Schapelle Leigh Corby (lahir 10 Juli 1977) adalah seorang mantan pelajar kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam kopernya di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada 8 Oktober 2004.

Dalam koper Corby ditemukan 4,1 kg ganja, yang menurut Corby, bukan miliknya. Dia mengaku tidak mengetahui adanya ganja dalam kopernya sebelum koper tersebut dibuka oleh petugas bea cukai di Bali, namun pernyataan ini ditentang oleh petugas bea cukai yang mengatakan bahwa Corby mencoba menghalangi mereka dari membuka kopernya.

Bapak kandung Schapelle Corby, Michael Corby, sebelumnya pernah tertangkap basah membawa ganja pada awal tahun 1970-an.

Putusan hakim dan pasca-putusan

  • Pada 27 Mei 2005, Corby diputuskan harus menjalani hukuman penjara 20 tahun serta ditambah denda sebesar Rp. 100.000.000. Sidang putusannya disiarkan langsung di dua stasiun televisi di Australia.
  • Beberapa hari kemudian, pada 1 Juni 2005, sebuah amplop berisikan serbuk putih–yang awalnya diduga sebagai antraks namun ternyata bukan–dikirimkan ke KBRI di Canberra sehingga mengakibatkan seisi gedung kedutaan harus dikosongkan. Perdana Menteri Australia, John Howard, segera meminta maaf kepada pemerintah Indonesia dan mengatakan akan segera mengusut kasus tersebut serta mencari siapakah pelakunya.

Tanggapan rakyat Australia

Kasus Corby menarik perhatian yang besar di Australia akibat liputan media yang luas. Banyak dari warga Australia yang bersimpati dengan Corby yang digambarkan oleh media di sana sebagai orang yang "sial", karena kopernya diisi ganja oleh orang lain.

Selain itu, ada pula yang meragukan kemampuan sistem pengadilan di Indonesia yang berbeda dari Australia. Di Indonesia, terdakwa harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah sedangkan di Australia, pihak penuntutlah yang harus membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Sistem Indonesia ini merupakan warisan dari zaman Belanda dan karena itu, dianggap "ketinggalan zaman" dan "tidak adil".

Beberapa orang bahkan sampai mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan memboikot Bali dan menyarankan agar warga Australia tidak berkunjung ke sana. Beberapa yang lainnya bahkan sampai menyerukan kepada pemerintah Australia agar menarik kembali bantuan sumbangan bencana tsunami yang telah diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Selain menyerukan hal-hal demikian, banyak juga yang mengirimkan surat bernada ancaman ke pihak Indonesia (terutama Pengadilan Negeri Bali, dan Kedutaan Besar serta Konsulat Jenderal Indonesia di Australia).

Ekstrimnya, seperti yang telah dinyatakan di atas, beberapa oknum tertentu bahkan sampai melakukan percobaan bioterorisme dengan mengirimkan surat berisikan bubuk mencurigakan (yang belakangan diketahui bukan bubuk berbahaya semacam Antraks, tetapi tetap saja hal itu merupakan percobaan terorisme) ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia.

Sebenarnya, menurut beberapa pakar, tindakan, komentar, dan pandangan ekstrim di atas diduga dilakukan oleh sekelompok minoritas Australia yang berpandangan sangat ekstrim (xenophobic, chauvinistic, dan white supremacy ekstrim). Faktanya, mayoritas warga Australia, meskipun tidak terlalu menyetujui keputusan pengadilan tersebut, tidak bertindak sedemikian ekstrim dan dapat menghormati keputusan tersebut. Sayang sekali, mayoritas warga Australia tersebut mulai terpengaruh oleh tindakan dan seruan kelompok minoritas ekstrim tersebut sehingga mulai menjadi berpandangan ekstrim juga.

Selain ada yang menentang, tentu saja ada juga warga Australia yang mendukung agar Corby dihukum. Mereka berpendapat bahwa hal tersebut perlu dilakukan agar menjadi peringatan bagi warga sana yang berniat menyelundupkan obat-obatan terlarang ke luar negeri.

Meskipun reaksi masyarakat Australia terhadap kasus ini "cukup beragam", hubungan Pemerintah Indonesia dan Australia nampaknya tidak terganggu oleh kasus ini.

Pranala luar