Kesultanan Paser
Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurengas) adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 630 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Petong. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurengas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Sejarah
Asal Kerajaan Paser
Dalam Sempuri Paser yang berhubungan dengan kerajaan di Tanah Paser. Pada jaman dahulu kala, pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Padang Kero dengan rajanya yang bernama Nuas. Raja Nuas tidak lama memerintah, karena merasa uzur digantikan oleh si anak yang bernama Mandan. Begitu juga halnya dengan Raja Mandan, tidak lama kemudian raja meninggal dunia digantikan oleh si anak yang bemama Tampuk Gulung. Tampuk Gulung menyerahkan kekuasaan kerajaan kepada si anak yang bemama Selendo Tuo dan raja selanjutnya adalah Dato Tuo Puti Songkong. Tidak lama kemudian raja Dato Tuo Puti Songkong menyerahkan kepada si anak yang bernama Nalau, disaat pemerintahan raja Nalau masyarakat menjadi makmur, oleh sebab itu Nalau diberi nama oleh masyarakatnya Raja Tondoi atau Nalau pemimpin kemakmuran. Pada masa pemerintahan Raja Nalau ini, salah seorang sepupunya yang bernana Gasing Putih merasa iri hati kepada Nalau Raja Tondoi, sehingga timbul perselisihan diantara kedua bersepupu, terjadi perang yang berkepanjangan dan akhirnya peperangan dimenangkan oleh Nalau Raja Tondoi. Beberapa saat kemudian Nalau menyerahkan kerajaan kepada anaknya yang bernama Sumping. Di saat Sumping menjadi raja, ketiga anaknya mengadakan perjalanan hibah, perjalanan hibah ini terbagi dua kelompok, satu kelompok dipimpin oleh Andir Palai, anak Sumping dari istrinya yang pertama, satu kelompok lagi dipimpin oleh Nurang dan Anjang, anak Sumping dari istri yang kedua. Setelah melakukan perjalanan beberapa lamanya mereka akhirnya sampai di tepi sungai Lembok, disinilah Andir Palai bersama dengan pengikutnya bermukim. Kelompok yang dipimpin oleh Nurang dan Ajang bertemu dengan sungai Kendilo. Di tepi sungai Kendilo inilah Nurang bersama kelompoknya bermukim. Sedangkan Anjang melanjutkan perjalanan bersama pengikutnya menuju ke arah Barat Laut, setelah beberapa lama dalam perjalanan akhirnya mereka sampai di sungai Komam. Di tepi sungai Komam ini Anjang meninggalkan pengikutnya sepertiga, dan yang lainnya melanjutkan perjalanan bersama Anjang ke arah Barat Daya dan akhirnya mereka bertemu dengan sungai Biu, Anjang bersama pengikutnya bermukim di tepi sungai Biu ini, akan tetapi Anjang memilih untuk tinggal di Samurangau. Anjang mempunyai dua orang anak yang bernama Dengut dan Uma Dana. Anjang memberikan kekuasaan kepada Dengut untuk memimpin masyarakat di daerah sungai Komam, sedangkan Uma Dana memimpin di daerah sungai Biu. Anjang sendiri tetap di daerah Samurangau. Sepeninggal Andir Palai, Nurang dan Anjang di kerajaan Padang Kero, raja Sumping mengadakan sesembahan kepada para dewa dan roh-roh halus, dengan mengadakan Belian selama 40 hari 40 malam, di saat malam yang ke 40, istana kerajaan bersama dengan rajanya beserta masyarakat hilang lenyap tanpa bekas. Itulah sebabnya masyarakat Paser tidak mau mengadakan belian sampai 40 hari 40 malam, takut terjadi seperti raja Sumping. Lenyapnya kerajaan Padang Kero bersama dengan rajanya, diangkat Andir Palai menjadi raja dengan pusat kerajaan di Lembok. Andir Palai menyerahkan kerajaan kepada keponakannya yang bernama Talin. Talin beristrikan seorang perempuan yang bernama Tiong dari Selang Samuntae sekarang ini, justru itu diselang (Samuntae) ada kerajaan yang bemama Tiong Talin. Dari hasil perkawinan mereka melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Salika. Saudara Talin yang bernama Lintung kawin dengan puteri yang bernama Selang, dari hasil perkawinan mereka melahirkan 6 orang anak lelaki, anak-anak mereka diberi nama sebagai berikut: 1. Pego alias Temindong Doyong alias Kaka Ukop 2. Temindong Tokiu 3. Manungko 4. Patang anak Dogut 5. Seranta Tuleng Tunggel 6. Bumbut Tuon Adang
Setelah Pego dewasa dikawinkan dengan puteri Salika sepupunya sendiri anak dari Talin. Setelah Pego beristerikan Puteri Salika Raja Talin membagi-bagikan daerah kekuasaan kepada anak-anaknya juga kepada Dengut dan Uma Dena, adapun daerah kekuasaan yang dibagikan: 1) Pego, mendapat pembagian kekuasaan di daerah sungai Sadu Lempesu sekarang. 2) Temindong Tokiu, daerah batu miris Seratai. 3) Manungko, di daerah Petalan, Suatang dan Pasir Belengkong. 4) Patang anak Dogut, daerah Afier dan Tabruk. 5) Seranta Tuleng Tunggal,daerah Ingkur, Sepaku dan Balikpapan. 6) Bumbut Tuon Adang, di daerah Lembok sampai Muara Adang dan Telake. 7) Dengut, di daerah kepala sungai Kendilo dan Komam. 8) Uma Dana, di daerah Biu dan Samurangau.
