Zainal Abidin bin Ali

Revisi sejak 8 Mei 2005 07.01 oleh Klemen Kocjancic (bicara | kontrib) (slovenian interwiki)

Zine El Abidine Ben Ali (زين العابدين بن علي; lahir 3 September 1936) ialah presiden Tunisia sejak 1987, kedua sejak ‘kemerdekaannya’ dari Prancis pada 1956.

Ben Ali dilahirkan di Hammam-Sousse. Sebagai pemuda, dan anggota kelompok perwakilan Partai Neo-Destour, ia dikirim ke Prancis buat latihan militer. Ia lulus dari Inter-Arms School di Saint-Cyr dan Sekolah Artileri di Châlons-sur-Marne, dan kemudian melanjutkan pendidikan militernya di AS..

Ben Ali ditunjuk mendirikan dan mengatur departemen keamanan militer pada 1964, yang dijalankannya sampai 1974. Ia dipromosikan sebagai DirJen Sekuriti Nasional pada 1977 setelah menjabat sebagai atase militer di Maroko. Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai DuBes untuk Polandia menjadi kepala Sekuriti Nasional dan kemudian MenLu. Ia mengambil posisi ini saat berkembangnya gerakan Islam. Pada saat ini ia diangkat sebagai MenDaGri, dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi PM di bawah Presiden Habib Bourguiba pada Oktober 1987.

Ben Ali memecat Habib Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987 tanggal simbolis untuk rezimnya dengan dukungan beberapa rakyat. 7 orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Habib Bourguiba tak cakap menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal 1990an. Proyek pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau perumahan, telah dijalankan. Bagaimanapun, pengangguran menyisakan masalah ekonomi yang besar.

Di masa rezimnya, gerakan-gerakan Islam yang ada di Tunisia mengalami nasib lebih tragis dari sebelumnya. Tatkala partainya menyapu bersih perolehan kursi yang ada di parlemen, ia memenjarakan lebih 30.000 orang aktivis gerakan Islam yang merupakan tulang punggung partai yang olehnya dianggap sebagai pembangkang. Sesungguhnya ben Ali telah menjadikan Tunisia sebagai penjara terbuka dan pusat kebejatan moral. Walhasil, dengan salah kaprahnya pemikiran dan pemahaman rezim yang ada, Islam dan para pengembannya mengalami deraan, siksaan, dan hambatan yang luar biasa keji.

Ben Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian (aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratiknya (dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan mendominasi politik nasional. Rezimnya melanjutkan tak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers menyisakan penyamaran. Pada 1999, walau 2 kandidat alternatif yang tak dikenal diizinkan buat pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali diangkat kembali dengan 99.6% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi mendapat 94.48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan dalam jabatannya paling tidak sampai 2014.