuk gergaji, kompos, atau bahan organik lain untuk meningkatkan porositas dan konduktivitas hidrolik. Setelah tercampur, tanah ditebarkan di lahan pengolah. Hamparan tanah selalu dijaga kelembabannya agar kandungan air kurang lebih 15%. Secara periodik, lapisan tanah dibajak agar tanah mendapat aerasi yang cukup. Penambahan O2 juga disebut bioventing. Apabila diperlukan pada periode tertentu, juga diberi nutrisi agar proses biodegradasi cepat berlangsung. Selain penambahan nutrien dan O2, juga dapat ditambah inokulum mikroba. Nutrien umumnya adalah pupuk NPK/urea dan sumber karbon yang mudah didegradasi. Dari hasil uji dapat menurunkan TPH sampai 49% Selama kegiatan landfarming, secara periodik dilakukan monitoring untuk mengamati kandungan pencemar, aktivitas mikroba, dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Dari data hasil monitoring dapat diketahui waktu penyelesaian proses landfarming.
Biopile
Teknik biopile merupakan pengembangan dari teknik pengomposan. Biopile merupakan salah satu teknik bioremediasi eksitu yang dilakukan di permukaan tanah.[6] Teknik ini juga disebut sebagai aerated compost pile.[6] Oleh karena aerasi pada pengomposan terjadi secara alami, sedangkan pada biopile menggunakan pompa untuk menginjeksikan oksigen ke dalam tumpukan tanah tercemar yang diolah.[6] Proses biodegradasi dipercepat dengan optimasi pasokan oksigen, pemberian nutrien dan mikroba serta pengaturan kelembaban.[6] Biopile merupakan teknik penanggulangan lahan tercemar yang mirip dengan landfarning.[6] Pada teknik landfarming, aerasi diberikan dengan cara membajak tanah, sedangkan pada biopile aerasi menggunakan peralatan.[6] Pada biopile ada dua cara pemberian aerasi.[6] Pertama dengan pompa penghisap untuk memasukkan oksigen dari udara ke lapisan tanah, dan yang kedua menggunakan blower untuk menginjeksikan udara ke dalam tanah.[6]
- Teknis pelaksanaan biopile
Secara umum dilakukan pencampuran bahan terlebih dahulu, kemudian diproses dan hasil proses biopile dilakukan revegetasi.[6] Urutan proses biopile adalah sebagai berikut:[6]
- Diberi aerasi menggunakan pipa-pipa.
- Diberi mikroba pendegradasi bahan pencemar.
- pH diatur dengan pemberian kapur.
- Diberi tambahan nutrien NPK/pupuk urea.
- Diberi bulking agent untuk menggemburkan tanah.
- Diberi tanah pencampur untuk menurunkan kandungan bahan pencemar.
- Dari hasil uji dapat menurunkan TPH sampai dibawah 1% dalam waktu 1 bulan.
Composting
Bahan-bahan yang tercemar dicampur dengan bahan organik padat yang relatif mudah terombak, dan diletakkan membentuk suatu tumpukan.[6] Bahan organik yang dicampurkan dapat berupa limbah pertanian, sampah organik, atau limbah gergajian.[6] Untuk mempercepat perombakan diberi pupuk N, P, atau nutrien anorganik lain.[6] Bahan yang telah dicampur sering ditumpuk membentuk barisan yang memanjang, yang disebut windrow.[6] Selain itu dapat juga ditempatkan dalam wadah yang luas dan diberi aerasi, khusus untuk bahan yang tercemari bahan kimia berbahaya.[6] Aerasi diberikan melalui pengadukan secara mekanis atau menggunakan alat khusus untuk memberikan aerasi.[6] Kelembaban bahan campuran tetap dijaga.[6] Setelah diinkubasikan terjadi pertumbuhan mikroba, dan suhu tumpukan meningkat mencapai 50-600C.[6] Meningkatnya suhu dapat meningkatkan perombakan bahan oleh mikroba.[6] Metode composting telah digunakan misalnya untuk mengatasi tanah yang terkontaminasi klorofenol.[6] Pada skala lapangan menunjukkan bahwa dengan metode ini dapat menurunkan konsentrasi bahan peledak TNT, RDX, dan HMX dalam sedimen yang tercemar oleh bahan-bahan tersebut.[6]
Referensi
- ^ a b c Ginting, Pedana, Ir., Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri (2007) Jakarta. MS.CV YRAMA WIDYA. Hal 17-18.
- ^ a b c d e f g h i j k Saktiyono. IPA BIOLOGI, Jilid 1. Jakarta, ESIS. ISBN 979-734-523-8, 9789797345235. Hal 159.
- ^ Djamil, Agus.S. Al-Quran dan Lautan (2004). Jakarta, Arasy. Hal 22-24.
- ^ a b c d e f Wolke, Robert.L. Kalo Einstein jadi Koki: sains di balik urusan dapur (2006). Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Hal 94.
- ^ a b c d Pengelolaan Bahan dan Limbah Berbahaya Beracun, be.menhl. Diakses pada 23 Mei 2010.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Bioremidiasi Tanah, sumarsih07. Diakses pada 25 Mei 2010.