Setelah daerah-daerah dibagikan kepada Pego bersaudara, muncullah anak-anak suku Paser (etnis Paser) seperti berikut: 1) Paser Pematang 2) Paser Pembesi 3) Paser Adang 4) Paser Migi 5) Paser Tikas 6) Paser Tiong Talin 7) Paser Balik 8) Paser Lusan
Walaupun daerah-daerah sudah dibagi-bagikan oleh Talin kepada anak-anaknya akan tetapi mereka bukan menjadi raja di daerah masing-masing, mereka hanya menjadi penggawa. Karena Pego saudara yang tertua diantara saudaranya yang lain. Pegolah yang menjadi kepala penggawa. Itulah sebabnya dia diberi nama Temindong Doyong.
Pego atau Temindong Doyong ingin mengundurkan diri, dan meminta kepada saudara-saudaranya agar mau menggantikan dirinya sebagai kepala penggawa, akan tetapi saudara-saudaranya menolak permintaan Temindong Doyong, karena mereka mengharapkan, anak Temindong Doyong yang akan menjadi raja mereka. Sudah beberapa lama mereka menantikan agar putri Salika melahirkan anak akan tetapi yang diharapkan tidak kunjung ada. Sehingga mereka bersaudara berunding untuk mencari raja. Beberapa kali sudah melakukan perundingan akhirnya mendapat kata sepakat dan mufakat, agar mereka melakukan pelayaran dengan harapan dapat menemukan raja. Untuk melakukan pelayaran, disiapkan sebuah perahu atau Jong. Disaat akan mencari raja, disiapkan sebuah perahu (JONG) yang didatangkan dari Telake, Mendik milik dua orang yang bernama Turi dan Kunkun, konon jong tersebut dapat dari hasil semedi mereka dan dapat dipakai hanya satu kali berlayar. Dalam pelayaran mencari raja tersebut. Menurut versi Aji Aqub, ada di beberapa orang sebagai berikut: 1) Uma Dena, dari Telake 2) Uma Kamal, dari Kesunge 3) Petung anak Dogut, dari kepala Kandilo 4) Seranta Tatau Lantungkau,dari Laburan 5) Tanjung Kuti, dari Payang 6) Dengu, dari Tebalong 7) Bepaung, dari Aper 8) Bumbut Tuwaw Adang, dari Adang
Setelah mengadakan perundingan dengan saudara-saudaranya termasuk Dengut dan Uma Dana, diambil keputusan untuk mencari raja. Misi pencari raja memulai perjalanan dari sungai Sadu, dengan menggunakan jong/perahu, Jong berlayar dengan tenang dan melaju diatas permukaan laut, angin bertiup dari belakang membuat layar berkembang diterpa angin. Tiga bulan sudah misi pencari raja dalam perjalanan. Temindong Doyong bersama dengan saudaranya merasakan perahu mereka tidak bergerak maju, walaupun layar berkembang ditiup angin, Temindong Doyong meminta kepada salah seorang saudaranya untuk terjun ke laut memeriksa apa yang menjadi penyebab sehingga perahu mereka tidak dapat bergerak maju, temyata sepotong bambu yang terhalang di halauan perahu mereka, setelah bambu dilepaskan perahupun melancar di perrnukaan air laut dengan lajunya tiga kali bambu itu tersangkut dan yang ketiga kalinya terhalang di kemudi. Temindong Doyong meminta agar bambu tersebut dibawa naik ke atas perahu (jong). Tertunda tiga kali Temindong Doyong memberitahukan kepada juru mudi untuk memutar haluan menuju pulang. Ketika sampai di rumah Pego menyerahkan bambu tersebut kepada si isteri untuk disimpan. Pak Pego mengatakan kepada si isteri bambu tersebut pemberian Dayu Sang Liang. Beberapa hari sudah beristirahat di rumah, misi pencari raja kembali berlayar mengarungi lautan luas, dan singgah di beberapa kerajaan mengutarakan maksud dan tujuan mereka. Akan tetapi setiap raja yang disinggahi memberi jawaban yang sama bahwa raja yang mereka cari sudah ada di kampung halaman mereka. Dua tahun sudah lamanya misi pencari raja dalam pelayaran, akhirnya mereka menuju pulang, dalam pelayaran pulang misi ini kekurangan air minum dan bahan pangan. Mereka singgah di sebuah pulau untuk mengisi air dan keperluan lain, setelah selesai misi pencari raja akan meninggalkan pulau, tetapi misi pencari raja diajak untuk mengikuti adu manusia oleh pimpinan pulau. Pertandingan adu manusia dengan menggunakan senjata tajam dan menaiki ayunan papan. Diantara misi pencari raja ada salah seorang bernama Usin. Sanggup untuk mengikuti pertandingan adu manusia, sejak dimulai sampai selesai Usin kalah dalam perlagaan dan mati. Disaat mayat Usin akan dibawa ke perahu masyarakat pulau meminta agar mayat Usin diserahkan saja kepada mereka untuk merawatnya, Pak Pego menyetujui saja permintaan masyarakat pulau, akan tetapi jika Usin diserahkan kepada masyarakat pulau, Usin pun hidup kembali, Pak Pego melihat Usin hidup meminta kembali. Serah terima mayat Usin berlaku tujuh kali, akhirnya masyarakat pulau berkata kepada Pak Pego, “tinggalkan saja Usin kepada kami, dan kami memberikan kepada kalian, satu buah gong tujuh buah bungkusan dan satu peti pendala tane, sebagai tanda persahabatan kita”. Selesai memberikan benda-benda tersebut, yang diterima Pak Pego, masyarakat pulau berpesan: 1. Sebelum sampai di Muara Paser, gong tersebut jangan dibunyikan, terkecuali sudah sampai. 2. Sebelum sampai di dalam daerah Paser, ketujuh bungkusan itu jangan dibuka, terkecuali sudah sampai. 3. Jika sudah sampai di tengah kampung halaman, peti bendala tana baru dibuka.
Dalam pelayaran menuju pulang cukup lama menyita waktu selama dua tahun, sehingga mereka merasa jauh di dalam perahu (jong) diantara saudara Pak Pego memukul gong juga ada yang membuka ketujuh bungkusan dan peti pendata tana. Walaupun mereka mengetahui pesan masyarakat pulau disaat akan berangkat. Ketika perahu misi pencari raja sampai di Muara Paser, gong dibunyikan, suaranya tidak seperti dipukul yang pertama, suaranya bergetar dan menggema, begitu juga dengan tujuh bungkusan ketika dibuka tidak ada reaksi apa-apa, juga peti pendala tana, ketika dibuka di tengah-tengah kampung tidak ada apa-apa kosong melompong, tidak seperti dibuka yang pertama, dari dalam peti tersebut memancarkan kuning. Lama sudah Pak Pego atau Dato Temindong Doyong berada dirumah bersama Itak Pego, timbul pikiran untuk mengetahui bambu yang ditemukan saat dalam pelayaran mencari raja, bambu tersebut dibelah temyata berisikan sebutir telur, lalu disimpan di piring melawen beralaskan cadar kuning, sedangkan belahan bambu tersebut ditancapkan oleh Pak Pego ke tanah sebagai tanda atau peringatan kepada keturunan Paser. Sampai sekarang bambu tersebut tumbuh dengan subur di daerah Lempesu sekarang. Telur yang disimpan dalam piring melawen setelah 40 hari 40 malam menetas, ternyata seorang bayi perempuan yang cantik dan molek. Pak Pego bersama Itak Pego terkejut dan bangun dari tidurnya yang lelap, mendengar suara tangisan bayi, betapa suka citanya kedua orang tua ini, melihat bayi di dalam piring melawen. Bayi yang berasal dari bambu yang dibawa Pak Pego tidak mau menyusu, sudah beberapa orang ibu yang bersedia untuk menyusui Putri Petong, akan tetapi si bayi tidak mau menyusu. Bertepatan pada saat itu kerbau putih Pak Pego beranak, dari susu kerbau putih itulah Putri Petong mau menyusu. Pak Pego mempunyai sepasang kerbau putih, kerbau tersebut pandai dan penurut dengan perintah Pak Pego itulah sebabnya Pak Pego diberi nama Kaka Ukop artinya Kakek Ukop. Itulah masyarakat Paser tidak boleh atau pantang, Dion dalam bahasa Paser memakan daging kerbau putih.
Terbentuknya Kerajaan Paser
Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid dan kawan-kawan yang ditulis oleh M.Irfan lqbal, et.al. Dalam bukunya yang berjudul “Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya Kerajaan Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630 Masehi. Pada saat Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan menjadi ratu (ratu pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti menjadi kerajaan Sadurengas.
Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri Petong diyakini menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan yang memuja roh-roh halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk memanggil roh-roh halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat berbentuk patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya, setahun kemudian Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki yang diberi nama Aji Mas Nata Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra Jaya. Tiga tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak perempuan, yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu Mansyur Indra Jaya dan enam tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki yang diberi nama Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.
Tentang Abu Mansyur Indra Jaya. Dapat ditelusuri dari peninggalan batu-batuan yang diangkat dari kapal ketika Abu Mansyur Indra Jaya pertama datang di Paser. Melihat dari nama Abu Mansyur Indra Jaya pasti beliau dari Arab, dan juga masih keturunan Alawiyah keturunan Nabi Muhammad Rasullullah SAW gencar melaksanakan islamisasi sambil berdagang. (Vr, H.M. Yusuf "Kisah Kampung Daya Taka" diterbitkan oleh BAPPEDA Kabupaten Paser tahun 2000 menceritakan Putri Petong sebelum menikah menyebut Dua Kalimat Syahadat dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an*).
Islamisasi
Islamisasi di Kerajaan Paser melalui beberapa jalur, antara lain :
- Jalur perkawinan-perkawinan dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya dengan Putri Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga perkawinan Sayyid Ahmad Khairuddin yang kawin dengan Aji Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya.
- Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada jaman mereka, yang selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk pedagang dari Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser dengan para pedagang muslim menyebabkan sebagian masyarakat penduduk tertarik untuk memeluk agarna Islam.
- Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kawin dengan Abu Mansyur Indra Jaya, sudah beberapa kali kawin, akan tetapi jika akan berhubungan badan dengan lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal ini disebabkan sari bambu yang melekat pada Putri Petong. Kawinlah dengan Abu Mansyur Indra Jaya yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut[1]
Daerah Paser saat kedatangan Islam, banyak diketahui dari berbagai tulisan, diantaranya berdasarkan kitab yang ditulis Aji Aqub tahun 1350 Hijriyah atau tahun 1920 Masehi yang berjudul "Palayaran mencari raja tanah Paser" Sumber lain dari tulisan A.S Assegaf dengan judul "Sejarah kerajaan Kutai dan Kesultanan Paser" tanpa tahun. Sumber yang lain dapat ditelusuri dari sumber-sumber Belanda, diantaranya oleh S.C Knappert dengan judul "Tijdschrift voor ned Indie 1883" Sedangkan yang memuat legenda Putri Petong ditulis oleh III Nieuwkuyk dalam Versi Reide opstillen ove Boneo, Velome 9 kerajaan Paser juga disinggung dalam tulisan J.Zwager dengan judul "Tijdschrift voor Nederlan Indie. Seri 4, 1866.
KEDATANGAN SAYYID AHMAD KHAIRUDDIN
Siapa Sayyid Ahmad Khairuddin, mengapa dia datang ke Kerajaan Paser? Berdasarkan Gelar Sayyid nyata Sayyid Ahmad Khairuddin dari keturunan Arab kalangan Alawiyyah sebagai keturunan Nabi, dan mereka menyebutkan diri sebagai "Ahlul Bayit”. Di Kerajaan Paser sendiri sangat jelas bahwa Sayyid Ahmad Khairuddin mendapat gelar Sayyid Imam Pawa. Sayyid Ahmad Khairuddin masih berkaitan erat dengan Maulana Malik Ibrahim keturunan Zainal Abidin bin Husain bin Ali R.A . Beberapa lama tinggal di Kerajaan Paser akhirnya Sayyid Ahmad Khairuddin kawin dengan Aji Putri Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Saudara dari Aji Mas Pati Indra, bibi Aji Mas Anom Indra. Sumber lain mengatakan bahwa yang menjadi Imam pada masa itu adalah Imam Mustafa (Vr, sumber dari Aji Zainal Abidin dan kawan-kawan). Lebih kurang 15 tahun menyiarkan agama Islam di Kerajaan Paser, Sayyid Ahmad Khairuddin menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat haji, pada saat anak beliau naik ayunan Sayyid Ahmad Khairuddin menciptakan sebuah nyanyian yang dinamakan 'Nyanyian Fatimah" dengan bait syair seperti berikut:
"Bismillahirrahmanirrahim" Huu Allah, Allah Awwal, Allah Huu, Akhir Allahhuu, Allah Allahu wal batin, Allah Waddlij Dijahir Allah huu, Allah maidandam ilham Allahu huu Allahu, air zam-zam karam dilaut bahaarullah. Ayun-ayun silangka pulan Ayun putra, putri ku jaya Yaa hunaini silangka pulan Wannahiruun-wannahiruun Yaa hayyu yaa Qayyuum Yaa hannanu yaa Burhan
Ketika Sayyid Ahmad Khairuddin yang menjadi guru dari raja Paser Aji Mas Anom Indra diangkat menjadi imam di kerajaan Paser, Sareat Islam pun diperlakukan dalam kerajaan Paser, sehingga Islam masuk dalam struktur kekuasaan kerajaan Paser, sehingga islam menyebar dikalangan rakyat Paser. Setelah Sayyid Ahmad Khairuddin menunaikan ibadah haji, rupanya takdir Allah menghendaki Sayyid Ahmad Khairuddin di Makatul Musyarrafah (Vr, A.S. Assegaff. Op cit hlm 40*). Siar Islam dilanjutkan keturunan beliau, Imam Sayyid Abdurrahman bin Sayyid Ahmad Khairuddin (Vr, Haji Aji Padang Arjan. Haji Sardani Usman, et. al Op cit hlm 4*)
Penguasa Pasir
Nama Penguasa | Gelar | Tahun Berkuasa |
---|---|---|
Putri Petong | 630-xxxx | |
Aji Mas Anom Indra bin Aji Mas Pati Indra | 1607–1644 | |
Aji Anom Singa Amulana bin Aji Mas Anom Indra | 1644–1667 | |
Aji Perdana bin Aji Anom Singa Maulana | Penambahan Sulaiman | 1667–1680 |
Aji Duwo bin Aji Mas Anom Singa Maulana | Penambahan Adam | 1680–1705 |
Aji Geger bin Aji Anom Singa Maulana | Sultan Aji Muhammad Alamsyah (Sultan Pasir I) | 1703–1738 |
Aji Negara bin Sultan Aji Muhammad Alamsyah | Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir II) | 1738–1768 |
Aji Dipati bin Panembahan Adam | Sultan Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III) | 1768–1799 |
Aji Panji bin Ratu Agung | Sultan Sulaiman Alamsyah (Sultan Pasir IV) | 1799–1811 |
Aji Sembilan bin Aji Muhammad Alamsyah | Sultan Ibrahim Alamsyah | 1811–1815 |
Aji Karang bin Sultan Sulaiman Alamsyah | Mahmud Han Alamsyah | 1815–1843 |
Aji Adil bin Sultan Sulaiman Alamsyah | Sultan Adam Alamsyah | 1843–1853 |
Aji Tenggara bin Aji Kimas | Sultan Sepuh II Alamsyah | 1853–1875 |
Aji Timur Balam | Sultan Abdurahman Alamsyah | 1875–1890 |
Sultan Muhammad Ali Alamsyah | 1880–1897 | |
Pangeran Nata bin Pangeran Dipati Sulaiman | Sultan Sulaiman Alamsyah | 1897–1898 |
Pangeran Ratu bin Sultan Adam Alamsyah | Sultan Ratu Raja Besar Alamsyah | 1898–1900 |
Pengeran Mangku Jaya Kesuma | Sultan Ibrahim Khaliluddin | 1900–1906 |
Referensi
- ^ Vr, Cilik Riwut. Kalimantan Membangun alam dan kebudayaan, PT. Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama 17 Agustus 1993 halaman 119-120